Di lorong senja yang sunyi dan berdebu,
Langkahku tertatih meniti jalan yang semu.
Angin membawa bisik yang tiada berwujud,
Menggoda jiwa dengan janji yang rapuh,
Namun nyata hanyalah luka yang berlabuh.
Di sisi kiri, dusta berselimut kabut kelam,
Menghampar janji palsu dengan wajah tak ramah.
Bergema tawa tanpa makna, menghujam dada,
Menghapus batas antara nyata dan maya,
Meninggalkan jejak yang tak terhapus waktu.
Nestapa menanti di sisi lain, menggenggam erat,
Dengan jemari dingin yang menghancurkan harap.
Di padang tandus, bunga bermekar layu,
Menetes embun luka dari mata tak berdaya,
Berbisik, "Di sini deritamu akan abadi."
 Aku berdiri di antara keduanya, terbelah,
Tak mampu berpaling, terjerat dalam pilu.
Dusta dan nestapa memperebutkan jiwaku,
Seolah aku bidak dalam permainan mereka,
Dan aku hanya diam, tanpa daya melawan.
Angin malam mencuri hangat dari tubuh,
Seolah ingin menjadikanku sebongkah batu.
Di langit, bulan pucat menatap tanpa simpati,
Seakan mengingatkan bahwa dunia memang begini,
Tempat bagi yang lemah untuk dilupakan.
"Di manakah kebenaran?" tanyaku pada malam,
Namun malam hanya menyuguhkan diam yang pekat.
Bintang tak lagi gemerlap di cakrawala,
Hanya bayang kelam yang berbisik sinis,
Menertawakan pencarianku yang tak berujung.
Dusta mencipta mimpi indah dalam gelap,
Namun di pagi hari hanya kehampaan yang tersisa.
Nestapa menebar benih kesedihan yang dalam,
Membuatku bertanya: apakah bahagia itu nyata,
Atau hanya fatamorgana di padang pasir jiwa?
Aku mencoba merangkai doa di bibir kaku,
Namun kata-kataku terhenti oleh rasa ragu.
Apakah Tuhan mendengar di dunia yang penuh cela,
Ataukah aku harus menerima nasib ini saja,
Menjadi bayangan tanpa makna di lorong waktu?
Setiap langkah membawa berat yang tak terucap,
Seperti membawa dunia di atas bahuku yang rapuh.
Namun meski runtuh, aku tak bisa berhenti,
Karena di depanku hanya ada jurang tak bertepi,
Dan di belakangku, kenangan yang mematikan hati.
 Aku bertanya pada debu yang menempel di kulit,
"Apakah ini semua berakhir pada kehampaan?"
Namun debu hanya berterbangan, tak peduli,
Meninggalkan jejak samar di antara deritaku,
Seolah berkata, "Hidup ini tak punya arti."
Dusta menawarkan pelarian yang menggoda,
Namun aku tahu di baliknya ada jurang dosa.
Nestapa memelukku erat, mengajak berdamai,
Namun aku enggan menyerah pada kesakitan,
Karena di dalam jiwa, masih ada sisa nyala.
 Langit mulai berwarna merah darah,
Seperti mencerminkan perang dalam batinku.
Dusta dan nestapa beradu dalam kebisingan,
Menyayat setiap sisi jiwaku yang rentan,
Hingga aku nyaris tak mengenali diriku sendiri.
Di antara kabut, ada cahaya yang redup,
Mengundang langkahku meski aku gemetar.
Cahaya itu berbisik dengan lembut,
"Mungkin di ujung jalan ini ada jawaban,"
Namun aku takut, karena harapanku rapuh.
 Dusta menarikku kembali dengan janji,
Sementara nestapa menjerat dengan pilu.
Aku terombang-ambing di antara keduanya,
Seperti kapal tanpa kompas di lautan gelap,
Mencari daratan yang mungkin tak pernah ada.
Dalam kehancuran, aku mendengar suara kecil,
Berbisik dari hatiku yang hampir mati.
"Kamu masih hidup, itu sudah cukup,"
Ia berkata, meski suaranya hampir tenggelam,
Dan aku mencoba memercayainya, walau sulit.
Aku mulai merangkak, meski tubuhku berat,
Meninggalkan dusta dan nestapa di belakang.
Namun keduanya tetap mengintai di bayangan,
Seolah mereka tahu aku tak akan benar-benar bebas,
Karena mereka adalah bagian dari diriku.
Langit akhirnya memudar menjadi jingga,
Dan aku melihat bunga kecil tumbuh di pasir.
Ia tampak rapuh, namun penuh kehidupan,
Mengajarkanku arti dari bertahan,
Bahwa keindahan bisa lahir dari kesakitan.
Dusta dan nestapa memudar di kejauhan,
Meski aku tahu mereka tak pernah benar-benar hilang.
Namun kini aku memiliki cahaya kecil di hati,
Yang membimbingku melewati jalan yang sulit,
Menuju harapan yang sebelumnya tak kulihat.
Di antara dusta dan nestapa, aku menemukan,
Bahwa kekuatan sejati ada dalam penerimaan.
Bukan untuk menyerah, namun untuk berdamai,
Dengan luka yang pernah melukai jiwa,
Dan dengan kenyataan yang tak selalu sempurna.
Kini aku melangkah dengan hati yang baru,
Masih berat, namun ada cahaya di jalanku.
Dusta dan nestapa mungkin akan kembali,
Namun aku tahu aku bisa bertahan,
Karena di dalam diriku, ada keberanian yang hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H