Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tertunduk Lesu

19 Desember 2024   01:02 Diperbarui: 19 Desember 2024   01:02 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi wajah lesu (DALL-E OpenAI)

Tertunduk Lesu

Tertunduk lesu, Pak Amir terpaksa mengutang lagi demi menyambung hidup keluarganya. Setiap bulan, utang itu semakin menumpuk, namun tak ada pilihan lain selain terus berusaha mencari nafkah meski penghasilan dari usaha kecilnya tak kunjung cukup. Di pasar, harga bahan pokok semakin meroket, sementara pendapatan yang ia terima tidak beranjak. Ia hanya bisa pasrah, berharap suatu saat keberuntungan akan berpihak padanya.

Tertunduk lesu, Bu Lina harus pulang dengan tangan kosong setelah berjam-jam menjajakan dagangannya di jalanan kota. Meski ia sudah menggerakkan seluruh tenaga, pelanggan yang datang tak sebanyak yang ia harapkan. Di rumah, anak-anak menanti, namun Bu Lina tahu betul, tak ada cukup uang untuk memenuhi kebutuhan makan mereka hari itu. Hatinya merasa berat, namun ia berusaha tersenyum di hadapan anak-anaknya yang tak mengerti betapa berat beban hidupnya.

Tertunduk lesu, Pak Budi, seorang tukang ojek, harus menanggung rasa lelah yang mendera tubuhnya. Setiap hari, ia berputar-putar di jalanan, mencari penumpang di tengah terik matahari. Namun, semakin hari penghasilannya semakin sedikit. Banyak orang yang memilih untuk tetap tinggal di rumah karena semakin tingginya biaya hidup. Pak Budi tidak bisa berbuat banyak, selain terus berjuang demi mempertahankan hidup.

Tertunduk lesu, Pak Darmawan, seorang petani, menatap ladangnya yang kering dan gersang. Musim kemarau panjang telah membuat hasil panennya menurun drastis. Bahkan, banyak tanaman yang tidak tumbuh dengan baik. Harga pupuk yang melonjak juga semakin menyulitkan. Ia merasa seperti terjebak dalam lingkaran kemiskinan yang tak ada ujungnya. Dalam diam, ia berharap agar hujan segera turun, memberi kehidupan pada tanah yang semakin tandus.

Tertunduk lesu, Bu Siti, seorang ibu rumah tangga, memandang tumpukan pakaian kotor yang belum sempat dicuci. Anak-anaknya sudah meminta makan, namun isi dapur hampir kosong. Suaminya yang bekerja serabutan tidak pernah pulang dengan uang cukup untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Setiap malam, Bu Siti terbangun di tengah malam, menggali setiap sudut rumah untuk mencari makanan, berharap ada yang tersisa.

Tertunduk lesu, Pak Yusuf, seorang pedagang kecil di pasar, merenung di sudut kiosnya yang sepi. Ia tahu, pelanggan yang datang semakin sedikit. Bahkan, mereka yang datang hanya mencari barang murah, yang seringkali membuatnya harus merugi. Namun, ia tak bisa menutup kiosnya begitu saja. Anak-anaknya masih harus disekolahkan, dan ia harus bertahan, meski jalan hidup terasa semakin sempit.

Tertunduk lesu, Bu Ika, seorang pekerja pabrik, merasakan lelah yang luar biasa setelah seharian bekerja dengan upah yang tidak memadai. Di pabrik, jam kerjanya diperpanjang tanpa ada kenaikan gaji, dan beban kerja semakin berat. Ia tak bisa lagi membayangkan bagaimana caranya memenuhi semua kebutuhan keluarganya dengan gaji yang sangat terbatas. Namun, ia tidak punya pilihan selain terus bekerja, karena itu satu-satunya cara bertahan hidup.

Tertunduk lesu, Pak Andi, seorang tukang bangunan, berjalan pulang dengan hati berat setelah seharian bekerja tanpa dibayar penuh. Beberapa proyek yang ia kerjakan kini terhenti karena majikan tak mampu membayar gajinya. Ia hanya bisa berharap agar bulan depan ada pekerjaan lain yang datang. Namun, semakin sulit baginya untuk menemukan majikan yang bisa membayar sesuai dengan upah yang layak.

Tertunduk lesu, Bu Nur, seorang penjual nasi uduk keliling, merasakan dinginnya malam yang mulai datang. Hari itu ia tak mendapat banyak pembeli, meski sudah berkeliling dari pagi hingga sore. Kini, sisa dagangannya tak laku, dan ia harus membawa pulang nasi uduk yang tak habis, yang akan menjadi beban baginya esok hari. Di rumah, anak-anaknya sudah tertidur, tapi Bu Nur tahu mereka tak akan tidur nyenyak karena perut yang kosong.

Tertunduk lesu, Pak Joko, seorang buruh harian, berdiri di tepi jalan, menunggu pekerjaan yang tak kunjung datang. Setiap pagi, ia berkeliling mencari pekerjaan, namun banyak kontraktor yang memilih untuk mempekerjakan tenaga kerja yang lebih murah. Dengan tekad yang tak pernah surut, Pak Joko berusaha menguatkan hatinya, meski harapan untuk mendapatkan pekerjaan semakin tipis.

Tertunduk lesu, Bu Rini, seorang guru honorer, melangkah keluar dari ruang kelas setelah mengajar seharian tanpa mendapat kepastian gaji yang layak. Setiap bulan, ia menunggu bayaran yang tak pasti, sering kali lebih rendah dari yang dijanjikan. Meski demikian, Bu Rini tetap berusaha mengajar dengan sepenuh hati, karena ia tahu pendidikan adalah kunci untuk masa depan anak-anak di desa mereka.

Tertunduk lesu, Pak Eko, seorang pedagang sayur, merenung di pasar yang semakin sepi. Setiap hari, ia membawa sayuran segar dari kebunnya, namun kini banyak orang lebih memilih berbelanja di pasar swalayan yang lebih nyaman. Harga sayurannya pun tak mampu bersaing, meski ia sudah mencoba menurunkan harga. Namun, daya beli masyarakat yang semakin rendah membuat Pak Eko merasa terjepit.

Tertunduk lesu, Bu Yati, seorang penyapu jalan, terus bekerja meski tubuhnya semakin lelah. Ia sudah bekerja di pemerintahan selama bertahun-tahun, namun penghasilannya tak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dengan hanya menerima sedikit uang, ia harus berbagi untuk membayar biaya pendidikan anak-anaknya dan memenuhi kebutuhan rumah tangga. Setiap hari, Bu Yati mengatur waktu untuk bisa bertahan hidup.

Tertunduk lesu, Pak Sarman, seorang nelayan, menatap lautan yang luas dengan perasaan tak menentu. Hasil tangkapannya kini semakin sedikit, ditambah dengan biaya operasional yang semakin mahal. Mesin perahunya yang rusak tak kunjung diperbaiki, dan harga bahan bakar semakin melonjak. Ia merasa, meski ia terus berjuang, laut yang dulunya memberi kehidupan kini semakin jauh dari harapannya.

Tertunduk lesu, Bu Mira, seorang pemulung, berusaha mengumpulkan barang bekas untuk dijual. Namun, semakin sedikit orang yang membuang barang yang masih bisa dimanfaatkan. Ia tahu bahwa di balik setiap sampah yang ia ambil, ada harapan untuk makan hari itu. Namun, jalan hidupnya semakin sempit, dan ia hanya bisa berharap untuk bertahan lebih lama.

Tertunduk lesu, Pak Jamal, seorang peternak ayam, memeriksa kandang yang hampir kosong. Penyakit yang melanda ternaknya membuatnya kehilangan banyak ayam dalam waktu singkat. Biaya untuk membeli obat-obatan dan pakan ayam semakin mahal, sementara harga jual ayam tidak kunjung meningkat. Pak Jamal merasa terperangkap dalam situasi yang semakin sulit, dan setiap hari ia merasakan beban yang semakin berat.

Tertunduk lesu, Bu Tini, seorang pekerja kebun, pulang dengan tangan kosong setelah berhari-hari bekerja keras. Namun, hasil kebun yang ia panen tidak sebanding dengan tenaga yang dikeluarkan. Tanaman yang ia rawat dengan penuh kasih sayang tak menghasilkan seperti yang diharapkan. Meski demikian, ia harus terus berjuang, karena itulah satu-satunya cara untuk menyambung hidup.

Tertunduk lesu, Pak Sigit, seorang petugas kebersihan, berjalan pulang setelah seharian bekerja di bawah terik matahari. Gaji yang ia terima tak cukup untuk membayar sewa rumah dan kebutuhan hidup keluarganya. Di rumah, istri dan anak-anaknya menunggu dengan harapan, meski Pak Sigit tahu, kali ini ia tak bisa memberi lebih.

Tertunduk lesu, Bu Wati, seorang juru masak di warung kecil, menatap piring-piring kosong yang ditinggalkan oleh pelanggan yang sudah pergi. Meskipun ia sudah berusaha menyajikan makanan terbaik, warungnya tetap sepi. Biaya untuk membeli bahan makanan semakin mahal, sementara pendapatan tak kunjung mencukupi. Dalam hatinya, Bu Wati bertanya-tanya sampai kapan ia bisa bertahan.

Tertunduk lesu, Pak Toni, seorang buruh pabrik tekstil, menanggung beban yang semakin berat. Setiap hari, ia bekerja keras di pabrik, namun penghasilan yang ia terima tak cukup untuk memenuhi semua kebutuhan keluarganya. Dengan harga-harga yang terus naik, Pak Toni merasa semakin terjepit, meski ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup.

Mereka adalah gambaran dari seluruh rakyat yang saat ini sedang tertunduk lesu, terperangkap dalam jerat ketidakpastian dan beban hidup yang semakin menekan. Setiap harinya, mereka berjuang untuk bertahan, meski sering kali usaha mereka tak sebanding dengan hasil yang diperoleh. Mereka adalah wajah-wajah yang tenggelam dalam kesulitan ekonomi, berharap ada secercah cahaya yang bisa membawa perubahan, namun tetap berjuang dengan harapan yang semakin memudar. Keputusasaan bukan pilihan, tetapi perasaan itu semakin menggerogoti jiwa mereka, mengingatkan bahwa meski mereka terus berusaha, jalan hidup yang penuh tantangan tak kunjung menunjukkan solusi yang memadai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun