Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Robotisasi dan Masa Depan Tenaga Kerja: Antara Peluang dan Kecemasan

4 November 2024   19:39 Diperbarui: 4 November 2024   21:11 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di era teknologi yang semakin maju, robotisasi telah menjadi fenomena global yang mengubah wajah industri dan pasar kerja. Robot yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan (AI) mampu melakukan pekerjaan yang dulunya membutuhkan ribuan pekerja. Namun, di balik kecepatan dan efisiensi yang ditawarkan, ada kekhawatiran besar yang menghantui: Apa yang akan terjadi pada tenaga kerja manusia? Bagaimana dampak dari pergeseran ini terhadap ketimpangan ekonomi?

Dampak Robotisasi pada Tenaga Kerja

Menurut laporan McKinsey Global Institute, diperkirakan sekitar 375 juta pekerja di seluruh dunia harus berganti pekerjaan atau meningkatkan keterampilan mereka pada tahun 2030 karena otomatisasi. Dalam konteks ini, robotisasi bukan hanya menggantikan pekerjaan kasar atau rutin, tetapi juga mulai merambah pekerjaan di sektor jasa dan profesional yang sebelumnya dianggap aman dari otomatisasi.

Di pabrik-pabrik mobil Jepang dan Korea Selatan, robot industri mampu merakit mobil dengan presisi yang tidak dapat dicapai oleh pekerja manusia, mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia hingga 70%. Amazon, raksasa e-commerce, juga telah mengadopsi robot di gudang-gudangnya, memungkinkan pengiriman yang lebih cepat dengan tenaga kerja yang lebih efisien. Sementara itu, di sektor keuangan, algoritma AI telah menggantikan pekerjaan analis data dan pialang saham.

Kesenjangan Ekonomi yang Semakin Lebar

Masalah besar lainnya adalah konsentrasi kekayaan pada pemilik modal. Ketika robotisasi meningkat, keuntungan lebih banyak mengalir ke pemilik perusahaan yang mampu berinvestasi dalam teknologi canggih. Profesor Erik Brynjolfsson dari MIT mengungkapkan bahwa teknologi baru, sementara meningkatkan produktivitas, cenderung menguntungkan mereka yang memiliki keahlian dan modal untuk memanfaatkannya, sementara pekerja biasa kerap terpinggirkan.

Statistik dari Oxfam menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di dunia memiliki lebih banyak kekayaan dibandingkan 99% sisanya. Jika tren ini berlanjut tanpa kebijakan redistribusi, otomatisasi dapat memperburuk ketimpangan dan memicu ketidakstabilan sosial.

Perspektif Ahli dan Solusi yang Ditawarkan

Ekonom Joseph Stiglitz, pemenang Nobel, menyatakan bahwa tanpa intervensi kebijakan, robotisasi berpotensi menciptakan gelombang pengangguran struktural. "Kita membutuhkan kebijakan yang memastikan keuntungan dari teknologi disebarkan secara lebih merata," katanya dalam sebuah wawancara. Hal ini bisa diwujudkan melalui kebijakan pajak progresif pada perusahaan teknologi besar dan redistribusi kekayaan dalam bentuk jaminan sosial atau subsidi pelatihan ulang bagi pekerja.

Sementara itu, Bill Gates pernah mengusulkan "pajak robot" sebagai solusi agar perusahaan yang mengadopsi robotisasi memberikan kontribusi lebih besar kepada masyarakat. Ide ini menuai pro dan kontra, namun menawarkan satu contoh bagaimana pemerintah dapat mencoba untuk mengurangi dampak negatif otomatisasi.

Apa yang Harus Dilakukan Negara dengan Tenaga Kerja Besar?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun