Tertunduk lesu, Bu Rini, seorang guru honorer, melangkah keluar dari ruang kelas setelah mengajar seharian tanpa mendapat kepastian gaji yang layak. Setiap bulan, ia menunggu bayaran yang tak pasti, sering kali lebih rendah dari yang dijanjikan. Meski demikian, Bu Rini tetap berusaha mengajar dengan sepenuh hati, karena ia tahu pendidikan adalah kunci untuk masa depan anak-anak di desa mereka.
Tertunduk lesu, Pak Eko, seorang pedagang sayur, merenung di pasar yang semakin sepi. Setiap hari, ia membawa sayuran segar dari kebunnya, namun kini banyak orang lebih memilih berbelanja di pasar swalayan yang lebih nyaman. Harga sayurannya pun tak mampu bersaing, meski ia sudah mencoba menurunkan harga. Namun, daya beli masyarakat yang semakin rendah membuat Pak Eko merasa terjepit.
Tertunduk lesu, Bu Yati, seorang penyapu jalan, terus bekerja meski tubuhnya semakin lelah. Ia sudah bekerja di pemerintahan selama bertahun-tahun, namun penghasilannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan hanya menerima sedikit uang, ia harus berbagi untuk membayar biaya pendidikan anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Setiap hari, Bu Yati mengatur waktu untuk bisa bertahan hidup.
Tertunduk lesu, Pak Sarman, seorang nelayan, menatap lautan yang luas dengan perasaan tak menentu. Hasil tangkapannya kini semakin sedikit, ditambah dengan biaya operasional yang semakin mahal. Mesin perahunya yang rusak tak kunjung diperbaiki, dan harga bahan bakar semakin melonjak. Ia merasa, meski ia terus berjuang, laut yang dulunya memberi kehidupan kini semakin jauh dari harapannya.
Tertunduk lesu, Bu Mira, seorang pemulung, berusaha mengumpulkan barang bekas untuk dijual. Namun, semakin sedikit orang yang membuang barang yang masih bisa dimanfaatkan. Ia tahu bahwa di balik setiap sampah yang ia ambil, ada harapan untuk makan hari itu. Namun, jalan hidupnya semakin sempit, dan ia hanya bisa berharap untuk bertahan lebih lama.
Tertunduk lesu, Pak Jamal, seorang peternak ayam, memeriksa kandang yang hampir kosong. Penyakit yang melanda ternaknya membuatnya kehilangan banyak ayam dalam waktu singkat. Biaya untuk membeli obat-obatan dan pakan ayam semakin mahal, sementara harga jual ayam tidak kunjung meningkat. Pak Jamal merasa terperangkap dalam situasi yang semakin sulit, dan setiap hari ia merasakan beban yang semakin berat.
Tertunduk lesu, Bu Tini, seorang pekerja kebun, pulang dengan tangan kosong setelah berhari-hari bekerja keras. Namun, hasil kebun yang ia panen tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Tanaman yang ia rawat dengan penuh kasih sayang tak menghasilkan seperti yang diharapkan. Meski demikian, ia harus terus berjuang, karena itulah satu-satunya cara untuk menyambung hidup.
Tertunduk lesu, Pak Sigit, seorang petugas kebersihan, berjalan pulang setelah seharian bekerja di bawah terik matahari. Gaji yang ia terima tak cukup untuk membayar sewa rumah dan kebutuhan hidup keluarganya. Di rumah, istri dan anak-anaknya menunggu dengan harapan, meski Pak Sigit tahu, kali ini ia tak bisa memberi lebih.
Tertunduk lesu, Bu Wati, seorang juru masak di warung kecil, menatap piring-piring kosong yang ditinggalkan oleh pelanggan yang sudah pergi. Meskipun ia sudah berusaha menyajikan makanan terbaik, warungnya tetap sepi. Biaya untuk membeli bahan makanan semakin mahal, sementara pendapatan tak kunjung mencukupi. Dalam hatinya, Bu Wati bertanya-tanya sampai kapan ia bisa bertahan.
Tertunduk lesu, Pak Toni, seorang buruh pabrik tekstil, menanggung beban yang semakin berat. Setiap hari, ia bekerja keras di pabrik, namun penghasilan yang ia terima tak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Dengan harga-harga yang terus naik, Pak Toni merasa semakin terjepit, meski ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup.
Mereka adalah gambaran dari seluruh rakyat yang saat ini sedang tertunduk lesu, terperangkap dalam jerat ketidakpastian dan beban hidup yang semakin menekan. Setiap harinya, mereka berjuang untuk bertahan, meski sering kali usaha mereka tak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Mereka adalah wajah-wajah yang tenggelam dalam kesulitan ekonomi, berharap ada secercah cahaya yang bisa membawa perubahan, namun tetap berjuang dengan harapan yang semakin memudar. Keputusasaan bukan pilihan, tetapi perasaan itu semakin menggerogoti jiwa mereka, mengingatkan bahwa meski mereka terus berusaha, jalan hidup yang penuh tantangan tak kunjung menunjukkan solusi yang memadai.