Diam Mereka Bicara
DalamDalam diam Pak Amin pasrah atas hasil kebunnya yang tak kunjung berbuah, meski sudah berulang kali ia berusaha. Tanah yang dulu subur kini kering, tak lagi memberi harapan seperti dulu. Ia hanya menatap lahan yang luas, seakan menunggu keajaiban yang tak datang.
Dalam diam Bu Mina menangis karena bayaran untuk kerja kerasnya hanya cukup untuk makan sebulan, tanpa ada ruang untuk impian. Setiap kali harga barang naik, harapannya semakin suram, dan wajahnya yang lelah berbicara lebih banyak dari kata-kata yang ia sembunyikan.
Dalam diam, Pak Hadi merasa hilang arah, meraba-raba jalan di tengah kota yang padat, dengan impian yang dulu ia pelihara kini hanya menjadi angan yang tak tercapai. Usahanya tak lagi memberi hasil yang layak untuk keluarganya, sementara janji-janji yang ia dengar dari pemerintah hanyalah omong kosong.
 Dalam diam, Bu Siti duduk di bangku kayu tua, memandangi anak-anaknya yang tak bisa melanjutkan pendidikan karena biaya sekolah yang semakin tinggi. Mimpi untuk memberi mereka masa depan yang lebih baik terkubur dalam kesulitan ekonomi yang terus menambah beban hidupnya.
Dalam diam, Pak Joko terpaksa menjual sepeda motor yang sudah menemaninya bertahun-tahun mencari nafkah. Uang yang didapat tak cukup untuk menutup kebutuhan sehari-hari, namun ia tetap tersenyum, meski hatinya menanggung beban berat.
Dalam diam, Bu Nani merasakan tubuhnya yang semakin lemah akibat penyakit yang tak kunjung sembuh, namun ia tak punya cukup uang untuk berobat. Setiap hari, ia hanya bisa berharap agar keajaiban datang, meski harapan itu semakin luntur.
Dalam diam, Pak Dedi menerima kenyataan bahwa ladangnya yang dulu luas kini tergerus oleh proyek yang menjanjikan kemajuan. Tetapi, kemajuan itu tidak pernah sampai ke masyarakat seperti dirinya. Ia hanya bisa menatap tanah yang dulu memberi hidup, sekarang tak lebih dari kenangan.
Dalam diam, Bu Lilis berdoa agar anaknya yang sakit bisa sembuh, meski tidak ada uang untuk berobat. Setiap malam, ia memeluk anaknya yang terbaring lemah, berusaha memberi kenyamanan yang ia sendiri tak bisa rasakan.
Dalam diam, Pak Agus terus bekerja sebagai buruh harian, meski penghasilan yang ia dapatkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya. Setiap hari ia berjuang dengan tubuh yang semakin lelah, tetapi tetap tak bisa mengeluh karena takut kehilangan pekerjaan.
Dalam diam, Bu Ratna merindukan masa-masa ketika ia bisa pergi ke pasar dan membeli bahan makanan tanpa berpikir panjang. Kini, setiap belanjaan harus dihitung dengan cermat, dan ia merasa dunia semakin sempit dengan setiap langkah yang diambil.