Menurut Carl Jung, emosi marah ini juga terkait dengan ketidakseimbangan dalam diri, dan pengelolaannya dapat menunjukkan sejauh mana seseorang memahami dirinya sendiri. Misalnya, seseorang yang sering marah mungkin sedang mengalami perasaan frustrasi yang lebih dalam, seperti ketidakmampuan dalam mencapai tujuan hidupnya.
Marah juga bisa jadi respons terhadap pengaruh eksternal yang mengancam kenyamanan psikologis kita. Dr. Albert Ellis, seorang psikolog kognitif, mengemukakan bahwa marah sering kali muncul ketika kita memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap orang lain atau situasi. Misalnya, kita merasa marah karena seseorang tidak memenuhi harapan kita, padahal harapan tersebut tidak realistis.
Dalam sebuah situasi kerja, seorang manajer yang marah terhadap kinerja timnya bisa menggunakan kemarahan itu untuk memotivasi timnya agar berusaha lebih keras.
Marah berlebihan tanpa alasan yang jelas bisa berakhir dengan perilaku destruktif yang merugikan diri sendiri atau orang lain, seperti berteriak atau melakukan kekerasan fisik.
Perspektif Biologis: Bagaimana Tubuh Merespon Marah?
Marah juga berkaitan erat dengan respons biologis tubuh. Ketika kita marah, tubuh kita merespons dengan mengaktifkan sistem saraf simpatik, yang mempersiapkan kita untuk menghadapi ancaman melalui "fight or flight". Hal ini menyebabkan peningkatan detak jantung, tekanan darah, dan aliran darah ke otot.
Dr. Robert Sapolsky, seorang ahli neurologi, menjelaskan bahwa marah adalah bagian dari mekanisme bertahan hidup yang berkembang selama ribuan tahun. Namun, dalam dunia modern, emosi ini sering kali menjadi berlebihan karena kita jarang berada dalam situasi yang benar-benar mengancam nyawa. Marah yang tidak terkontrol dapat berbahaya bagi kesehatan fisik dan mental, meningkatkan risiko penyakit jantung, tekanan darah tinggi, hingga gangguan kecemasan.
Adrenalin yang dipicu oleh kemarahan dapat memberikan energi ekstra untuk menyelesaikan tugas yang sulit atau untuk bertindak dalam situasi yang membutuhkan ketegasan.
 Jika kemarahan berlangsung terlalu lama, dampak fisiknya bisa merusak kesehatan tubuh. Misalnya, stres kronis yang berasal dari kemarahan dapat memengaruhi kualitas tidur dan menyebabkan gangguan pencernaan.
Perspektif Sosial: Marah Sebagai Sarana Sosial
Di dalam masyarakat, cara kita mengekspresikan marah sering kali ditentukan oleh norma sosial. Dalam beberapa budaya, marah dianggap sebagai hal yang harus disembunyikan dan dikendalikan, sementara di budaya lain, mengekspresikan kemarahan bisa dianggap sah, bahkan perlu, untuk menyuarakan ketidakadilan.