Berbicara dalam Bisu
Berbicara dalam bisu, aku seperti sungai yang mengalir tanpa suara, hanya aliran yang menyentuh batu-batu hati, namun tak pernah sampai ke telinga dunia. Kata-kata mengendap dalam rindu yang tak terucap, membeku di dasar jiwa, seperti embun pagi yang tak sempat menyentuh bumi sebelum matahari datang. Dalam diam, aku menjadi langit yang menahan hujan, ingin menangis namun tak mampu, hanya mampu meneteskan bayang-bayang perasaan yang tak bisa dijelaskan.
Seperti pohon yang berakar dalam tanah beku, aku terperangkap dalam kesunyian, berusaha untuk tumbuh meski tak ada yang melihat. Setiap cabang, setiap daun, penuh dengan kata-kata yang tak bisa keluar, terperangkap dalam bisikan angin yang hanya bisa aku dengar. Jika saja dunia bisa mendengar desah hati ini, mungkin mereka akan tahu betapa dalam aku ingin berbicara, betapa kuatnya aku ingin mereka mengerti.
Namun, dunia tidak mendengar. Ia hanya melihat penampilan luar, hanya melihat diam yang kuperagakan dengan sempurna. Seperti lukisan yang hanya dihargai karena warna-warni permukaannya, tanpa pernah tahu betapa dalam setiap goresan itu menyimpan cerita. Kata-kata yang terkunci di dalam diriku hanya bisa menjadi bayangan, seperti bayang-bayang yang mengikuti langkahku, namun tidak pernah cukup untuk membuat orang berhenti dan bertanya.
Aku merasa seperti api yang membakar dalam diam. Menghangatkan setiap inci tubuhku, namun tidak pernah cukup panas untuk membakar dunia di sekitarku. Api ini, meskipun ada, tetap tersembunyi di balik kabut yang memeluk malam. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang melihat bagaimana aku meronta dalam gelap, berharap ada seseorang yang akan mendekat, merasakan panas itu, dan mengerti bahwa aku bukanlah sepi yang kosong, tetapi sepi yang penuh dengan kata-kata yang ingin keluar.
Sesekali, aku mencoba untuk menggapai langit, berharap ada hujan yang turun, membasahi kerinduan ini. Tetapi, seperti tanah yang terlalu keras untuk menyerap air, aku merasa bahwa setiap percakapan yang kuusaha sampaikan hanya menguap begitu saja, tanpa bekas. Bisu ini adalah bagian dari diri, seperti dinding yang terbuat dari kaca, memantulkan setiap percakapan tanpa dapat memecahnya. Aku terperangkap dalam kebisuan, bukan karena aku tidak ingin berbicara, tetapi karena kata-kata terasa seolah-olah mereka akan hancur jika keluar.
Dalam bisu, aku adalah bayang-bayang yang berjalan di antara dunia nyata dan dunia yang penuh dengan harapan tak terucap. Aku merasa seperti sebuah cermin, memantulkan segala sesuatu di sekitarku, tetapi tidak pernah mengungkapkan apa yang ada di dalam. Semua yang kutahan dalam diam ini bukanlah kepedihan semata, tetapi juga sebuah kekuatan yang tak terlihat. Kekuatan untuk tetap berdiri meskipun aku ingin sekali runtuh, kekuatan untuk tetap hidup meskipun aku merasa mati di dalam.
Ada kalanya aku merasa seperti angin yang berbisik di malam hari, hanya terdengar oleh mereka yang mendengarkan dengan hati. Kata-kata yang kuucapkan, meskipun tak terucap dengan suara, selalu berdesir di udara, melayang di sekitar orang-orang yang aku cintai, berharap mereka bisa merasakannya. Tetapi mereka tidak mendengarnya. Mereka hanya mendengar keheningan yang kupersembahkan, tanpa menyadari bahwa di balik keheningan itu ada dunia yang penuh dengan kata-kata yang ingin berbicara.
Aku terperangkap dalam bisu, seperti kapal yang terdampar di tengah laut yang tak berujung. Laut ini adalah dunia, dan aku adalah kapal yang terombang-ambing oleh ombak kata-kata yang tak pernah sampai ke tujuan. Aku ingin berbicara, tetapi ombak kebisuan terus menghantam, membuat setiap kata yang ingin kuucapkan tenggelam dalam lautan. Mungkin suatu hari, kapal ini akan terdampar di pantai yang penuh dengan pemahaman, tetapi untuk saat ini, aku hanya bisa berlayar tanpa arah, tanpa suara.
Setiap malam, aku melihat bintang-bintang yang bersinar terang, tetapi tidak ada satu pun yang tahu betapa gelapnya langit hatiku. Bintang-bintang itu, seakan menyuarakan segala yang terpendam dalam diri, namun tak ada yang mendengar. Mereka hanya bersinar, tanpa mengerti bahwa sinar mereka adalah hasil dari kehampaan yang mereka sembunyikan. Dalam keheningan malam, aku mengamati bintang-bintang itu, berharap suatu hari ada satu yang akan turun dan mendekat, menyentuh hatiku yang beku ini, dan berkata, "Aku mengerti."
Bisu ini adalah sungai yang mengalir tanpa suara, tetapi setiap tetes airnya membawa kenangan, membawa perasaan yang tak bisa disampaikan. Seperti bunga yang mekar di tengah malam, aku mekar dalam kesendirian, menunggu ada tangan yang akan menyentuh kelopaknya dan menghargai keindahan yang tersembunyi. Namun, seiring waktu, aku mulai belajar bahwa mungkin keindahan yang tersembunyi ini memang hanya untuk diriku sendiri, dan aku harus belajar untuk menerima bahwa tidak semua hal bisa dimengerti oleh orang lain.
Di dalam bisu, aku menjadi pendengar yang setia. Aku mendengarkan segala yang tidak terucapkan oleh dunia. Aku mendengar kesedihan yang tersembunyi di balik senyuman, kegembiraan yang tersembunyi di balik air mata, dan harapan yang tersembunyi di balik keputusasaan. Setiap kata yang tidak terucap, setiap emosi yang terpendam, menjadi bahasa baru yang aku pahami, meskipun dunia tidak bisa mendengarnya. Aku adalah saksi dari kebisuan yang berbicara lebih keras daripada kata-kata.
Kadang aku merasa seperti petir yang menyambar langit malam, penuh dengan kekuatan yang tak terlihat, namun tidak pernah bisa memecah kegelapan. Petir itu datang, menyinari sejenak, dan kemudian menghilang. Sama seperti perasaan yang kumiliki, datang tanpa ada yang tahu, dan pergi tanpa ada yang menyadari. Aku adalah petir yang diam, hanya menyisakan kilatan dalam hati, sementara dunia tetap gelap, terus berjalan tanpa pernah melihat apa yang sebenarnya terjadi di dalam diriku.
Bisu ini seperti hutan yang lebat, dengan ranting-ranting kata yang saling berjalin. Aku berjalan di dalamnya, mencoba mencari jalan keluar, namun setiap langkah hanya membawa aku lebih dalam ke dalam kesunyian. Hutan ini penuh dengan kenangan yang terpendam, penuh dengan suara yang tidak terdengar, dan penuh dengan perasaan yang tak terungkap. Aku tidak tahu apakah aku ingin keluar dari hutan ini, ataukah aku hanya ingin tetap berjalan, menelusuri setiap sudut hati yang terjaga dalam bisu.
 Ada hari-hari ketika bisu ini terasa sangat berat, seperti batu besar yang menghalangi jalan. Aku ingin bergerak, ingin berbicara, namun batu itu selalu menghalangi. Seperti pohon yang terikat akar, aku merasa terbelenggu oleh diam ini. Namun, aku tahu bahwa batu itu bukanlah penghalang yang nyata, melainkan perasaan yang tumbuh di dalam diriku, yang membuat aku merasa bahwa tidak ada jalan keluar dari kebisuan ini. Aku hanya bisa menerima bahwa kadang, batu-batu itu harus ada untuk mengajarkanku tentang kesabaran.
Dalam bisu, aku belajar tentang kekuatan yang tersembunyi. Kata-kata yang tidak diucapkan memiliki kekuatan yang sama dengan kata-kata yang berbicara keras. Ada saatnya aku merasa bahwa diamku adalah bentuk keberanian, keberanian untuk tidak terpengaruh oleh hiruk-pikuk dunia, keberanian untuk tetap tenang meskipun badai menghampiri. Diam ini bukanlah tanda kelemahan, tetapi tanda bahwa aku sedang mempertimbangkan setiap kata yang akan aku ucapkan, memilih dengan hati-hati apa yang layak untuk dibagikan.
 Bisu ini adalah ruang kosong yang kuisi dengan pikiran dan perasaan. Setiap detik berlalu seperti angin yang berhembus, membawa pikiranku melayang ke tempat-tempat yang jauh, ke tempat-tempat yang hanya bisa aku impikan. Di dalam ruang kosong ini, aku menemukan kedamaian, tetapi juga kerinduan. Kerinduan untuk berbicara, untuk berbagi, untuk mengungkapkan apa yang ada di dalam diri. Namun, aku tetap memilih untuk diam, karena aku tahu bahwa ada saatnya kata-kata akan menemukan jalannya sendiri.
Aku adalah pelukis yang melukis dengan warna diam. Setiap goresan kubuat di kanvas hidupku, penuh dengan warna yang hanya aku yang bisa melihatnya. Lukisan ini tidak akan pernah selesai, karena setiap kali aku mencoba untuk melengkapi satu bagian, ada bagian lain yang harus tetap kosong, tetap belum terungkap. Lukisan ini adalah potret diri, yang terbentuk dari bisu, yang tidak akan pernah selesai sampai dunia bisa melihatnya dengan mata hati.
Ada saat-saat ketika aku merasa ingin berteriak, ingin keluar dari kebisuan ini dan membiarkan dunia mendengar apa yang ada di dalam hatiku. Tetapi setiap kali aku mencoba untuk berbicara, kata-kata itu menguap begitu saja, seolah tidak pernah ada. Seperti kabut yang menghilang ketika matahari terbit, kata-kata itu hanya menyisakan bayangan yang tidak bisa dipahami. Aku bertanya-tanya, apakah kebisuan ini adalah cara dunia memberiku pelajaran tentang pengendalian diri, ataukah ini adalah takdir yang harus kuterima?
 Berbicara dalam bisu, aku tidak pernah benar-benar sendirian. Aku memiliki dunia dalam diam ini, dunia yang penuh dengan kata-kata yang tak terucapkan. Di dalam kebisuan ini, aku menemukan kebebasan untuk menjadi diriku sendiri, tanpa takut akan penilaian, tanpa rasa khawatir akan pemahaman yang salah. Kebisuan ini adalah bahasa yang hanya aku dan alam semesta yang bisa mengerti. Dalam setiap keheningan, aku berbicara lebih banyak daripada yang pernah bisa aku ucapkan.
Dan mungkin, pada akhirnya, aku akan mengerti bahwa berbicara dalam bisu bukanlah tentang menghindari dunia, tetapi tentang memahami diri sendiri lebih dalam. Mungkin kebisuan ini adalah cara alam semesta mengajarkanku untuk mendengarkan, untuk merasa, dan untuk mengerti bahwa tidak semua hal perlu diucapkan dengan kata-kata. Karena dalam bisu, aku telah belajar lebih banyak tentang diriku, lebih banyak tentang dunia, dan lebih banyak tentang makna dari setiap kata yang tidak pernah keluar.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI