teknologi yang semakin maju, robotisasi telah menjadi fenomena global yang mengubah wajah industri dan pasar kerja. Robot yang dilengkapi dengan kecerdasan buatan (AI) mampu melakukan pekerjaan yang dulunya membutuhkan ribuan pekerja. Namun, di balik kecepatan dan efisiensi yang ditawarkan, ada kekhawatiran besar yang menghantui: Apa yang akan terjadi pada tenaga kerja manusia? Bagaimana dampak dari pergeseran ini terhadap ketimpangan ekonomi?
Di eraDampak Robotisasi pada Tenaga Kerja
Menurut laporan McKinsey Global Institute, diperkirakan sekitar 375 juta pekerja di seluruh dunia harus berganti pekerjaan atau meningkatkan keterampilan mereka pada tahun 2030 karena otomatisasi. Dalam konteks ini, robotisasi bukan hanya menggantikan pekerjaan kasar atau rutin, tetapi juga mulai merambah pekerjaan di sektor jasa dan profesional yang sebelumnya dianggap aman dari otomatisasi.
Di pabrik-pabrik mobil Jepang dan Korea Selatan, robot industri mampu merakit mobil dengan presisi yang tidak dapat dicapai oleh pekerja manusia, mengurangi kebutuhan tenaga kerja manusia hingga 70%. Amazon, raksasa e-commerce, juga telah mengadopsi robot di gudang-gudangnya, memungkinkan pengiriman yang lebih cepat dengan tenaga kerja yang lebih efisien. Sementara itu, di sektor keuangan, algoritma AI telah menggantikan pekerjaan analis data dan pialang saham.
Kesenjangan Ekonomi yang Semakin Lebar
Masalah besar lainnya adalah konsentrasi kekayaan pada pemilik modal. Ketika robotisasi meningkat, keuntungan lebih banyak mengalir ke pemilik perusahaan yang mampu berinvestasi dalam teknologi canggih. Profesor Erik Brynjolfsson dari MIT mengungkapkan bahwa teknologi baru, sementara meningkatkan produktivitas, cenderung menguntungkan mereka yang memiliki keahlian dan modal untuk memanfaatkannya, sementara pekerja biasa kerap terpinggirkan.
Statistik dari Oxfam menunjukkan bahwa 1% orang terkaya di dunia memiliki lebih banyak kekayaan dibandingkan 99% sisanya. Jika tren ini berlanjut tanpa kebijakan redistribusi, otomatisasi dapat memperburuk ketimpangan dan memicu ketidakstabilan sosial.
Perspektif Ahli dan Solusi yang Ditawarkan
Ekonom Joseph Stiglitz, pemenang Nobel, menyatakan bahwa tanpa intervensi kebijakan, robotisasi berpotensi menciptakan gelombang pengangguran struktural. "Kita membutuhkan kebijakan yang memastikan keuntungan dari teknologi disebarkan secara lebih merata," katanya dalam sebuah wawancara. Hal ini bisa diwujudkan melalui kebijakan pajak progresif pada perusahaan teknologi besar dan redistribusi kekayaan dalam bentuk jaminan sosial atau subsidi pelatihan ulang bagi pekerja.
Sementara itu, Bill Gates pernah mengusulkan "pajak robot" sebagai solusi agar perusahaan yang mengadopsi robotisasi memberikan kontribusi lebih besar kepada masyarakat. Ide ini menuai pro dan kontra, namun menawarkan satu contoh bagaimana pemerintah dapat mencoba untuk mengurangi dampak negatif otomatisasi.
Apa yang Harus Dilakukan Negara dengan Tenaga Kerja Besar?
Bagi negara-negara dengan populasi besar dan ketergantungan pada tenaga kerja manusia, seperti Indonesia dan India, otomatisasi dapat menjadi tantangan besar. Solusi yang mungkin diterapkan meliputi:
1. Investasi dalam Pendidikan dan Pelatihan Ulang:Â
Pekerja perlu dibekali dengan keterampilan baru, terutama yang berhubungan dengan teknologi, agar tetap relevan di pasar kerja. Negara-negara Nordik telah sukses mengimplementasikan model ini, di mana mereka terus memberikan pelatihan kerja sepanjang hayat bagi tenaga kerja mereka.
2. Dukungan bagi UKM dan Kewirausahaan:Â
Dengan memberikan dukungan teknologi kepada usaha kecil dan menengah, pemerintah dapat membantu menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi ketergantungan pada perusahaan besar.
3.  Program Jaminan Sosial dan Universal Basic Income (UBI):
UBI adalah konsep di mana setiap warga negara menerima pendapatan dasar tanpa syarat. Beberapa negara, seperti Finlandia, telah melakukan uji coba program ini dengan hasil yang cukup positif dalam hal stabilitas ekonomi masyarakat.
Tantangan dan Harapan
Robotisasi memang membawa tantangan besar, tetapi juga peluang. Dengan kebijakan yang tepat, teknologi dapat menjadi alat untuk menciptakan dunia yang lebih sejahtera. Tantangan ke depan adalah bagaimana memastikan bahwa keuntungan teknologi dapat dinikmati oleh semua kalangan, bukan hanya oleh segelintir pihak.
Dalam kata-kata futuris Alvin Toffler, "Masa depan adalah milik mereka yang mempersiapkan diri untuk itu." Bagaimanapun sulitnya, kita perlu mengarahkan teknologi untuk menjadi sekutu bagi kemanusiaan, bukan ancaman.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H