Lokasi: Sebuah kedai kopi antik di pusat Florence, dengan interior khas Italia abad ke-16.
Machiavelli: (menghirup kopinya sambil melihat tamunya) Jadi, apa kabar, para pria kekuasaan? Sungguh sebuah kehormatan untuk duduk bersama dua legenda. Julius, Jengis, kita di sini untuk satu alasan: berbicara tentang kekuasaan. (tersenyum tajam) Mari kita mulai dari pertanyaan dasar. Menurut kalian, apa yang paling penting dalam meraih dan mempertahankan kekuasaan?
Julius Caesar: (membetulkan toga) Nik, menurutku, yang paling penting adalah mendapatkan kepercayaan rakyat. Aku bukan siapa-siapa tanpa dukungan mereka. Mereka lah yang membuat aku bisa menyeberangi Rubicon dan menguasai Roma.
Jengis Khan: (tertawa keras) Rakyat? Ha! Aku tidak pernah meminta kepercayaan rakyat, Caesar. Aku hanya punya satu prinsip: taklukkan atau binasa. Bangsaku kuat karena kami tak kenal takut. Kami tidak bergantung pada siapa pun, aku menyatukan suku-suku dan kemudian memperluas kekuasaan dengan… yah, sedikit persuasi brutal.
Machiavelli: (tersenyum sinis) Menarik sekali, Jengis. Metode "persuasi brutal" memang efektif... untuk sementara. Tapi, kamu tidak khawatir? Jika rakyatmu takut padamu, lalu siapa yang bisa kau percaya?
Jengis Khan: (mengangkat bahu) Aku tidak butuh kepercayaan. Ketakutan sudah cukup. Kalau ada yang berani mengkhianatiku, mereka tahu nasib mereka—pengkhianatan jarang terjadi ketika kau jelas soal hukuman.
Julius Caesar: (tertawa) Yah, ada benarnya, Jengis. Tapi aku masih berpikir bahwa memerintah melalui kepercayaan dan karisma lebih bijak. Aku berusaha memanipulasi emosi rakyatku dengan hati-hati. Kau tahu, Machiavelli, dalam pertempuran, aku menang bukan hanya dengan kekuatan, tapi juga dengan kebijaksanaan. Dengan begitu, aku punya banyak pendukung yang loyal, bahkan saat aku menyatakan diri sebagai diktator seumur hidup.
Machiavelli: (mengangguk setuju) Caesar, aku melihat metode itu dalam karyamu. Tapi aku khawatir itu tidak selalu berakhir baik, bukan? Kau tahu, teman, mengandalkan cinta rakyatmu terkadang berbahaya. Ketika mereka cinta, mereka setia... sampai ada yang lebih menarik hati mereka. Nah, itulah mengapa aku menyarankan para penguasa untuk lebih baik ditakuti daripada dicintai—seandainya mereka tak bisa mendapatkan keduanya.
Jengis Khan: (mengangguk dengan tegas) Benar, itu sebabnya aku tidak peduli soal cinta atau kebijaksanaan, seperti kalian sebut. Lihat saja, aku menaklukkan hampir setengah dunia tanpa basa-basi. Dengan pedang dan kuda. Aku tidak peduli dengan kasih sayang rakyatku. Bagiku, kekuasaan bukan soal rasa, tapi soal kendali total. Bukankah kekuasaan sejati itu menguasai tanpa syarat?
Julius Caesar: (berpikir sejenak) Tapi Jengis, bukankah kau punya musuh di sepanjang perjalanan itu? Kau tidak bisa benar-benar menaklukkan hati mereka, dan akhirnya, beberapa dari mereka mungkin melawanmu dalam diam.
Machiavelli: Justru di situlah intinya, Caesar. Kalian berdua benar dalam caranya masing-masing. Jengis dengan kekuatan total, Caesar dengan popularitas... Namun, kekuasaan sejati itu seperti seni: harus seimbang. Itu sebabnya aku selalu katakan dalam bukuku Il Principe bahwa seorang penguasa harus "lincah seperti rubah dan kuat seperti singa." Kadang menakutkan, kadang memesona, dan yang paling penting, harus cerdik!
Julius Caesar: (tersenyum kecil) Ah, Nik. Tapi kita tahu, kekuasaan itu tidak bisa dikendalikan sepenuhnya. Aku sudah mencobanya, dan pada akhirnya, ditusuk oleh mereka yang pernah kupikir adalah sekutu. Aku bahkan sampai menaruh kepercayaan pada Brutus.
Jengis Khan: (menggeleng) Itulah masalahmu, Caesar. Terlalu percaya pada orang lain. Aku percaya pada keluargaku, bahkan itu pun hati-hati. Pengkhianatan hampir mustahil jika kau hanya bergantung pada dirimu sendiri. Kau pikir aku bisa menaklukkan dunia dengan "sekutu"?
Machiavelli: (tertawa) Kalian berdua benar-benar contoh yang sempurna dari kekuasaan. Satu sisi percaya pada loyalitas, satu lagi percaya pada rasa takut. Sebenarnya, kalian berdua membuktikan intiku sendiri: kekuasaan itu cair, bergantung pada situasi, dan harus diraih dengan cara yang paling sesuai dengan kepribadian penguasanya.
Julius Caesar: Mungkin itu sebabnya namamu tetap hidup, Machiavelli. Kau adalah ahli teori, sementara kami adalah praktisi. Tapi satu hal yang pasti: baik kekuasaan berdasarkan cinta maupun ketakutan, keduanya membutuhkan pengorbanan besar.
Jengis Khan: (mengangkat cangkir kopi) Itu benar, Caesar. Aku tidak akan membantah soal pengorbanan. Banyak dari kami tidak akan pernah pulang. Tapi itu harga yang harus dibayar.
Machiavelli: (membalas anggukan) Dan begitulah, wahai pangeran-pangeran dunia, tidak ada kekuasaan tanpa pengorbanan. Entah dalam bentuk darah, kepercayaan, atau mungkin hanya dalam kebijakan yang tak kenal ampun. Mungkin itulah yang membuat kekuasaan begitu menggoda… dan pada akhirnya, sangat berbahaya.
Ketiganya mengangkat cangkir mereka, masing-masing terjebak dalam pikirannya sendiri, saling memahami bahwa kekuasaan itu mahal, penuh bahaya, dan... sulit untuk didefinisikan dengan kata-kata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H