Oleh karena itu, jabatan harus dipandang sebagai ruang untuk mengasah integritas, bukan sekadar alat untuk memuaskan ego.
Jabatan dalam Perspektif Religius
Dalam pandangan religius, jabatan adalah titipan yang kelak akan dipertanggungjawabkan. Ajaran agama besar di dunia menyoroti pentingnya menjadikan jabatan sebagai sarana pengabdian, bukan kesombongan:
Islam: Dalam Islam, jabatan adalah amanah yang berat. Rasulullah Muhammad SAW bersabda, "Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Bukhari dan Muslim). Pemimpin yang tidak adil dan sombong dengan jabatannya akan menghadapi hisab yang berat di akhirat. Jabatan harus diisi dengan kejujuran, keadilan, dan kepedulian kepada rakyat.
Kristen: Dalam Kekristenan, jabatan dipandang sebagai panggilan untuk melayani, sebagaimana Yesus Kristus mengajarkan dalam Injil Matius 20:26-28, "Barang siapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu." Jabatan tidak boleh menjadi alat untuk memerintah, tetapi harus dijalankan dengan kasih dan pengabdian.
Hindu: Dalam ajaran Hindu, jabatan harus dijalankan dengan konsep dharma (kewajiban moral). Bhagavad Gita menekankan bahwa seseorang harus menjalankan tugasnya tanpa keterikatan pada hasil, melainkan dengan niat murni untuk kebaikan bersama.
Buddha: Dalam pandangan Buddha, jabatan harus dilandasi right intention (niat yang benar) dan right action (tindakan yang benar). Pemimpin harus menghindari keserakahan, kebencian, dan delusi, yang sering kali menjadi akar dari penyalahgunaan jabatan.
Semua agama menekankan bahwa jabatan bukanlah privilege, melainkan tanggung jawab suci yang harus dijalankan dengan integritas.
Jabatan dalam Perspektif Sosiologis
Secara sosiologis, jabatan adalah bagian dari struktur sosial yang memberikan pengaruh signifikan terhadap kehidupan masyarakat. Ketika pejabat menyalahgunakan jabatannya, efek domino negatif dapat dirasakan luas. Kepercayaan publik menjadi pilar utama yang harus dijaga. Max Weber, seorang sosiolog terkemuka, menyoroti konsep legitimasi otoritas, di mana seorang pemimpin hanya dihormati jika ia menjalankan tugasnya dengan benar.
Namun, kenyataan sering kali berbicara lain. Kesombongan jabatan yang tercermin dalam perilaku otoriter, korupsi, atau pengabaian terhadap aspirasi rakyat akan memicu krisis kepercayaan. Ketika ini terjadi, tidak hanya pejabat yang kehilangan legitimasi, tetapi juga institusi yang ia wakili. Oleh karena itu, jabatan harus dijadikan alat untuk memperkuat solidaritas sosial dan menciptakan kebijakan yang memberdayakan masyarakat.