Pendahuluan
Kesombongan dapat didefinisikan sebagai sikap atau perilaku yang menunjukkan rasa bangga berlebihan terhadap diri sendiri, yang sering kali disertai dengan merendahkan orang lain atau menganggap diri lebih unggul dalam hal tertentu, seperti harta, jabatan, kecerdasan, atau status sosial.
Kesombongan adalah ekspresi ego yang tidak seimbang, di mana seseorang lupa bahwa apa yang dimilikinya bukanlah hasil upayanya semata, melainkan juga dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti dukungan lingkungan, keberuntungan, atau bahkan takdir.
Jabatan sering kali memberikan kewenangan dan kontrol atas orang lain. Ketika seseorang memiliki kekuasaan dalam jabatan tertentu, ia bisa mulai merasa superior dan memandang dirinya lebih penting dibandingkan orang lain.
Jabatan sering kali membawa keuntungan materi, seperti gaji tinggi, akses kepada fasilitas eksklusif, atau peluang yang tidak dimiliki banyak orang. Ketergantungan pada keuntungan ini bisa menumbuhkan sikap merasa lebih tinggi atau berbeda dari orang lain.
Jabatan sering kali memberikan kewenangan dan kontrol atas orang lain. Ketika seseorang memiliki kekuasaan dalam jabatan tertentu, ia bisa mulai merasa superior dan memandang dirinya lebih penting dibandingkan orang lain. sering kali dianggap sebagai puncak pencapaian seseorang, namun apa makna sejatinya?Â
Dalam hiruk-pikuk dunia modern, jabatan kerap menjadi simbol prestise, kekuasaan, dan kebanggaan diri. Tidak sedikit yang lupa bahwa jabatan sebenarnya adalah amanah, sebuah tanggung jawab yang membawa konsekuensi besar.
 Jabatan bukanlah untuk dielu-elukan, tetapi untuk dijalani dengan kerendahan hati dan pengabdian. Artikel ini bertujuan menggugah kesadaran, membuka wawasan, dan mengajak setiap pembaca, khususnya mereka yang memegang jabatan, untuk memahami arti sejati dari peran tersebut. Dengan memandang jabatan sebagai sebuah amanah yang dilandasi etika, agama, dan filosofi, kita dapat mengembalikan maknanya sebagai sarana melayani masyarakat.
Jabatan dalam Perspektif Filosofis
Secara filosofis, jabatan tidak hanya sekadar posisi atau pangkat, melainkan perwujudan tanggung jawab sosial dan moral. Plato dalam karyanya The Republic menekankan bahwa pemimpin adalah "penjaga moral masyarakat" yang bertugas menciptakan keadilan. Aristoteles menambahkan bahwa pemimpin harus memiliki virtue atau kebajikan, yakni karakter unggul yang membuatnya mampu menempatkan kepentingan publik di atas ambisi pribadi.
Di sisi lain, filsuf modern seperti Jean-Paul Sartre mengingatkan bahwa jabatan mengandung kebebasan yang disertai tanggung jawab. Artinya, seseorang yang menduduki jabatan memiliki kebebasan untuk bertindak, tetapi harus siap menanggung akibat dari setiap keputusannya. Kesombongan dalam jabatan, seperti yang sering terlihat, adalah bentuk pelarian dari tanggung jawab itu sendiri.Â
Oleh karena itu, jabatan harus dipandang sebagai ruang untuk mengasah integritas, bukan sekadar alat untuk memuaskan ego.
Jabatan dalam Perspektif Religius
Dalam pandangan religius, jabatan adalah titipan yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Ajaran agama besar di dunia menyoroti pentingnya menjadikan jabatan sebagai sarana pengabdian, bukan kesombongan:
Islam: Dalam Islam, jabatan adalah amanah yang berat. Rasulullah Muhammad SAW bersabda, "Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim). Pemimpin yang tidak adil dan sombong dengan jabatannya akan menghadapi hisab yang berat di akhirat. Jabatan harus diisi dengan kejujuran, keadilan, dan kepedulian kepada rakyat.
Kristen: Dalam Kekristenan, jabatan dipandang sebagai panggilan untuk melayani, sebagaimana Yesus Kristus mengajarkan dalam Injil Matius 20:26-28, "Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu." Jabatan tidak boleh menjadi alat untuk memerintah, tetapi harus dijalankan dengan kasih dan pengabdian.
Hindu: Dalam ajaran Hindu, jabatan harus dijalankan dengan konsep dharma (kewajiban moral). Bhagavad Gita menekankan bahwa seseorang harus menjalankan tugasnya tanpa keterikatan pada hasil, melainkan dengan niat murni untuk kebaikan bersama.
Buddha: Dalam pandangan Buddha, jabatan harus dilandasi right intention (niat yang benar) dan right action (tindakan yang benar). Pemimpin harus menghindari keserakahan, kebencian, dan delusi, yang sering kali menjadi akar dari penyalahgunaan jabatan.
Semua agama menekankan bahwa jabatan bukanlah privilege, melainkan tanggung jawab suci yang harus dijalankan dengan integritas.
Jabatan dalam Perspektif Sosiologis
Secara sosiologis, jabatan adalah bagian dari struktur sosial yang memberikan pengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Ketika pejabat menyalahgunakan jabatannya, efek domino negatif dapat dirasakan luas. Kepercayaan publik menjadi pilar utama yang harus dijaga. Max Weber, seorang sosiolog terkemuka, menyoroti konsep legitimasi otoritas, di mana seorang pemimpin hanya dihormati jika ia menjalankan tugasnya dengan benar.
Namun, kenyataan sering kali berbicara lain. Kesombongan jabatan yang tercermin dalam perilaku otoriter, korupsi, atau pengabaian terhadap aspirasi rakyat akan memicu krisis kepercayaan. Ketika ini terjadi, tidak hanya pejabat yang kehilangan legitimasi, tetapi juga institusi yang ia wakili. Oleh karena itu, jabatan harus dijadikan alat untuk memperkuat solidaritas sosial dan menciptakan kebijakan yang memberdayakan masyarakat.
Jabatan dalam Perspektif Praktis
Secara praktis, jabatan adalah peluang untuk menciptakan perubahan positif. Namun, perubahan tidak akan terjadi jika jabatan hanya digunakan untuk memperkaya diri atau memperluas jaringan kekuasaan pribadi. Seorang pejabat yang baik harus memiliki visi yang jelas dan mampu memimpin dengan teladan. Langkah-langkah praktis yang dapat diambil meliputi:
Transparansi: Mengelola jabatan dengan keterbukaan sehingga masyarakat dapat menilai kejujuran dan kinerja.
Akuntabilitas: Bertanggung jawab atas setiap keputusan yang diambil.
Empati: Memahami kebutuhan rakyat dan menjadikannya prioritas dalam kebijakan.
Kolaborasi: Menggunakan jabatan sebagai sarana untuk bekerja sama, bukan untuk bersaing secara destruktif.
Pejabat yang sombong hanya akan kehilangan kesempatan untuk meninggalkan warisan yang berarti. Sebaliknya, mereka yang rendah hati dan bekerja keras akan dikenang sebagai pemimpin sejati.
Sejarah mencatat beberapa pemimpin besar yang menjalankan jabatan mereka dengan makna sejati dan dihormati masyarakat:
Mahatma Gandhi: Pemimpin perjuangan kemerdekaan India ini tidak pernah menggunakan jabatannya untuk kepentingan pribadi. Dengan prinsip ahimsa (tanpa kekerasan), Gandhi menunjukkan bahwa jabatan adalah sarana untuk memperjuangkan keadilan tanpa mengorbankan nilai moral.
Nelson Mandela: Presiden Afrika Selatan pertama yang berkulit hitam, Mandela menjalankan jabatannya dengan fokus pada rekonsiliasi nasional. Setelah 27 tahun dipenjara, ia tidak menggunakan kekuasaan untuk balas dendam, melainkan untuk menyatukan bangsa.
Abraham Lincoln: Sebagai presiden AS, Lincoln dikenal karena perjuangannya menghapus perbudakan. Keputusannya yang tegas, tetapi tetap manusiawi, membuatnya dihormati oleh rakyat dan tercatat sebagai salah satu pemimpin terbesar dalam sejarah.l
Pemimpin-pemimpin ini mengajarkan bahwa jabatan bukanlah soal kuasa, tetapi pengabdian untuk menciptakan dunia yang lebih baik. Mereka meninggalkan warisan yang tetap hidup dalam hati masyarakat.
Haruskah Jabatan Menjadi Alasan Untuk Sombong ?
Sombong, pada dasarnya, adalah bentuk ego yang berlebihan dan biasanya merusak hubungan interpersonal dan komunikasi. Oleh karena itu, memiliki rasa sombong tidak perlu, baik dengan jabatan maupun dengan hal lain. Kesombongan seringkali menjauhkan seseorang dari kerendahan hati, empati, dan kerja sama tim, nilai-nilai yang penting untuk membangun hubungan sehat dan lingkungan yang harmonis.
Mengembangkan Kebanggaan yang Sehat
Daripada menjadi sombong, seseorang seharusnya bisa merasakan kebanggaan yang sehat dengan cara:
Menghargai kerja keras yang dilakukan tanpa merendahkan orang lain.
Memiliki kesadaran bahwa jabatan adalah amanah yang harus dijaga dan digunakan untuk kebaikan, bukan untuk kepentingan pribadi.
Bersikap rendah hati dengan terus belajar dan mendengarkan masukan dari berbagai pihak.
Dengan demikian, kesombongan tidak perlu ada. Sebagai gantinya, rasa percaya diri yang didasarkan pada pengabdian dan rasa tanggung jawab jauh lebih bermanfaat dalam menciptakan kepemimpinan yang berintegritas dan menginspirasi. Apa pandangan Anda tentang ini?
Kesimpulan
Jabatan adalah amanah yang sarat dengan tanggung jawab moral, sosial, dan spiritual. Kesombongan hanya akan membawa kehancuran, baik bagi individu maupun masyarakat yang dipimpinnya. Kerendahan hati, dedikasi, dan komitmen untuk melayani adalah nilai-nilai yang harus ditanamkan dalam setiap pemimpin.Â
Jabatan bukanlah milik pribadi, melainkan titipan yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban, baik di hadapan rakyat maupun Tuhan. Mari kita jadikan jabatan sebagai sarana untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan sebagai alat untuk menimbun kebanggaan semu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H