Tekanan dari pemerintah sering kali terjadi dalam bentuk sensor, ancaman, atau penggunaan hukum sebagai alat represi. Di beberapa negara, media yang kritis terhadap kebijakan pemerintah dihadapkan pada tuntutan hukum yang dibuat untuk membungkam mereka. Contoh nyata adalah penggunaan pasal-pasal tentang pencemaran nama baik atau subversi untuk menekan jurnalis. Selain itu, ada juga tekanan fisik, seperti kekerasan terhadap wartawan di lapangan, yang kerap terjadi dalam peliputan konflik.
Pemilik modal juga menjadi sumber tekanan yang signifikan. Ketika media dimiliki oleh korporasi besar, agenda pemberitaan sering kali diarahkan untuk melayani kepentingan bisnis pemiliknya. Hal ini menciptakan konflik kepentingan yang dapat mengkompromikan independensi jurnalis. Sebagai contoh, berita tentang pelanggaran lingkungan oleh perusahaan tertentu sering kali tidak diberitakan jika perusahaan tersebut merupakan salah satu pengiklan terbesar di media terkait.
Tidak kalah penting, tekanan dari kelompok masyarakat tertentu juga dapat membatasi kebebasan pers. Ancaman boikot, kampanye di media sosial, atau bahkan kekerasan fisik sering kali digunakan untuk menekan media agar menarik atau mengubah pemberitaannya.
Untuk melindungi kebebasan pers, diperlukan payung hukum yang kuat, dukungan masyarakat, serta komitmen media untuk tetap berpihak pada kebenaran. Pers yang bebas dari tekanan adalah syarat utama untuk memastikan informasi yang disampaikan tetap obyektif, berimbang, dan berdampak positif bagi demokrasi.
Bebas dari Campur Tangan atau Interferensi yang Berasal dari Luar Pers
Kebebasan pers bukan hanya soal melaporkan fakta, tetapi juga melibatkan independensi yang utuh dari campur tangan eksternal. Interferensi dari pihak luar menjadi ancaman yang sering kali tersembunyi namun berdampak besar pada kredibilitas media. Bentuk campur tangan ini dapat berasal dari pemilik modal, pemerintah, hingga kelompok berkepentingan tertentu yang memiliki agenda tersembunyi.
Ketika pemerintah memengaruhi pemberitaan melalui tekanan politik, pers tidak lagi mampu menjalankan fungsi sebagai pengawas kekuasaan (watchdog). Sebaliknya, ia menjadi alat propaganda yang menyampaikan informasi sepihak untuk kepentingan rezim. Hal ini dapat terlihat dalam sistem otoriter, di mana media dikontrol ketat oleh negara. Namun, di negara demokrasi sekalipun, tekanan terhadap pers tidak jarang terjadi, misalnya melalui pemberian iklan pemerintah sebagai alat pengendalian.
Selain pemerintah, pemilik modal juga memiliki pengaruh signifikan. Dalam banyak kasus, pemilik media menggunakan platformnya untuk memajukan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Profesor Ross Howard menegaskan bahwa campur tangan pemilik media dapat merusak independensi redaksional, menjadikan media alat kepentingan bisnis, bukan lagi pelayan masyarakat. Di Indonesia, isu ini kerap muncul saat pemilu, di mana media tertentu lebih condong mendukung kandidat yang memiliki hubungan dengan pemiliknya.
Kelompok berkepentingan lain, seperti organisasi atau individu yang merasa dirugikan oleh pemberitaan, juga sering berusaha memengaruhi pers. Mereka menggunakan ancaman hukum, tekanan fisik, atau aksi digital seperti serangan siber untuk membungkam suara media.
Untuk melindungi kebebasan pers dari interferensi ini, diperlukan mekanisme perlindungan hukum yang kuat, transparansi dalam kepemilikan media, dan peningkatan profesionalisme jurnalis. Sebagai contoh, regulasi yang ketat terhadap konflik kepentingan dalam kepemilikan media dapat mengurangi bias dalam pemberitaan.
Dengan independensi yang terjaga, pers dapat menjalankan perannya sebagai sumber informasi yang akurat, pengawas kekuasaan, dan pendorong demokrasi. Ini adalah fondasi untuk memastikan bahwa masyarakat mendapatkan informasi yang objektif dan berkualitas.