Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Menulis apa saja yang mungkin dan bisa untuk ditulis.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Al-Farabi Vs Freud Dipandu Jung Dalam Debat Abadi tentang Eksistensi Tuhan

27 Oktober 2024   15:10 Diperbarui: 27 Oktober 2024   15:15 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bayangkan suasana yang megah, dengan panggung klasik yang dihiasi tirai beludru dan lampu-lampu vintage di sekitar ruangan. Hadirin dari berbagai zaman, filsuf, psikolog, dan pemikir besar berkumpul dalam sebuah pertemuan lintas waktu. 

Di tengah ruangan, berdiri moderator kita, Carl Jung, mengenakan jas tweed dan membawa kacamata bulat khasnya, siap membuka debat panjang antara Al-Farabi dan Sigmund Freud tentang Tuhan, agama, dan eksistensi.

Jung mengambil mikrofon, berdeham sejenak, dan memulai dengan pembawaan tenang dan sedikit senyum:

Carl Jung:

"Selamat datang, hadirin lintas zaman dan lintas budaya ! Saya, Carl Gustav Jung, seorang psikiater yang sering disalahpahami sebagai eksentrik... atau kadang malah dibilang lebih mistis dari Freud! Tapi hari ini, saya tak akan memanjakan ego saya, karena tugas saya sederhana: menjadi wasit di antara dua pemikir besar ini, pahlawan peradaban, bisa dikatakan. Di sebelah kiri saya, ada sosok yang dikenal dengan pemikirannya tentang akal dan penyebab pertama, Abu Nasr Al-Farabi!"

(Jung memberi gestur dramatis, dan Al-Farabi mengangguk dengan penuh wibawa)

Carl Jung:

"Di sebelah kanan, seseorang yang dikenal suka mengintip ke dalam ketidaksadaran dan membongkar ilusi-ilusi masa kecil kita. Tepuk tangan untuk Sigmund Freud!"

(Freud tersenyum sinis sambil melirik Al-Farabi, lalu memeriksa kumisnya yang rapi)

Carl Jung:

"Baiklah, para tamu kehormatan, mari kita mulai! Saya akan mempersilakan setiap peserta untuk menyampaikan pandangan utama mereka tentang Tuhan dan agama dalam 3 menit,  dan mari kita coba untuk saling menghormati... meskipun saya ragu itu mungkin."

Al-Farabi Memulai dengan Filosofis

Al-Farabi bangkit dengan mantap, mengusap jubahnya, lalu berbicara dengan nada yang tenang namun penuh keyakinan.

Al-Farabi:

"Terima kasih, Tuan Jung. Saudaraku sekalian, agama dan Tuhan adalah realitas objektif yang dapat kita pahami melalui akal. Tuhan bukanlah ilusi, melainkan asal dari segala yang ada, penyebab pertama yang tak tergerakkan. Tanpa Tuhan, segalanya tak memiliki tujuan dan makna. Agama adalah panduan menuju kebenaran, untuk mencapai kebahagiaan hakiki dan keharmonisan kosmis. Kesimpulan ini tak membutuhkan ketergantungan emosional, tapi logika yang murni dan akal yang bijaksana."

(Freud menyeringai mendengar kata "ketergantungan emosional.")

Freud Menyentil dengan Psikoanalisis

Freud kemudian menghela napas, menyesap pipa imajinernya, dan berbicara dengan nada sinis.

Sigmund Freud:

"Terima kasih, Tuan Jung. Saya, tentu saja, hanya seorang dokter yang mempelajari pikiran manusia dan ilusi yang tercipta dari ketakutan terdalam kita. Menurut saya, Tuhan adalah proyeksi dari kebutuhan akan ayah, perlindungan ilusi dari ketidakpastian hidup. Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi ketakutan dan ketergantungan yang menciptakan konsep Tuhan. Dan agama? Ah, itu hanyalah neurosis kolektif, sebuah cara untuk memuaskan hasrat primitif manusia tanpa menghadapinya dengan kedewasaan."

(Al-Farabi menyipitkan mata, tampak sedikit tersinggung)

Jung Menanggapi dengan Sopan

Jung, mengantisipasi ketegangan yang meningkat, menengahi dengan senyuman damai.

Carl Jung:

"Sabar, Tuan-Tuan, sabar. Mari kita ingat, kita adalah tamu dalam ruang diskusi yang abadi ini. Sigmund, mungkin Anda bisa menjelaskan lebih lanjut: Mengapa agama, yang menurut Anda adalah ilusi, tampaknya memiliki kekuatan yang begitu besar dalam membentuk peradaban?"

Sigmund Freud:

"Sederhana saja, Jung. Agama menawarkan fantasi yang nyaman,  sebuah pelarian. Alih-alih menerima keterbatasan manusia, agama menyediakan sistem kepercayaan yang menghibur dan menjelaskan hal-hal yang tidak dapat kita pahami. Ini lebih seperti impian dari seorang anak ketakutan."

Al-Farabi Membalas dengan Tajam

"Sungguh pandangan yang sempit, Tuan Freud! Anda melihat Tuhan hanya sebagai pelarian dari ketakutan manusia. Tapi bukankah Anda sendiri terjebak dalam ilusi lain, ilusi bahwa segala hal bisa dijelaskan dengan kompleksitas psikologis? Jika Anda terus mencari kelemahan dalam setiap hal, Anda hanya akan menemukan kehampaan, bukan kebenaran."

(Freud tampak tersinggung, sementara Jung menahan tawa kecil)

Carl Jung:

"Tenang, tenang. Kita di sini bukan untuk menyimpulkan siapa yang benar, tetapi untuk memahami. Tuan Al-Farabi, bagaimana jika, seperti yang dikatakan Freud, kepercayaan kepada Tuhan itu bukan realitas objektif, tapi... mekanisme psikologis?"

Al-Farabi:

"Jika kepercayaan itu hanyalah psikologis, Tuan Jung, mengapa akal manusia terus berusaha mencarinya? Mengapa segala sistem kepercayaan dan ilmu pengetahuan terus menuju satu tujuan—pencarian kebenaran yang mutlak? Kebenaran, Tuan Freud, tak bisa dicapai dengan sekadar analisis klinis, tapi dengan pencerahan."

(Freud hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum kecut)

Jung Menyimpulkan dengan Humor

"Sepertinya kita tak akan selesai malam ini, atau bahkan abad ini. Saya pribadi merasa bahwa Tuhan ada dalam bayangan dan terang, dalam ketidakpastian dan keyakinan, dalam akal dan dalam jiwa. Tapi, mungkin itu hanya pendapat eksentrik saya. Kita punya dua pandangan besar di sini: Tuhan sebagai realitas mutlak menurut Tuan Al-Farabi, dan Tuhan sebagai proyeksi ketakutan menurut Tuan Freud."

(Jung melirik penonton yang tampak terbagi antara dua kubu)

Carl Jung:

"Dan dengan itu, saya mengakhiri diskusi ini dengan harapan kita semua akan terus mencari kebenaran kita masing-masing—entah itu Tuhan yang sejati, ilusi, atau mungkin… sebuah arketipe? Hingga jumpa lagi dalam diskusi tanpa akhir ini, hadirin!"

Kesimpulan

Akhirnya, penonton meninggalkan ruangan dengan perasaan campur aduk, beberapa terinspirasi oleh keyakinan Al-Farabi, yang lain tersenyum masam mendengar pendapat Freud, dan beberapa hanya teringat pada kalimat Jung yang penuh teka-teki. Perdebatan mungkin belum berakhir, tapi benih pertanyaan telah tumbuh.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun