Dalam sunyi yang berlapis asa, aku berdiri,
Berharap dunia masih peduli,
Namun suara-suara asing mengoyak janji,
Menggadai nilai demi ambisi,
Hingga relung hatiku berontak,
Mendesak aku untuk angkat suara.
Mereka berteriak tentang keadilan palsu,
Mengemas dusta dalam kata indah,
Menghapus jejak nurani yang lesu,
Aku saksikan keserakahan yang parah,
Saat kesabaran terus teruji,
Terpaksa aku harus marah kali ini.
Aku marah pada tirani tanpa wajah,
Yang bersembunyi di balik tirai kuasa,
Menjual masa depan untuk laba murah,
Menjadikan rakyat sebagai boneka,
Sementara bumi kita digerus rakus,
Ke mana nurani? Ke mana kompas itu lurus?
Aku tak ingin menjadi batu yang diam,
Namun sabarku bukanlah tanpa batas,
Tangan kecil ini ingin melawan taring tajam,
Menjawab segala bentuk pengkhianatan keras,
Aku hanya manusia yang juga terluka,
Saat hukum seperti rimba yang tanpa cela.
Terpaksa akupun harus marah kini,
Karena cinta yang terlalu mendalam,
Pada tanah tempat aku berdiri,
Dan langit biru yang mulai kelam,
Aku tak bisa diam menyaksikan semua,
Terlalu banyak luka yang tak terbalut doa.
Dalam hening aku temui bayangan,
Sosok-sosok kecil yang haus harapan,
Namun dunia mengajarkan penindasan,
Mereka direnggut dari mimpi masa depan,
Lantas, adakah alasan untuk tetap bungkam?
Bukankah suara adalah kunci keadilan?
Mereka berkata aku terlalu berani,
Namun bukankah diam hanya membunuh jiwa?
Mereka tertawa pada amarah yang hakiki,
Namun kebenaran tak butuh puja,
Biar api ini membakar kegelapan,
Biarkan suaraku menjadi suluh harapan.
Aku marah pada kebohongan yang terhampar,
Menggelar pesta di atas derita,
Mengukir janji pada hati yang lapar,
Namun lupa menghapus air mata,
Hingga terpaksa aku harus memilih,
Antara diam atau melawan yang tertindih.
Aku marah pada kebisuan yang memekik,
Pada ketidakadilan yang seolah biasa,
Pada kejujuran yang kini tercekik,
Di hadapan para penjaga sandiwara,
Aku tak ingin menjadi bagian dari dosa ini,
Terpaksa aku harus marah, meski sendiri.
Terpaksa aku harus melawan arus,
Biar hujatan menampar keras,
Kebenaran tak pernah lahir mulus,
Ia tumbuh di atas luka yang panas,
Namun bagiku, ini adalah jalan,
Untuk meraih keadilan yang bertahan.
Aku marah pada takdir yang seolah kejam,
Namun ini bukan ratapan seorang pengecut,
Dalam marahku ada tekad yang tajam,
Untuk memecah belenggu yang membisu,
Aku ingin dunia lebih jujur dari ini,
Dan bukan panggung sandiwara penuh ironi.
Terpaksa aku harus marah pada diri sendiri,
Mengapa dulu aku hanya diam saja?
Mengapa membiarkan ketidakadilan berdiri?
Mengapa aku terlambat menyadari dosa?
Namun waktu belum habis untuk berjuang,
Selama napas ini masih berdendang.
Aku marah pada setiap kata yang palsu,
Yang melukai hati dan meruntuhkan janji,
Pada tangan yang tega menebar abu,
Mengubur asa mereka yang kecil dan sunyi,
Tapi marahku tak sekadar dendam,
Ia adalah seruan agar keadilan terbenam.
Terpaksa aku harus menyuarakan nurani,
Meskipun angin melawan suaraku,
Karena dunia ini terlalu penuh ironi,
Untuk ditinggalkan tanpa keluh kesahku,
Aku marah untuk mereka yang bisu,
Yang tak lagi punya suara dalam kalbu.
Aku marah pada mereka yang berkuasa,
Namun lupa pada makna tanggung jawab,
Mereka yang berlindung di balik surga,
Namun tangan mereka penuh belati tajam,
Adakah arti dari kata-kata mereka?
Ataukah semua hanya permainan semata?
Terpaksa aku harus berkata-kata,
Meski dunia mencoba membungkam,
Amarah ini bukan sekadar murka,
Ia adalah cinta yang ingin menerjang,
Membebaskan mereka dari belenggu derita,
Dan membuka jalan menuju bahagia.
Aku marah pada sejarah yang berulang,
Pada luka yang tak kunjung sembuh,
Pada air mata yang terus mengalir panjang,
Namun tak ada yang mencoba untuk teguh,
Inilah saatnya untuk berdiri tegar,
Meski harus melewati jalan penuh samar.
Terpaksa aku harus menahan tangis,
Karena marah ini bukan tanpa alasan,
Ia lahir dari keperihan yang manis,
Dari harapan yang kerap dirampas zaman,
Aku marah bukan karena aku lemah,
Tapi karena dunia terlalu sering tak ramah.
Biarkan marahku menjadi nyala kecil,
Menjadi obor yang tak padam oleh hujan,
Menjadi api yang menerangi jalan yang sunyi,
Karena aku tak ingin tenggelam dalam kelam,
Terpaksa aku harus marah kini,
Agar dunia belajar arti cinta sejati.
Terpaksa akupun harus marah,
Namun marahku bukanlah kehancuran,
Ia adalah jalan menuju terang,
Untuk meraih masa depan tanpa tekanan,
Aku marah karena aku peduli,
Pada dunia yang harus lebih berarti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H