Agama menjadi senjata, bukan lagi pelukan.
Di banyak tempat, agama yang seharusnya menjadi sumber kedamaian berubah menjadi alasan konflik. Para pemimpin spiritual, yang seharusnya menjadi teladan, sering kali terlibat dalam perpecahan dan kebencian. Rumah ibadah, tempat suci untuk berdoa, menjadi arena pertikaian yang penuh dengan amarah.
Fanatisme meningkat, mengaburkan ajaran cinta kasih yang mendasari semua agama. Atas nama Tuhan, manusia saling melukai dan menghancurkan. Agama tidak lagi menjadi pelukan hangat yang menguatkan, melainkan pedang yang membelah, menciptakan jurang yang semakin sulit dijembatani.
Sains yang seharusnya membawa harapan justru melahirkan ketakutan.
Ilmu pengetahuan, yang selama ini menjadi sumber kemajuan, mulai menimbulkan dilema moral yang rumit. Eksperimen genetik membuka peluang untuk mengatasi penyakit, tetapi juga menciptakan ancaman manipulasi kehidupan. Robot pembunuh dan senjata biologi menjadi alat baru untuk perang, menambah dimensi baru dalam konflik manusia.
Kekhawatiran ini tidak hanya datang dari apa yang diciptakan, tetapi juga bagaimana teknologi digunakan. Apakah kemajuan ini akan membawa manusia menuju masa depan yang lebih baik, atau justru mempercepat kehancuran? Di balik inovasi, ada bayangan ketakutan akan konsekuensi yang belum sepenuhnya dipahami.
Namun, di tengah kelabu ini, ada percikan kecil cahaya.
Meski dunia tampak hancur, masih ada orang-orang yang berjuang untuk memperbaikinya. Mereka adalah pelukis yang mencoba menyulam keindahan di atas kanvas yang retak. Dari komunitas kecil hingga gerakan global, mereka menciptakan perubahan dengan penuh semangat dan harapan.
Mereka adalah para relawan yang membantu korban bencana, para pendidik yang mendidik tanpa pamrih, dan para inovator yang menciptakan solusi untuk masalah dunia. Meskipun jumlah mereka kecil, harapan yang mereka bawa besar. Mereka membuktikan bahwa di tengah kehancuran, masih ada harapan untuk kebangkitan.
Tahun 2024 akan berlalu, tetapi refleksi kelabu ini akan tetap tertinggal.
Ketika tahun ini berakhir, kita harus bertanya pada diri sendiri: apakah kita belajar dari semua ini? Ataukah kita akan terus mengulang kesalahan yang sama? Dunia berada di persimpangan jalan, dan pilihan ada di tangan kita.
Jika kita memilih untuk belajar, tahun-tahun mendatang bisa menjadi lebih cerah. Tetapi jika kita tetap menari di tepi jurang, hanya waktu yang akan menentukan kapan kita akan terjatuh. Refleksi kelabu ini adalah peringatan, bukan akhir. Masa depan masih bisa kita tulis dengan warna yang lebih cerah, jika kita berani melakukannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H