Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Refleksi Hitam Tahun 2024 dan Harapan Kelabu Tahun 2025 (2)

27 Desember 2024   21:11 Diperbarui: 27 Desember 2024   21:55 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi perang Ukraina (Kompas.com)

Refleksi Hitam Tahun 2024 (2)

Tahun 2024 adalah kanvas yang retak, warnanya kelabu, seperti senja yang kehilangan jingga.
Tahun ini menjadi sebuah peringatan keras bagi peradaban manusia, sebuah cermin besar yang memperlihatkan semua kelemahan kita sebagai penghuni planet ini. Kanvas retak itu menggambarkan luka-luka mendalam yang tercipta akibat perang, ketidakadilan, dan penghancuran alam. Layaknya senja tanpa jingga, dunia kehilangan pesonanya, berubah menjadi hamparan suram yang dipenuhi rasa cemas dan ketidakpastian. Kita menyaksikan kekacauan, baik di tingkat global maupun lokal, di mana setiap upaya untuk memperbaiki keadaan sering kali justru melahirkan masalah baru. Sementara itu, Bumi, sang ibu kehidupan, berteriak dalam diamnya, menyaksikan anak-anaknya yang seharusnya melindunginya justru menjadi ancaman terbesar bagi keberlangsungannya.

Setiap sudut dunia mencatat guratan kegetiran yang berbeda, dari konflik bersenjata, ketimpangan sosial, hingga bencana alam yang semakin intens. Semua ini melukiskan sebuah cerita yang sulit dihapus, tidak hanya di atas kanvas waktu, tetapi juga dalam hati nurani manusia. Refleksi ini bukan sekadar kritik terhadap kegagalan kolektif kita, melainkan juga undangan untuk merenungkan apa yang sebenarnya kita perjuangkan di tengah dunia yang semakin kehilangan arah.

Di utara, salju mencair seperti air mata.
Pemandangan di wilayah utara bumi menjadi saksi nyata perubahan iklim yang kian tak terkendali. Gletser yang dahulu dianggap abadi, berdiri megah sebagai simbol keindahan dan keseimbangan alam, kini mencair dengan cepat. Seperti air mata, es yang mencair itu membawa pesan pilu---peringatan bahwa kita sedang menghancurkan sesuatu yang tidak dapat dipulihkan. Suhu bumi yang terus meningkat akibat emisi gas rumah kaca mengancam seluruh ekosistem yang bergantung pada stabilitas kutub utara.

Di sana, beruang kutub berkeliaran di atas es yang semakin tipis, mencari makanan yang semakin langka. Para ilmuwan sudah memperingatkan selama puluhan tahun tentang bencana yang akan datang, tetapi suara mereka tenggelam di antara hiruk-pikuk keserakahan ekonomi global. Pemimpin dunia lebih memilih berbicara tentang keuntungan ekonomi daripada keberlanjutan lingkungan. Salju yang mencair tidak hanya menjadi pertanda perubahan fisik, tetapi juga metafora untuk harapan yang terkikis secara perlahan---sebuah dunia yang kehilangan keteguhannya untuk melindungi warisan alam bagi generasi mendatang.

Laut menjadi kuburan biru.
Lautan, yang selama ribuan tahun menjadi sumber kehidupan, kini berubah menjadi medan kehancuran. Sampah plastik mengapung di atas permukaan, membentuk "pulau-pulau sampah" yang lebih besar daripada beberapa negara. Di kedalaman, ikan-ikan sekarat karena tercemar bahan kimia beracun dan kekurangan oksigen akibat zona mati yang semakin meluas. Dalam gelapnya malam, bisikan para nelayan terdengar pilu, menceritakan bagaimana tangkapan mereka semakin menipis. Laut yang dulunya kaya akan hasil bumi kini hanya menyisakan kesedihan bagi mereka yang hidupnya bergantung padanya.

Namun, penderitaan ini tidak hanya terjadi di antara manusia. Ekosistem laut kehilangan keseimbangannya. Terumbu karang, yang menjadi rumah bagi jutaan spesies laut, memutih dan mati akibat kenaikan suhu air. Burung laut tersedak oleh potongan plastik kecil yang mereka sangka makanan. Laut tidak lagi menjadi biru, tetapi berubah menjadi kuburan bagi makhluk-makhluk yang seharusnya hidup damai di dalamnya. Setiap tetes air laut mengandung cerita tentang kerusakan, dan setiap ombak yang memecah di pantai membawa pesan bahwa waktu untuk bertindak hampir habis.

Di tanah-tanah yang kering, pohon-pohon merunduk seperti lelah menunggu hujan yang tak pernah datang.
Gurun-gurun baru tercipta di tempat yang dulunya subur, mengubah ladang pertanian menjadi lahan tandus yang tidak berguna. Pohon-pohon, saksi bisu dari ribuan tahun kehidupan, kini berdiri layu dan renta. Mereka merunduk, seakan tak sanggup lagi melawan panas yang terus meningkat. Para petani, yang menggantungkan hidup pada kemurahan tanah, duduk termenung di bawah bayangan pohon terakhir, mencoba memahami apa yang salah.

Tanah yang kering dan pecah-pecah menjadi simbol ketidakadilan alam. Wilayah yang pernah menjadi lumbung pangan kini menjadi wilayah rawan kelaparan. Di banyak tempat, sumber air mengering, memaksa penduduk untuk berjalan puluhan kilometer hanya untuk mendapatkan setetes air. Anak-anak berhenti sekolah, membantu orang tua mereka mencari penghidupan di tengah kekeringan yang mematikan. Ketika langit tetap diam, doa-doa yang dilantunkan dengan penuh harap perlahan berubah menjadi ratapan.

 Di timur, perang adalah simfoni yang tidak pernah berhenti.
Di belahan dunia timur, suara ledakan dan rentetan peluru sudah menjadi bagian dari keseharian. Perang, yang seharusnya menjadi kekerasan terakhir untuk menyelesaikan konflik, kini menjadi alat utama untuk mengejar kekuasaan. Anak-anak, yang seharusnya belajar membaca dan menulis, dipaksa menjadi prajurit. Dengan senjata yang lebih besar dari tubuh mereka, mereka berperang dalam konflik yang tidak mereka pahami. Mata mereka kehilangan sinar kegembiraan, digantikan oleh bayangan trauma yang mendalam.

Kota-kota yang dulunya megah berubah menjadi puing-puing. Jalanan penuh dengan mayat dan reruntuhan, menggambarkan harga yang harus dibayar oleh masyarakat sipil. Namun, ironi terbesar adalah bahwa di tengah kekacauan ini, pihak-pihak yang bertikai tetap sibuk memperdagangkan senjata dan memperkuat kepentingan politik mereka sendiri. Perang ini bukan hanya tentang wilayah atau kekuasaan, tetapi tentang hilangnya kemanusiaan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun