Teori nilai kerja Marx menyatakan bahwa nilai barang ditentukan oleh jumlah kerja yang tercurahkan dalam produksinya. Namun, teori ini gagal menjelaskan harga pasar yang juga dipengaruhi oleh permintaan dan utilitas.
Eugen von Bhm-Bawerk, ekonom Austria, dalam kritiknya terhadap teori nilai kerja, menyatakan bahwa nilai berasal dari persepsi subjektif individu terhadap kegunaan barang (utility), bukan hanya dari kerja.
Marginal Utility Theory oleh Carl Menger dan para ekonom neoklasik menjelaskan bagaimana harga ditentukan oleh keseimbangan antara penawaran dan permintaan, serta nilai marginal terakhir dari barang tersebut.
6. Sentralisasi Kekuasaan dalam Komunisme
Praktik komunisme sering kali menghasilkan sentralisasi kekuasaan yang ekstrem, seperti yang terlihat di Uni Soviet dan Tiongkok, yang berujung pada represi politik dan kurangnya kebebasan individu.
Friedrich Hayek dalam The Road to Serfdom memperingatkan bahwa perencanaan terpusat yang diusulkan Marx cenderung mengarah pada otoritarianisme, karena memusatkan kekuasaan ekonomi dan politik di tangan segelintir orang.
Public Choice Theory oleh James Buchanan menunjukkan bahwa pejabat pemerintah dalam sistem terpusat tidak selalu bertindak untuk kepentingan umum, melainkan untuk kepentingan pribadi mereka.
7. Kurangnya Perhatian pada Motivasi Individual
Marx mengabaikan peran motivasi individu dan insentif dalam masyarakat. Sistem tanpa insentif sering kali menyebabkan stagnasi ekonomi, seperti yang terlihat dalam eksperimen ekonomi terencana.
Milton Friedman mengkritik sosialisme karena melemahkan insentif individu untuk bekerja keras, berinovasi, dan mengambil risiko.
Agency Theory menekankan pentingnya memberikan insentif kepada individu untuk memaksimalkan produktivitas, sesuatu yang kurang diperhatikan dalam sistem Marxian.