Julius Caesar: (tersenyum kecil) Ah, Nik. Tapi kita tahu, kekuasaan itu tidak bisa dikendalikan sepenuhnya. Aku sudah mencobanya, dan pada akhirnya, ditusuk oleh mereka yang pernah kupikir adalah sekutu. Aku bahkan sampai menaruh kepercayaan pada Brutus.
Jengis Khan: (menggeleng) Itulah masalahmu, Caesar. Terlalu percaya pada orang lain. Aku percaya pada keluargaku, bahkan itu pun hati-hati. Pengkhianatan hampir mustahil jika kau hanya bergantung pada dirimu sendiri. Kau pikir aku bisa menaklukkan dunia dengan "sekutu"?
Machiavelli: (tertawa) Kalian berdua benar-benar contoh yang sempurna dari kekuasaan. Satu sisi percaya pada loyalitas, satu lagi percaya pada rasa takut. Sebenarnya, kalian berdua membuktikan intiku sendiri: kekuasaan itu cair, bergantung pada situasi, dan harus diraih dengan cara yang paling sesuai dengan kepribadian penguasanya.
Julius Caesar: Mungkin itu sebabnya namamu tetap hidup, Machiavelli. Kau adalah ahli teori, sementara kami adalah praktisi. Tapi satu hal yang pasti: baik kekuasaan berdasarkan cinta maupun ketakutan, keduanya membutuhkan pengorbanan besar.
Jengis Khan: (mengangkat cangkir kopi) Itu benar, Caesar. Aku tidak akan membantah soal pengorbanan. Banyak dari kami tidak akan pernah pulang. Tapi itu harga yang harus dibayar.
Machiavelli: (membalas anggukan) Dan begitulah, wahai pangeran-pangeran dunia, tidak ada kekuasaan tanpa pengorbanan. Entah dalam bentuk darah, kepercayaan, atau mungkin hanya dalam kebijakan yang tak kenal ampun. Mungkin itulah yang membuat kekuasaan begitu menggoda… dan pada akhirnya, sangat berbahaya.
Ketiganya mengangkat cangkir mereka, masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri, saling memahami bahwa kekuasaan itu mahal, penuh bahaya, dan... sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H