Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Petisi Digital : Saluran Baru bagi Aspirasi Rakyat

20 Desember 2024   14:52 Diperbarui: 20 Desember 2024   15:07 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Akhir-akhir ini, media sosial Indonesia diramaikan oleh berbagai petisi digital yang menggema luas. Contoh nyata seperti petisi menolak kenaikan PPN 12% tahun 2024, petisi yang mendesak keadilan bagi korban kekerasan seksual di lingkungan pendidikan, seperti kasus pelecehan seksual di Universitas Gadjah Mada, atau desakan pencopotan pejabat yang dianggap tidak kompeten. Petisi ini sering kali menjadi viral, menciptakan tekanan besar pada pemerintah, institusi hukum, atau perusahaan. Fenomena "no viral no justice" pun mencuat—seolah-olah keadilan hanya dapat dicapai jika kasus tersebut menjadi viral di media sosial.

Namun, fenomena ini bukan tanpa risiko. Dalam kasus revisi UU ITE, misalnya, petisi daring yang dimulai dari keresahan masyarakat akhirnya mendorong pemerintah untuk mempertimbangkan perubahan regulasi. Hal ini menunjukkan kekuatan petisi digital sebagai alat demokrasi, meskipun di sisi lain sering diwarnai dengan disinformasi atau manipulasi opini publik.

Apa Itu Petisi ?

Petisi adalah cara masyarakat menyampaikan aspirasi kepada pemerintah, organisasi, atau pihak berwenang lainnya. Biasanya berupa permohonan tertulis yang berisi tuntutan, dukungan, atau protes, petisi telah lama menjadi alat penting untuk mendorong perubahan. Dalam sejarah, petisi telah membantu melawan ketidakadilan, memperjuangkan hak-hak, dan bahkan menggulingkan kekuasaan.

Petisi adalah dokumen yang berisi permintaan dari masyarakat kepada otoritas tertentu. Dokumen ini sering ditandatangani oleh banyak orang untuk menunjukkan dukungan terhadap suatu isu. Sederhananya, petisi adalah cara mengumpulkan suara untuk menyampaikan sebuah pesan yang kuat.

Misalnya, Anda mungkin pernah melihat atau bahkan menandatangani petisi untuk melindungi lingkungan, memperjuangkan hak-hak perempuan, atau memprotes kebijakan tertentu. Petisi bisa dibuat siapa saja, kapan saja, dan untuk tujuan apa saja, selama itu bertujuan untuk kebaikan bersama.

Petisi bukan hal baru. Sejak dulu, orang-orang sudah menggunakannya untuk memperjuangkan keadilan. Beberapa momen penting dalam sejarah petisi:

1. Anti-Perbudakan di Inggris (1783): Sekelompok masyarakat Quaker mengajukan petisi ke parlemen Inggris untuk menghapus perbudakan. Langkah ini menjadi awal gerakan besar yang akhirnya berhasil menghapus perbudakan di Inggris.

2. Petisi Kartini (1903): Di Indonesia, R.A. Kartini mengajukan permohonan kepada pemerintah Belanda agar perempuan bisa mendapatkan akses pendidikan. Meskipun sederhana, petisi ini menjadi landasan perjuangan hak perempuan di Tanah Air.

3. Reformasi 1998: Di Indonesia, mahasiswa dan masyarakat menyuarakan tuntutan reformasi melalui petisi-petisi yang mengkritik pemerintahan Orde Baru. Perlawanan ini akhirnya berhasil membawa perubahan besar dalam politik Indonesia.

Fenomena Petisi Digital: Perspektif Multidimensi

Era digital telah membawa banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat, termasuk dalam cara menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan keadilan. Salah satu fenomena yang kini menjadi bagian penting dari kehidupan bermasyarakat adalah petisi digital. Dari isu sosial hingga politik, petisi digital kerap menjadi alat efektif dalam menyampaikan tuntutan atau memperjuangkan perubahan. Namun, fenomena ini juga menimbulkan sejumlah tantangan dan dilema yang perlu dipahami secara multidimensi.

1. Perspektif Sosial dan Budaya

Media sosial telah merombak cara masyarakat berkomunikasi dan berinteraksi. Suara yang sebelumnya hanya bergaung di lingkup kecil kini dapat menggema luas di ruang publik digital. Media sosial menjadi ruang solidaritas baru yang memungkinkan individu atau kelompok untuk bersatu memperjuangkan isu-isu tertentu.

Misalnya, desakan warga Wadas untuk menolak eksploitasi tambang berhasil memanfaatkan kekuatan solidaritas digital. Gerakan ini mencuri perhatian nasional karena berhasil memobilisasi dukungan luas melalui media sosial. Namun, budaya "viralitas" yang mengiringi media sosial juga membawa dampak negatif. Isu-isu yang tidak berhasil viral sering kali dianggap tidak penting, meski memiliki urgensi tinggi.

Solidaritas digital ini juga mencerminkan perubahan budaya masyarakat dalam menyuarakan pendapat. Di sisi lain, ada tantangan untuk menjaga keberlanjutan gerakan sosial agar tidak hanya berfokus pada popularitas semata. Platform petisi digital yang lebih terorganisir dapat menjadi solusi untuk memastikan semua suara dapat tersampaikan, tidak hanya yang viral.

2. Perspektif Hukum dan Hak Asasi

Dalam sistem hukum yang terkadang lamban atau tidak responsif, petisi digital menjadi jalan keluar bagi masyarakat untuk menyuarakan keadilan. Contoh yang mencolok adalah kasus Baiq Nuril, seorang perempuan yang menjadi korban ketidakadilan hukum. Petisi digital yang melibatkan jutaan tanda tangan akhirnya berhasil menekan pemerintah untuk memberikan amnesti.

Namun, penggunaan petisi digital juga memiliki sisi gelap. Di media sosial, sering terjadi fenomena "trial by social media," di mana seseorang langsung dianggap bersalah tanpa proses hukum yang adil. Hal ini dapat mengikis prinsip dasar keadilan.

Di sisi lain, petisi digital juga membutuhkan validitas data yang kuat agar tidak menjadi alat penyebar misinformasi. Transparansi dalam penanganan kasus hukum dan edukasi masyarakat tentang mekanisme formal sangat penting agar petisi digital dapat menjadi pelengkap, bukan pengganti sistem hukum.

3. Perspektif Politik dan Pemerintahan

Petisi digital juga memainkan peran penting dalam ranah politik. Sebagai alat protes terhadap kebijakan publik, petisi digital menunjukkan kekuatan masyarakat untuk menentang keputusan yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat.

Contoh yang menonjol adalah petisi penolakan Omnibus Law Cipta Kerja. Petisi ini menunjukkan bagaimana masyarakat memanfaatkan media sosial untuk melawan kebijakan yang dianggap merugikan. Namun, fenomena ini juga mencerminkan adanya krisis legitimasi dalam proses legislasi. Ketika pemerintah lebih banyak merespons isu yang viral daripada yang substantif, hal ini menunjukkan lemahnya saluran komunikasi formal antara rakyat dan pemerintah.

Membangun mekanisme partisipasi publik yang lebih inklusif dan memanfaatkan teknologi untuk konsultasi publik secara real-time dapat menjadi jalan keluar untuk memperkuat hubungan antara masyarakat dan pemerintah.

4. Perspektif Teknologi dan Media

Algoritma media sosial memainkan peran penting dalam kesuksesan petisi digital. Algoritma ini menentukan apa yang akan dilihat oleh pengguna, sehingga petisi yang tepat waktu dan relevan dengan tren biasanya memiliki peluang lebih besar untuk viral.

Namun, algoritma ini juga memiliki sisi gelap. Ia dapat mempercepat penyebaran informasi palsu. Misalnya, ada kasus petisi palsu yang memanfaatkan isu sensitif untuk mengumpulkan data pribadi tanpa izin. Selain itu, laporan menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna internet di Indonesia cenderung percaya pada informasi di media sosial meskipun tidak selalu akurat.

Edukasi literasi digital menjadi kebutuhan mendesak untuk mengatasi masalah ini. Masyarakat perlu memahami cara membedakan informasi yang valid dan tidak. Kerja sama dengan platform media sosial untuk memverifikasi konten petisi juga dapat membantu menjaga kredibilitas gerakan digital.

5. Perspektif Psikologi Sosial

Petisi digital juga menarik perhatian dari perspektif psikologi sosial. Fenomena ini menunjukkan bagaimana individu merasa lebih percaya diri menyuarakan aspirasi saat tergabung dalam kelompok besar. Efek kerumunan ini memberikan rasa aman dan solidaritas, sehingga banyak orang yang mungkin sebelumnya enggan berbicara kini lebih terbuka menyampaikan pendapat.

Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan petisi digital merasa lebih nyaman menyuarakan aspirasi secara online dibandingkan secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa petisi digital memberikan ruang aman bagi masyarakat untuk terlibat dalam isu-isu yang penting bagi mereka.

Namun, untuk memastikan gerakan ini berdampak nyata, diperlukan strategi yang mampu menghubungkan aksi digital dengan aksi nyata di dunia offline. Membangun komunitas yang aktif secara online dan offline dapat memperkuat gerakan sosial.

