tua melangkah, lemah namun tegar,Dengan gerobak sederhana di sisinya,
Berisi harapan yang tak pernah pudar.
Setiap pagi, saat mentari mulai bersinar,
Ia mendorong gerobaknya dengan penuh semangat,
Menyusuri jalanan yang penuh cerita,
Mengumpulkan remah-remah dari takdir yang kejam.
Keriput di wajahnya adalah peta perjalanan,
Menandai setiap tawa, setiap air mata,
Dengan senyumnya yang ramah, ia menyapa dunia,
Membawa rasa hangat dalam dinginnya sepi.
Dalam gerobak, terhampar aneka dagangan,
Buah-buahan segar dan kue-kue manis,
Setiap gigitan mengisahkan harapan,
Menciptakan mimpi dalam setiap gigitan kecil.
Di sudut jalan, anak-anak berlarian,
Memburu kue, mencuri senyumnya,
Ia tahu betul, di balik tawa mereka,
Ada masa kecil yang penuh peluh dan derita.
Namun, di balik senyumnya yang tulus,
Ada malam-malam sepi yang menggigit hati,
Di saat gerobak terparkir, impian meredup,
Ia terjaga, merangkai doa dalam sunyi.
"Ya Tuhan," katanya, "berikan aku kekuatan,
Untuk mendorong gerobak ini sampai akhir jalan,
Biarkan aku berbagi sedikit kebahagiaan,
Di dunia yang kadang tak adil, tak berperasaan."
Perempuan tua dan gerobak nasibnya,
Adalah simbol kehidupan yang tak pernah padam,
Di tengah kerasnya dunia, ia tetap berjuang,
Mengukir harapan di setiap langkah yang panjang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H