Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tenggelam di Samudra Air Mata

15 Desember 2024   08:55 Diperbarui: 15 Desember 2024   09:38 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
A Couple on Stormy Sea (Dibuat memakai Meta AI)

Tenggelam di Samudra Air Mata

Bersama kita pernah berlayar
Menyusuri lautan mimpi yang membiru, menghamparkan harapan tanpa tepi. Ombak berbisik pelan, mengiringi tawa yang menggema di cakrawala. Di atas perahu kecil kita percaya pada angin, yang mengusung cinta ke arah bintang. Namun badai datang, memecah layar kita hingga koyak. Kini yang tersisa hanyalah riak duka di antara kehancuran.

Bersama kita pernah berenang
Menelusuri kedalaman rasa yang tak terukur, saling mencari di tengah gelombang kehidupan. Dalam pelukan air yang sejuk, kita berbagi nafas dan detak. Tetapi arus kuat merenggutmu dariku, meninggalkan kekosongan yang mencekik. Aku terus menyelam, berharap menemukanmu lagi di dasar laut kenangan.

Bersama kita pernah mengayuh
Sebuah perahu kecil di atas air tenang, menuju pantai impian yang menjanjikan keabadian. Setiap dayungan adalah janji, setiap percikan adalah canda bahagia. Tapi tangan-tangan lelah kita akhirnya berhenti, dihentikan oleh waktu yang tak pernah setia. Perahu itu karam, dan kita terpisah dalam dingin yang menusuk jiwa.

Bersama kita selalu
Percaya bahwa cinta dapat melampaui segala batas, menepis takut dan bimbang. Kita merajut hari-hari seperti kain yang hangat, berwarna dengan pelangi perasaan. Tapi benang-benang itu terurai, tak mampu menahan beban luka yang tak terucap. Kini cinta yang selalu ada, hanyalah bayangan yang melintas di atas air.

Bersama kita akan
Tetap dikenang dalam ingatan, meski hanya sebagai fragmen yang hancur. Takdir telah membawa kita ke ujung yang berbeda, di mana jalan kita tak lagi bertemu. Namun aku tenggelam, tak mampu berenang menjauh dari rasa yang dulu menyatukan. Samudra air mata ini menjadi tempatku terpenjara, tanpa pelabuhan untuk bersandar.

Bersama kita pernah berlayar
Melewati angin badai yang menguji, dan bersorak saat tiba di pulau-pulau kecil bahagia. Tapi setiap layar yang terkembang akhirnya menua, kehilangan daya dan terhempas. Kita pun tak lagi tahu arah, terombang-ambing dalam ketidakpastian. Akhirnya, hanya aku yang tersisa di kapal pecah ini, menangis dalam diam.

Bersama kita pernah berenang
Di air yang penuh gema tawa, menciptakan riak-riak yang menyentuh langit. Tapi air itu kini berubah menjadi asin, penuh dengan air mata yang tak tertahankan. Kehangatan yang dulu ada telah lenyap, meninggalkan dingin yang menusuk hingga tulang. Aku hanyalah sosok yang kehilangan, berenang tanpa arah di samudra pedih ini.

Bersama kita pernah mengayuh
Menuju cahaya yang selalu terasa dekat, tetapi tak pernah benar-benar tergapai. Kita mengira kebersamaan cukup untuk melawan badai yang menghantam. Namun setiap kayuhan melemah, tenggelam oleh beban harapan yang tak sanggup kita pikul. Sekarang aku hanya mendayung dalam kehampaan, mencari bayangan dirimu di antara gelombang.

Bersama kita selalu
Berharap bahwa samudra ini adalah rumah, tempat kita menemukan damai. Tapi yang kita temukan hanyalah kebohongan yang membungkus hati dengan rapi. Setiap percakapan menjadi sunyi, setiap pelukan menjadi dingin. Cinta yang selalu kita agungkan kini tenggelam, tak bersisa selain air mata.

Bersama kita akan
Berjuang untuk mengingat, meski kenangan ini menyayat hati setiap kali. Aku tak tahu apakah kau merasakan yang sama, atau sudah berlayar jauh meninggalkanku. Tapi samudra ini tak membebaskanku, mencengkeramku dengan rantai kerinduan. Aku tetap di sini, menunggu tanpa akhir, di lautan air mata yang kau tinggalkan.

Bersama kita pernah berlayar
Mengukir jejak di atas lautan biru, berharap menemukan pulau impian yang sempurna. Kita percaya angin akan selalu berpihak, membawa kita ke tempat yang kita sebut rumah. Namun ombak penghianatan menghantam kapal kecil kita, meremukkan kepercayaan yang dulu utuh. Aku kini terapung di reruntuhan mimpi, sendirian di samudra penyesalan.

Bersama kita pernah berenang
Melawan arus gelap yang mencoba menenggelamkan kita, saling menggenggam erat agar tak terpisah. Air yang dulu menenangkan kini berubah menjadi tempat aku tenggelam. Kau, yang pernah menjadi harapanku, kini hanyalah bayangan samar di kejauhan. Setiap tarikan nafas terasa berat, seolah air mata ini menyelimuti nafasku.

Bersama kita pernah mengayuh
Menggapai cakrawala yang berwarna jingga, membayangkan kebahagiaan di seberangnya. Tapi kebahagiaan itu hanya fatamorgana, memudar seiring matahari tenggelam. Kayuhan kita melemah di tengah malam yang dingin, terhenti oleh kelelahan hati. Kita pun berpisah, hanyut oleh arus takdir yang saling memisahkan.

Bersama kita selalu
Berjanji untuk saling mencintai meski badai datang, meski lautan berubah menjadi gelap. Tapi janji itu hanyalah kata-kata yang tenggelam di antara gelombang. Kita tak lagi berbicara dengan bahasa yang sama, hanya diam yang mengisi ruang di antara kita. Diam yang mengeras menjadi tembok, memisahkan kita dalam samudra ini.

Bersama kita akan
Tetap menjadi cerita yang diceritakan oleh ombak, meski kisah ini penuh luka. Aku bertahan dengan kenangan, menggenggam erat potongan waktu yang dulu indah. Namun kenangan itu berubah menjadi pasir yang terlepas dari tanganku. Aku semakin tenggelam, kehilangan semua yang pernah kita miliki.

Bersama kita pernah berlayar
Membawa mimpi-mimpi yang begitu besar, berlayar dengan semangat yang tak tergoyahkan. Tapi kapal itu tak mampu menahan beban mimpi yang terlalu berat. Ia karam, membawa serta harapan yang pernah kita miliki. Aku hanya berdiri di atas puing-puing, terombang-ambing di laut yang menghempas di kesepian.

Bersama kita pernah berenang
Dalam kebahagiaan yang mengalir seperti air, menyentuh hati dengan lembut. Namun arus waktu mengubah segalanya, memisahkan kita ke arah yang berlawanan. Aku mencoba berenang melawan arus, tapi kekuatanku habis. Kini aku tenggelam, larut dalam samudra air mata yang tak kunjung kering.

Bersama kita pernah mengayuh
Dengan penuh semangat, menuju pulau yang kita sebut mimpi indah. Namun kayuhan kita tak seirama, tak mampu menyatukan langkah. Perahu kecil kita berhenti di tengah lautan, terjebak di antara impian dan realita. Aku hanya bisa mengayuh dalam ingatan, berharap kau akan kembali.

Bersama kita selalu
Menyimpan harapan meski hujan badai terus turun, mengguyur hati hingga beku. Tapi kebekuan itu tak pernah mencair, bahkan saat mentari mencoba menyinari. Cinta yang kita junjung tinggi akhirnya jatuh, hancur dalam hempasan gelombang. Aku tetap di sini, berdiri di tepi samudra kenangan yang pahit.

Bersama kita akan
Menjadi cerita yang terus aku ulang dalam pikiranku, meski menyakitkan. Aku tahu kita tak akan kembali seperti dulu, tapi aku tetap menunggu. Samudra ini terlalu luas, terlalu dalam untuk aku tinggalkan. Setiap tetes air mata adalah doa yang ku titipkan, agar kau tahu aku masih di sini, di samudra air mata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun