Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kritik atas Ajaran Thomas Hobbes

27 November 2024   16:44 Diperbarui: 27 November 2024   16:48 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Thomas Hobbes (1588--1679) adalah salah satu filsuf terkemuka Inggris yang dikenal sebagai bapak filsafat politik modern. Hobbes lahir di Malmesbury, Wiltshire, Inggris, dalam konteks zaman yang penuh dengan gejolak politik dan sosial, termasuk Perang Saudara Inggris. Situasi ini sangat memengaruhi pandangannya tentang sifat manusia dan pentingnya otoritas negara untuk menjaga stabilitas dan ketertiban.

Pendidikan Hobbes dimulai di Magdalen Hall, Oxford, di mana ia menunjukkan minat yang mendalam terhadap filsafat klasik dan sains. Selama kariernya, Hobbes menjadi tutor bagi keluarga bangsawan, yang memberinya akses ke karya-karya ilmuwan dan filsuf kontemporer, seperti Galileo Galilei dan Ren Descartes. Pemikiran mereka memberikan pengaruh besar pada pendekatan Hobbes terhadap filsafat politik, terutama dalam penggunaan metode ilmiah dan materialisme.

Karya Utama Thomas Hobbes

1. Leviathan (1651)

Leviathan adalah karya Hobbes yang paling terkenal dan sering dianggap sebagai landasan teori politik modern. Dalam buku ini, Hobbes menggambarkan keadaan alamiah manusia sebagai "perang semua melawan semua" (bellum omnium contra omnes), yang membuat hidup penuh dengan ketakutan dan ketidakamanan. Hobbes mengajukan konsep kontrak sosial, di mana manusia menyerahkan kebebasan individu kepada otoritas negara untuk mendapatkan perlindungan dan ketertiban. Negara ideal menurut Hobbes adalah negara yang memiliki kekuasaan absolut, yang ia analogikan dengan makhluk mitos Leviathan.

2. De Cive (1642)

Sebelum Leviathan, Hobbes menulis De Cive (Tentang Warga Negara), yang membahas hubungan antara individu, masyarakat, dan negara. Buku ini memperkenalkan ide-ide awal Hobbes tentang kontrak sosial dan kebutuhan akan kekuasaan pusat untuk mencegah konflik.

3. Elements of Law (1640)

Buku ini merupakan karya awal Hobbes yang menjelaskan prinsip-prinsip hukum dan politiknya. Elements of Law kemudian menjadi dasar dari De Cive dan Leviathan.

4. De Corpore (1655) dan De Homine (1658)

Selain filsafat politik, Hobbes juga menulis tentang filsafat alam dan manusia. De Corpore membahas dasar-dasar metafisika dan logika, sementara De Homine berfokus pada psikologi manusia, termasuk teori tentang persepsi dan emosi.

Pengaruh Hobbes

Pemikiran Hobbes sangat dipengaruhi oleh gejolak zaman, seperti Perang Saudara Inggris, yang memperlihatkan bagaimana konflik tanpa penguasa yang kuat dapat menghancurkan masyarakat. Ia juga terinspirasi oleh kemajuan ilmu pengetahuan, terutama metode deduktif Galileo dan Descartes, yang memengaruhi pendekatannya untuk memahami hukum alam dan hubungan manusia.

Karya-karya Hobbes menjadi fondasi bagi banyak filsuf politik modern, termasuk John Locke, Jean-Jacques Rousseau, dan para teoritikus kontrak sosial lainnya. Meskipun pandangannya sering kontroversial, Hobbes tetap menjadi salah satu pemikir yang paling berpengaruh dalam sejarah filsafat politik.

Pokok-Pokok Ajaran Hobbes

1. Keadaan Alamiah (State of Nature)

Hobbes menggambarkan keadaan manusia sebelum adanya pemerintahan atau negara sebagai keadaan tanpa hukum dan otoritas. Dalam keadaan ini, manusia hidup dalam ketakutan dan saling mencurigai satu sama lain. Hobbes menganggap bahwa manusia secara alami egois, kompetitif, dan mencari kepentingan pribadi tanpa mempertimbangkan kepentingan orang lain. Tidak ada jaminan atas keamanan atau hak milik, sehingga hidup manusia menjadi "solitary, poor, nasty, brutish, and short." Pandangan ini menjadi dasar bagi argumennya bahwa manusia membutuhkan otoritas eksternal untuk mengatur hubungan sosial dan menjaga ketertiban.

2. Kontrak Sosial

Untuk keluar dari kondisi kacau yang digambarkan dalam keadaan alamiah, manusia secara rasional setuju untuk menyerahkan sebagian kebebasan mereka kepada otoritas yang lebih besar demi keselamatan bersama. Hobbes menyebut kesepakatan ini sebagai kontrak sosial. Melalui kontrak ini, individu setuju untuk mematuhi aturan yang dibuat oleh penguasa atau pemerintah, yang pada gilirannya bertanggung jawab untuk melindungi mereka dari ancaman kekacauan dan konflik. Kontrak sosial ini merupakan landasan dari pembentukan negara.

3. Sifat Absolut Negara

Menurut Hobbes, negara harus memiliki kekuasaan absolut untuk menegakkan hukum dan menjaga ketertiban. Ia percaya bahwa tanpa kekuatan yang dominan, masyarakat akan kembali ke keadaan alamiah yang penuh konflik. Otoritas negara yang kuat dianggap sebagai satu-satunya cara untuk menjamin stabilitas dan keamanan jangka panjang. Hobbes menggunakan analogi Leviathan, seekor makhluk mitos yang kuat, untuk menggambarkan negara sebagai entitas yang mengendalikan dan mengarahkan masyarakat.

4. Pentingnya Stabilitas dan Ketertiban

Stabilitas dan ketertiban adalah nilai utama dalam pandangan Hobbes. Menurutnya, tanpa stabilitas, kehidupan manusia akan penuh dengan kekacauan dan penderitaan. Karena itu, ia menempatkan pentingnya keamanan di atas kebebasan individu. Baginya, kebebasan individu hanya memiliki makna jika ada jaminan bahwa hak-hak dasar dapat dipertahankan dalam situasi yang aman dan tertib.

5. Materialisme dalam Filsafat Politik

Hobbes melihat manusia sebagai makhluk materialistis yang terutama digerakkan oleh hasrat untuk bertahan hidup, mencari kenyamanan, dan menghindari rasa sakit. Semua tindakan manusia, dalam pandangannya, didasarkan pada dorongan-dorongan biologis dan kebutuhan material. Pandangan ini membuat Hobbes mengembangkan teori politiknya dengan pendekatan yang pragmatis, yakni bagaimana memenuhi kebutuhan dasar manusia sambil menjaga keteraturan dalam masyarakat.

Kritik terhadap Pemikiran Thomas Hobbes dan Hubungannya dengan Pandangan Negara Modern

1. Kecenderungan Otoritarianisme

Hobbes menekankan bahwa negara harus memiliki kekuasaan absolut untuk mencegah manusia kembali ke "keadaan alamiah." Dalam pandangannya, kekuasaan absolut diperlukan untuk menjaga stabilitas dan ketertiban. Namun, konsep ini sering dikritik karena memberikan pembenaran bagi pemerintahan otoriter, di mana penguasa dapat bertindak sewenang-wenang tanpa mempertimbangkan kepentingan rakyat.

Dalam konteks negara modern, kritik ini relevan dengan diskusi tentang batas kekuasaan negara. Negara demokrasi kontemporer mengadopsi sistem checks and balances untuk memastikan bahwa kekuasaan tidak terpusat pada satu entitas, seperti legislatif, eksekutif, atau yudikatif. Pandangan Hobbes dianggap bertentangan dengan prinsip ini karena tidak ada mekanisme untuk mengontrol otoritas penguasa dalam teori Hobbes. Sebagai contoh, banyak negara otoriter di dunia modern sering kali mengklaim legitimasi dengan alasan stabilitas, seperti Cina dan Rusia, yang mengutamakan ketertiban sosial di atas demokrasi liberal.

2. Minimnya Pengakuan terhadap Kebebasan Individu

Hobbes melihat kebebasan individu sebagai sesuatu yang harus dikorbankan demi keamanan bersama. Bagi Hobbes, kebebasan individu hanya dapat eksis dalam batas-batas yang ditentukan oleh negara. Kritik terhadap pandangan ini menunjukkan bahwa pengabaian terhadap kebebasan individu dapat mengarah pada pelanggaran hak asasi manusia, terutama dalam konteks negara modern yang semakin mengedepankan perlindungan hak individu.

Dalam dunia saat ini, terutama setelah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (1948), negara-negara diharapkan menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan stabilitas sosial. Sistem hukum dan konstitusi di negara-negara demokrasi dirancang untuk melindungi kebebasan individu dari penyalahgunaan kekuasaan negara, yang tidak tercermin dalam pandangan Hobbes. Contohnya, di negara-negara seperti Amerika Serikat atau Uni Eropa, kebijakan negara harus melalui pengawasan hukum dan mendapat legitimasi dari rakyat.

3. Pandangan Pesimistis tentang Sifat Dasar Manusia

Hobbes menggambarkan manusia sebagai makhluk egois yang selalu mementingkan kepentingan pribadi. Kritik terhadap pandangan ini datang dari filsuf lain, seperti John Locke, yang memiliki pandangan lebih optimistis tentang sifat manusia. Locke percaya bahwa manusia secara alami mampu bekerja sama tanpa otoritas absolut.

Dalam konteks modern, pandangan Hobbes sering digunakan untuk membenarkan pengawasan yang ketat oleh negara terhadap warganya. Contohnya, kebijakan pengawasan massal oleh negara dengan alasan keamanan nasional sering diperdebatkan. Negara-negara seperti Cina dengan sistem pengawasan berbasis teknologi, atau kebijakan anti-terorisme di Amerika Serikat pasca 9/11, menunjukkan penerapan teori Hobbesian bahwa manusia perlu diawasi untuk mencegah kekacauan. Namun, kritik menunjukkan bahwa pendekatan ini dapat melemahkan kepercayaan sosial dan menciptakan ketegangan antara rakyat dan pemerintah.

4. Kekhawatiran terhadap Konsentrasi Kekuasaan

Pandangan Hobbes tentang negara sebagai Leviathan yang absolut menciptakan kekhawatiran tentang konsentrasi kekuasaan yang tidak terkendali. Di era modern, banyak negara mengalami penyalahgunaan kekuasaan akibat tidak adanya mekanisme pengawasan yang memadai. Hal ini terlihat dalam contoh negara-negara dengan rezim otoriter di mana pemerintah menggunakan narasi stabilitas dan keamanan untuk menindas oposisi dan membungkam kebebasan pers.

Sebaliknya, negara-negara demokrasi modern cenderung membangun institusi yang dapat membagi kekuasaan dan mempromosikan akuntabilitas. Sebagai contoh, Mahkamah Konstitusi atau Ombudsman di beberapa negara demokrasi dirancang untuk mengawasi tindakan pemerintah, memastikan tidak ada kekuasaan absolut seperti yang diusulkan Hobbes.

5. Konteks Sosial yang Berubah

Pemikiran Hobbes lahir dari kekacauan politik Inggris abad ke-17, yang ditandai dengan perang sipil dan ketidakstabilan sosial. Kritik modern menunjukkan bahwa pandangannya tidak selalu relevan untuk masyarakat yang relatif stabil dan berfungsi dengan baik. Negara-negara dengan demokrasi mapan, seperti Norwegia atau Swedia, menunjukkan bahwa masyarakat dapat menjaga stabilitas tanpa harus bergantung pada otoritas absolut. Negara-negara ini mengutamakan sistem hukum yang adil, partisipasi publik yang aktif, dan pengawasan terhadap pemerintah, menunjukkan bahwa stabilitas dapat dicapai tanpa pengorbanan besar terhadap kebebasan individu.

Selain itu, perkembangan global dalam hak asasi manusia, desentralisasi kekuasaan, dan teknologi digital menciptakan konteks baru yang tidak diantisipasi oleh Hobbes. Dengan adanya masyarakat yang semakin terhubung melalui teknologi, kontrol absolut oleh negara seperti yang digambarkan Hobbes dianggap sulit diterapkan tanpa menimbulkan resistensi dari masyarakat global.

Kesimpulan Kritik dalam Konteks Negara Modern

Meski pandangan Hobbes memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya keamanan dan ketertiban dalam masyarakat, penerapan idenya dalam konteks modern menunjukkan kelemahan mendasar. Negara-negara modern cenderung berupaya mencari keseimbangan antara stabilitas, kebebasan individu, dan hak asasi manusia.

Di era saat ini, pendekatan Hobbesian sering kali relevan dalam konteks krisis, seperti perang atau darurat nasional, tetapi cenderung kurang sesuai untuk tata kelola negara dalam situasi normal. Sebagai gantinya, model negara modern lebih banyak mengadopsi prinsip-prinsip demokrasi dan pluralisme yang menawarkan stabilitas tanpa mengorbankan hak-hak dasar manusia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun