Pengantar
Ketika mendengar kata "hakim," kita mungkin membayangkan seorang yang berwibawa dengan jubah hitam duduk di belakang meja tinggi, memberikan putusan dengan palu kayunya. Namun, di balik gambaran itu, ada peran yang sangat kompleks dan dinamis, terutama dalam sistem hukum common law. Berbeda dengan sistem hukum civil law yang umum di banyak negara Eropa dan Indonesia, sistem common law yang diterapkan di negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat memberikan peran sentral kepada hakim, tidak hanya sebagai penegak hukum tetapi juga sebagai "pencipta" hukum. Sistem ini mengandalkan keputusan hakim dalam membentuk prinsip-prinsip hukum yang berlaku di masa depan, menjadikannya pilar utama dalam evolusi hukum yang responsif terhadap dinamika sosial.
Dalam tulisan ini, kita akan mengulas lebih dalam mengenai peran hakim dalam sistem hukum common law, menggali pandangan dari berbagai ahli, serta memberikan contoh konkret dari Inggris dan Amerika Serikat. Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bagaimana kekuatan dan pengaruh seorang hakim melampaui sekadar memberikan putusan di ruang sidang, tetapi juga membentuk lanskap hukum yang berlaku secara luas.
Peran Hakim dalam Sistem Hukum Common Law
1. Penciptaan Hukum (Law-Making Role)
Di banyak negara dengan sistem common law, hakim memiliki peran krusial dalam menciptakan hukum. Mereka sering kali dihadapkan pada kasus-kasus yang belum pernah terjadi sebelumnya, atau di mana undang-undang yang ada belum mencakup isu yang dibahas.
Contoh:
Salah satu contoh yang terkenal adalah kasus Donoghue v Stevenson (1932) di Inggris, yang dikenal sebagai dasar dari hukum negligence (kelalaian). Dalam kasus ini, seorang wanita mengalami keracunan setelah meminum minuman yang mengandung siput mati. Tidak ada undang-undang yang mengatur kompensasi dalam kasus seperti ini pada saat itu. Hakim Lord Atkin menciptakan prinsip hukum bahwa setiap orang memiliki kewajiban untuk tidak menyebabkan kerugian pada orang lain secara sembarangan. Putusan ini menjadi preseden penting dalam hukum tort dan berpengaruh besar dalam banyak kasus serupa di seluruh dunia.
Di Amerika Serikat, putusan Brown v. Board of Education (1954) oleh Mahkamah Agung memutuskan bahwa segregasi rasial di sekolah-sekolah negeri adalah inkonstitusional. Meskipun tidak ada undang-undang yang secara eksplisit melarang segregasi pada saat itu, hakim menciptakan preseden baru yang mengubah arah hukum hak sipil di Amerika.
Profesor Sir William Blackstone, ahli hukum Inggris, menyatakan bahwa hakim dalam common law bukan sekadar penafsir undang-undang, tetapi juga pembentuk hukum melalui putusan yang diambilnya. "The judge's decision is the law itself," ujar Blackstone dalam karyanya Commentaries on the Laws of England, yang menjadi salah satu dasar teori hukum common law.
2. Penafsiran Hukum (Interpretative Role)
Hakim dalam sistem common law sering kali dituntut untuk menafsirkan teks hukum atau konstitusi yang ambigu. Dalam hal ini, mereka tidak hanya menerapkan hukum secara tekstual tetapi juga mempertimbangkan konteks sosial, budaya, dan perkembangan masyarakat.
Contoh:
Di Inggris, kasus Pepper v Hart (1993) menjadi preseden penting tentang bagaimana hakim dapat menafsirkan undang-undang dengan menggunakan catatan parlemen (Hansard) untuk menjelaskan maksud undang-undang tersebut. Sebelum kasus ini, hakim di Inggris cenderung menolak menggunakan sumber eksternal dalam menafsirkan teks hukum.
Di Amerika Serikat, kasus Roe v. Wade (1973) mengilustrasikan bagaimana Mahkamah Agung menafsirkan Konstitusi untuk memutuskan hak seorang wanita terhadap aborsi. Meskipun tidak ada klausul eksplisit dalam Konstitusi tentang aborsi, para hakim menafsirkan bahwa hak atas privasi yang dijamin oleh Amandemen Keempatbelas mencakup hak untuk melakukan aborsi.
Menurut Oliver Wendell Holmes Jr., seorang hakim terkenal di Mahkamah Agung Amerika Serikat, "The life of the law has not been logic; it has been experience." Holmes menekankan bahwa hukum berkembang melalui pengalaman dan adaptasi terhadap perubahan masyarakat, dan hakim memiliki peran penting dalam melakukan penafsiran ini.
3. Penggunaan Preseden dan Stare Decisis
Salah satu ciri khas sistem common law adalah penggunaan preseden. Prinsip stare decisis menyatakan bahwa keputusan pengadilan yang lebih tinggi menjadi panduan bagi pengadilan yang lebih rendah dalam kasus-kasus serupa. Ini memberikan kepastian dan konsistensi dalam penerapan hukum.
Contoh:
Di Inggris, putusan R v R (1991), di mana House of Lords (sekarang Supreme Court) memutuskan bahwa pemerkosaan dalam perkawinan adalah tindakan ilegal. Sebelum keputusan ini, pemerkosaan dalam pernikahan dianggap tidak mungkin secara hukum. Keputusan ini menjadi preseden yang diikuti oleh pengadilan-pengadilan lainnya, mengubah pandangan hukum terhadap hak perempuan dalam perkawinan.
Di Amerika Serikat, putusan Miranda v. Arizona (1966) menetapkan bahwa polisi harus memberi tahu tersangka tentang hak mereka saat penangkapan (Miranda Rights). Ini menjadi preseden yang diikuti oleh semua pengadilan di Amerika Serikat dalam kasus pidana.
Ahli hukum Inggris, Lord Denning, menyatakan bahwa "The doctrine of precedent is not a straitjacket, but a principle of guidance." Menurutnya, preseden adalah panduan bagi hakim tetapi bukan penghalang yang membatasi penafsiran hukum yang lebih adil dan relevan dengan perkembangan zaman.
4. Pengawasan Konstitusionalitas (Judicial Review)
Peran hakim dalam judicial review sangat penting dalam menjaga keseimbangan kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Mereka memiliki kekuatan untuk menilai apakah tindakan pemerintah atau undang-undang tertentu melanggar konstitusi.
Contoh:
Di Amerika Serikat, kasus Marbury v. Madison (1803) menandai lahirnya prinsip judicial review. Dalam kasus ini, Mahkamah Agung memutuskan bahwa undang-undang yang disahkan Kongres dapat dinyatakan tidak sah jika bertentangan dengan Konstitusi.
Di Inggris, meskipun tidak memiliki konstitusi tertulis, hakim masih melakukan judicial review terhadap tindakan pemerintah yang dianggap melanggar hak asasi manusia, seperti yang terlihat dalam kasus R (Miller) v Secretary of State for Exiting the European Union (2017), yang menegaskan bahwa pemerintah tidak dapat memicu Brexit tanpa persetujuan parlemen.
Hakim agung Inggris, Lord Reid, pernah mengatakan bahwa "Judicial review is the primary means by which judges control the excesses of executive power." Hal ini menunjukkan bagaimana peran hakim dalam mengawasi pemerintah demi menjaga prinsip rule of law.
Kesimpulan
Hakim dalam sistem common law tidak hanya sebagai penegak aturan yang sudah ada tetapi juga sebagai arsitek hukum yang aktif membentuk prinsip-prinsip hukum melalui keputusan yang diambil. Mereka menciptakan, menafsirkan, dan menerapkan hukum dengan mempertimbangkan dinamika sosial, nilai-nilai moral, dan perkembangan masyarakat. Dari kasus Donoghue v Stevenson di Inggris hingga Brown v Board of Education di Amerika Serikat, keputusan para hakim ini telah menciptakan landasan yang kokoh bagi perkembangan hukum modern.
Melalui analisis dan putusan yang dibuat, hakim membuktikan bahwa mereka bukan hanya perwakilan dari teks hukum, tetapi juga penjaga keadilan yang dinamis dan inovatif, yang selalu siap beradaptasi dengan perubahan zaman dan kebutuhan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H