Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Memahami "Marah" Secara Bijak dari Berbagai Perspektif

8 Januari 2025   23:08 Diperbarui: 8 Januari 2025   23:15 29
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (Klikdokter)

Dalam konteks hubungan interpersonal, marah bisa menjadi cara yang efektif untuk menyampaikan perasaan dan mendiskusikan masalah. Menurut Dr. John Gottman, seorang ahli hubungan pernikahan, konflik yang sehat dapat terjadi jika kedua pihak mengungkapkan kemarahan mereka dengan cara yang konstruktif, tanpa saling menyalahkan.

Namun, marah yang tidak terkendali bisa menyebabkan perpecahan dalam hubungan. Hal ini terjadi ketika marah berubah menjadi agresi verbal atau fisik. Dalam teori komunikasi, hal ini disebut sebagai “destructive conflict,” yang dapat merusak hubungan dan menyebabkan perasaan terluka yang berkepanjangan.

Aktivis sosial sering kali menggunakan kemarahan mereka untuk memobilisasi perubahan sosial. Gerakan hak-hak sipil di Amerika Serikat, yang dipimpin oleh Martin Luther King Jr., dimulai dengan kemarahan terhadap diskriminasi rasial.

Marah yang berlebihan terhadap pasangan bisa berakhir dengan pertengkaran yang merusak hubungan, tanpa ada penyelesaian yang konstruktif.

Perspektif Filosofis: Marah dan Pengendalian Diri

Dalam filsafat, marah sering kali dilihat sebagai emosi yang perlu dikendalikan. Aristoteles, dalam bukunya Nicomachean Ethics, menyatakan bahwa marah adalah bagian dari emosi yang alami, tetapi kebajikan terletak pada kemampuan kita untuk mengendalikan emosi tersebut. Menurutnya, kita harus marah pada waktu yang tepat, dengan intensitas yang tepat, dan terhadap orang yang tepat.

Filsuf Stoik seperti Epictetus dan Seneca lebih jauh mengajarkan bahwa marah adalah respons yang tidak rasional terhadap hal-hal yang berada di luar kendali kita. Dalam ajaran mereka, kita tidak boleh membiarkan marah menguasai diri, karena kita hanya bisa mengendalikan reaksi kita terhadap kejadian tersebut, bukan kejadian itu sendiri.

Seorang pebisnis yang marah terhadap ketidakadilan di tempat kerja bisa mengambil langkah untuk memperbaiki kebijakan yang merugikan karyawan, menggunakan kemarahan sebagai motivasi untuk perubahan positif.

 Jika seseorang marah karena kejadian yang tidak dapat mereka kontrol, seperti cuaca buruk atau kesalahan orang lain, maka ini bisa mengarah pada perasaan frustrasi yang tidak produktif.

Perspektif Agama: Mengelola Marah Menurut Ajaran Agama

Ajaran agama-agama besar di dunia sering menekankan pentingnya pengendalian marah. Dalam Islam, marah adalah perasaan yang harus dikelola dengan bijak. Nabi Muhammad SAW mengajarkan umatnya untuk menahan amarah dan berusaha mendamaikan diri dengan sesama. Dalam salah satu hadisnya, beliau bersabda: "Orang yang kuat bukanlah orang yang mampu mengalahkan orang lain, tetapi orang yang mampu menahan amarahnya."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun