Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Berbicara dalam Bisu

1 Januari 2025   01:48 Diperbarui: 1 Januari 2025   01:56 6
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam bisu, aku menjadi pendengar yang setia. Aku mendengarkan segala yang tidak terucapkan oleh dunia. Aku mendengar kesedihan yang tersembunyi di balik senyuman, kegembiraan yang tersembunyi di balik air mata, dan harapan yang tersembunyi di balik keputusasaan. Setiap kata yang tidak terucap, setiap emosi yang terpendam, menjadi bahasa baru yang aku pahami, meskipun dunia tidak bisa mendengarnya. Aku adalah saksi dari kebisuan yang berbicara lebih keras daripada kata-kata.

Kadang aku merasa seperti petir yang menyambar langit malam, penuh dengan kekuatan yang tak terlihat, namun tidak pernah bisa memecah kegelapan. Petir itu datang, menyinari sejenak, dan kemudian menghilang. Sama seperti perasaan yang kumiliki, datang tanpa ada yang tahu, dan pergi tanpa ada yang menyadari. Aku adalah petir yang diam, hanya menyisakan kilatan dalam hati, sementara dunia tetap gelap, terus berjalan tanpa pernah melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam diriku.

Bisu ini seperti hutan yang lebat, dengan ranting-ranting kata yang saling berjalin. Aku berjalan di dalamnya, mencoba mencari jalan keluar, namun setiap langkah hanya membawa aku lebih dalam ke dalam kesunyian. Hutan ini penuh dengan kenangan yang terpendam, penuh dengan suara yang tidak terdengar, dan penuh dengan perasaan yang tak terungkap. Aku tidak tahu apakah aku ingin keluar dari hutan ini, ataukah aku hanya ingin tetap berjalan, menelusuri setiap sudut hati yang terjaga dalam bisu.

 Ada hari-hari ketika bisu ini terasa sangat berat, seperti batu besar yang menghalangi jalan. Aku ingin bergerak, ingin berbicara, namun batu itu selalu menghalangi. Seperti pohon yang terikat akar, aku merasa terbelenggu oleh diam ini. Namun, aku tahu bahwa batu itu bukanlah penghalang yang nyata, melainkan perasaan yang tumbuh di dalam diriku, yang membuat aku merasa bahwa tidak ada jalan keluar dari kebisuan ini. Aku hanya bisa menerima bahwa kadang, batu-batu itu harus ada untuk mengajarkanku tentang kesabaran.

Dalam bisu, aku belajar tentang kekuatan yang tersembunyi. Kata-kata yang tidak diucapkan memiliki kekuatan yang sama dengan kata-kata yang berbicara keras. Ada saatnya aku merasa bahwa diamku adalah bentuk keberanian, keberanian untuk tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk dunia, keberanian untuk tetap tenang meskipun badai menghampiri. Diam ini bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda bahwa aku sedang mempertimbangkan setiap kata yang akan aku ucapkan, memilih dengan hati-hati apa yang layak untuk dibagikan.

 Bisu ini adalah ruang kosong yang kuisi dengan pikiran dan perasaan. Setiap detik berlalu seperti angin yang berhembus, membawa pikiranku melayang ke tempat-tempat yang jauh, ke tempat-tempat yang hanya bisa aku impikan. Di dalam ruang kosong ini, aku menemukan kedamaian, tetapi juga kerinduan. Kerinduan untuk berbicara, untuk berbagi, untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam diri. Namun, aku tetap memilih untuk diam, karena aku tahu bahwa ada saatnya kata-kata akan menemukan jalannya sendiri.

Aku adalah pelukis yang melukis dengan warna diam. Setiap goresan kubuat di kanvas hidupku, penuh dengan warna yang hanya aku yang bisa melihatnya. Lukisan ini tidak akan pernah selesai, karena setiap kali aku mencoba untuk melengkapi satu bagian, ada bagian lain yang harus tetap kosong, tetap belum terungkap. Lukisan ini adalah potret diri, yang terbentuk dari bisu, yang tidak akan pernah selesai sampai dunia bisa melihatnya dengan mata hati.

Ada saat-saat ketika aku merasa ingin berteriak, ingin keluar dari kebisuan ini dan membiarkan dunia mendengar apa yang ada di dalam hatiku. Tetapi setiap kali aku mencoba untuk berbicara, kata-kata itu menguap begitu saja, seolah tidak pernah ada. Seperti kabut yang menghilang ketika matahari terbit, kata-kata itu hanya menyisakan bayangan yang tidak bisa dipahami. Aku bertanya-tanya, apakah kebisuan ini adalah cara dunia memberiku pelajaran tentang pengendalian diri, ataukah ini adalah takdir yang harus kuterima?

 Berbicara dalam bisu, aku tidak pernah benar-benar sendirian. Aku memiliki dunia dalam diam ini, dunia yang penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan. Di dalam kebisuan ini, aku menemukan kebebasan untuk menjadi diriku sendiri, tanpa takut akan penilaian, tanpa rasa khawatir akan pemahaman yang salah. Kebisuan ini adalah bahasa yang hanya aku dan alam semesta yang bisa mengerti. Dalam setiap keheningan, aku berbicara lebih banyak daripada yang pernah bisa aku ucapkan.

Dan mungkin, pada akhirnya, aku akan mengerti bahwa berbicara dalam bisu bukanlah tentang menghindari dunia, tetapi tentang memahami diri sendiri lebih dalam. Mungkin kebisuan ini adalah cara alam semesta mengajarkanku untuk mendengarkan, untuk merasa, dan untuk mengerti bahwa tidak semua hal perlu diucapkan dengan kata-kata. Karena dalam bisu, aku telah belajar lebih banyak tentang diriku, lebih banyak tentang dunia, dan lebih banyak tentang makna dari setiap kata yang tidak pernah keluar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun