Barat pun tidak lebih baik. Demokrasi, kata mereka, adalah janji yang kosong.
Di negara-negara Barat, yang sering mengklaim sebagai mercusuar demokrasi, kebohongan perlahan terkuak. Demokrasi, yang sejatinya berarti kekuasaan rakyat, telah direduksi menjadi permainan kekuasaan para elit. Janji-janji pemimpin untuk menciptakan keadilan sosial dan ekonomi hanyalah retorika tanpa makna. Di balik gemerlap kota-kota besar, rakyat kecil menderita, terkubur dalam bayang-bayang sistem yang dirancang untuk memperkaya segelintir orang.
Para oligarki berdansa dalam lingkaran penguasa, membentuk jaringan kekuasaan yang sulit ditembus. Media, yang seharusnya menjadi pilar keempat demokrasi, sering kali tunduk pada kepentingan pemilik modal, menyajikan berita yang bias untuk menjaga status quo. Rakyat hanya bisa menonton, tidak lebih dari penonton dalam drama besar yang dimainkan di panggung politik. Ketidakpuasan meluas, protes pecah di berbagai kota, tetapi suara rakyat tenggelam oleh propaganda yang canggih dan manipulasi digital.
Di tengah hiruk-pikuk itu, dunia maya menjadi medan perang yang baru.
Internet, yang awalnya dirayakan sebagai ruang kebebasan dan inovasi, telah berubah menjadi arena konflik yang mematikan. Platform media sosial, yang dirancang untuk menghubungkan manusia, kini menjadi alat untuk menyebarkan kebencian, fitnah, dan propaganda. Kata-kata yang dulu menginspirasi kini berubah menjadi peluru yang menghancurkan reputasi dan kehidupan seseorang.
Serangan siber meningkat, baik dari individu maupun negara, menciptakan ketakutan yang meluas. Di ruang virtual ini, kebenaran menjadi hal yang sulit ditemukan. Algoritma yang seharusnya membantu manusia malah memperkuat polarisasi, memisahkan orang ke dalam gelembung-gelembung informasi yang berbeda. Kepercayaan antarindividu dan kelompok hancur, digantikan oleh kecurigaan yang mendalam. Dunia maya tidak lagi menjadi tempat perlindungan, tetapi medan perang tanpa akhir yang menghancurkan tatanan sosial.
Bumi, rumah yang dahulu indah, kini menjadi penjara bagi penghuninya.
Gunung-gunung yang dulunya berdiri megah kini dilubangi tanpa ampun untuk mengeksploitasi hasil tambangnya. Tambang-tambang besar menjajah wilayah-wilayah alami, meninggalkan bekas luka besar di permukaan bumi. Kawasan hutan yang menjadi paru-paru dunia perlahan hilang, digantikan oleh pabrik-pabrik dan tambang terbuka. Hewan-hewan liar kehilangan habitatnya, terpaksa mencari perlindungan di tempat-tempat yang semakin sempit dan berbahaya.
Namun, kehancuran ini tidak hanya berdampak pada alam. Masyarakat lokal yang hidup di sekitar kawasan pertambangan sering kali menjadi korban utama. Mereka kehilangan akses ke tanah dan air bersih, sementara perusahaan besar meraup keuntungan tanpa memberikan kompensasi yang memadai. Bumi, yang seharusnya menjadi rumah, kini terasa seperti penjara bagi banyak orang. Keindahannya digantikan oleh kehancuran, dan kehidupan di dalamnya berubah menjadi perjuangan tanpa akhir untuk bertahan hidup.
Di selatan, kelaparan berbisik lirih.
Di belahan bumi selatan, kelaparan bukan lagi ancaman yang tersembunyi, melainkan kenyataan yang menyakitkan. Anak-anak tidur dengan perut kosong, tubuh mereka yang kurus menjadi simbol ketidakadilan global. Sementara itu, di belahan dunia lain, gudang-gudang penuh dengan makanan yang berlebihan hingga terbuang sia-sia. Ketimpangan ini adalah tamparan keras bagi kemanusiaan, mengingatkan kita bahwa kelaparan bukan karena kurangnya sumber daya, melainkan distribusi yang tidak adil.
Di desa-desa kecil yang terpencil, para ibu berjuang mati-matian untuk memberi makan anak-anak mereka. Banyak yang terpaksa mengorbankan kesehatan mereka sendiri demi keluarga. Para pemimpin dunia mengadakan konferensi demi konferensi untuk membahas krisis ini, tetapi hasilnya hanya janji kosong tanpa aksi nyata. Kelaparan terus menggerogoti tubuh dan jiwa manusia, menciptakan lingkaran kemiskinan yang sulit diputus.
Alam melawan, seperti harimau yang terluka.
Bencana alam semakin sering terjadi, membawa kehancuran yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Banjir melanda kota-kota besar, menghancurkan infrastruktur dan menenggelamkan ribuan rumah. Angin topan mengamuk, memporak-porandakan wilayah pesisir, meninggalkan jejak kehancuran yang luas. Gunung berapi meletus, menyemburkan abu yang menggelapkan langit dan memaksa ribuan orang mengungsi.
Namun, yang paling mengkhawatirkan adalah bahwa bencana ini bukan lagi kejadian alam yang murni, melainkan hasil dari intervensi manusia yang tidak bertanggung jawab. Penggundulan hutan, urbanisasi tanpa kendali, dan perubahan iklim menjadi katalisator yang memperburuk dampaknya. Meski alam terus memberikan peringatan, manusia tetap tuli, sibuk mengejar kemajuan tanpa memikirkan konsekuensinya.
Di sudut-sudut kota, keheningan malam tergantikan oleh tangisan.
Di tengah gemerlap lampu kota, ada suara yang sering tidak terdengar: tangisan para tunawisma yang menggigil di bawah dinginnya malam. Mereka, yang telah kehilangan segalanya, hanya memiliki bintang-bintang sebagai saksi penderitaan mereka. Tempat perlindungan yang seharusnya menjadi hak asasi setiap manusia berubah menjadi kemewahan yang tidak terjangkau.