Menuju Masa Depan Petisi Digital yang Lebih Kuat

Dalam era teknologi yang serba cepat ini, petisi digital telah menjadi salah satu cara paling populer bagi masyarakat untuk menyampaikan aspirasi, memperjuangkan hak, atau menggalang dukungan terhadap suatu isu. Dengan hanya beberapa klik, suara yang mungkin dulunya tenggelam kini bisa menggema luas, menjangkau jutaan orang dalam hitungan jam. Fenomena ini menjadi cerminan dari perubahan zaman, di mana teknologi memberikan ruang baru bagi partisipasi publik.

Namun, di balik kemudahan dan potensi besar yang ditawarkan, petisi digital menghadapi tantangan yang tidak boleh diabaikan. Ada kekhawatiran tentang maraknya informasi yang kurang valid, kampanye yang manipulatif, atau penggunaan petisi untuk kepentingan pribadi tanpa dampak nyata. Hal ini menuntut masyarakat untuk lebih cerdas dan kritis dalam mengelola teknologi, terutama media sosial, sebagai alat perjuangan.

Mengapa Petisi Digital Penting?

Petisi digital adalah simbol dari kekuatan kolektif masyarakat. Ia memungkinkan individu yang merasa suaranya kecil untuk menjadi bagian dari perubahan besar. Contoh keberhasilan kampanye petisi digital yang mengubah kebijakan pemerintah atau keputusan korporasi menunjukkan bahwa alat ini tidak boleh diremehkan. Dari isu lingkungan hingga hak asasi manusia, petisi digital telah menunjukkan potensinya sebagai pendorong perubahan yang signifikan.

Tantangan di Depan Mata

Meskipun menjanjikan, petisi digital juga dihadapkan pada berbagai tantangan. Misalnya, kurangnya literasi digital membuat sebagian masyarakat mudah termakan hoaks atau terlibat dalam kampanye yang tidak transparan. Selain itu, platform media sosial sebagai wadah utama petisi digital sering kali tidak memiliki mekanisme yang cukup untuk memverifikasi keabsahan kampanye yang muncul. Ini dapat merusak kepercayaan masyarakat terhadap petisi sebagai alat perjuangan.

Langkah Menuju Masa Depan yang Lebih Baik
Agar petisi digital dapat berfungsi sebagai alat perubahan yang efektif dan bertanggung jawab, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:

1. Peningkatan Literasi Digital
Masyarakat harus dibekali kemampuan untuk memverifikasi informasi, memahami konteks kampanye, dan mengevaluasi tujuan dari petisi digital. Literasi ini tidak hanya penting untuk menghindari manipulasi, tetapi juga untuk memastikan bahwa partisipasi mereka memberikan dampak yang nyata.

2. Transparansi dan Akuntabilitas
Penyelenggara petisi harus memastikan bahwa tujuan mereka jelas, data yang disajikan valid, dan hasil dari kampanye dapat dipertanggungjawabkan. Tanpa transparansi, petisi digital hanya akan menjadi alat propaganda yang merugikan banyak pihak.

3. Kolaborasi Multi-Pihak
Keberhasilan petisi digital sering kali membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, media, dan platform digital. Kerjasama ini penting untuk memastikan bahwa suara masyarakat benar-benar didengar dan direspon dengan tindakan konkret.

Cerminan Dinamika Masyarakat Modern
Petisi digital bukan hanya sekadar alat untuk menyuarakan pendapat, tetapi juga menjadi cerminan dari dinamika masyarakat modern yang semakin terhubung dan berdaya. Teknologi telah membuka peluang besar untuk menciptakan demokrasi yang lebih inklusif, di mana semua orang, tanpa memandang latar belakang, memiliki hak yang sama untuk bersuara.

Dengan memanfaatkan teknologi secara bijak, meningkatkan literasi digital, dan memastikan semua suara didengar, petisi digital dapat menjadi salah satu pilar demokrasi yang lebih kuat, inklusif, dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat. Masa depan petisi digital ada di tangan kita semua. Bagaimana kita menggunakannya akan menentukan sejauh mana ia dapat membawa perubahan nyata.

Kesimpulan

Fenomena petisi digital mencerminkan perubahan mendasar dalam cara masyarakat menyampaikan aspirasi. Meski memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan, fenomena ini juga menuntut pengelolaan yang hati-hati agar tidak disalahgunakan. Dengan memadukan pendekatan sosial, hukum, politik, dan teknologi, kita dapat menjadikan petisi digital sebagai alat yang efektif dalam memperjuangkan keadilan dan demokrasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun