Korban Jiwa Terus Berjatuhan Bulan
 September 2024 kita kembali diguncang oleh berita tragis 7 orang remaja meregang nyawa di kali Bekasi mereka diduga terjun ke kali karena takut ketahuan akan tawuran oleh  petugas patroli. Tawuran antar remaja dan  pelajar, yang seharusnya hanyalah kenangan buruk masa lalu, kembali marak. Setiap minggu, berbagai media melaporkan perkelahian massal yang tak jarang menelan korban jiwa. Menurut data KPAI, pada tahun 2023 terdapat lebih dari 150 kasus tawuran pelajar yang tercatat di Indonesia, dengan puluhan nyawa hilang sia-sia. Ironisnya, mereka yang terlibat masih mengenakan seragam sekolah, melambangkan masa depan bangsa yang seharusnya penuh harapan. Namun, kenyataannya, fenomena tawuran remaja ini semakin mengkhawatirkan dan menjadi tanda serius bahwa ada yang salah dalam pendidikan karakter di negeri ini.
 Kompleksitas Pengaruh Lingkungan dan Sistem Pendidikan
Tawuran remaja bukan sekadar persoalan perilaku menyimpang sesaat, tetapi hasil dari kompleksitas berbagai faktor yang saling terkait. Salah satu penyebab utama adalah lemahnya pendidikan karakter di lingkungan sekolah dan keluarga. Prof. Suyanto, pakar pendidikan, berpendapat bahwa pendidikan karakter seharusnya bukan hanya tanggung jawab sekolah, tetapi juga keluarga dan masyarakat. "Sekolah terlalu fokus pada aspek kognitif, dan abai terhadap pengembangan moral dan etika," ujarnya. Ini mengakibatkan remaja kurang mampu mengendalikan emosi dan mudah terprovokasi oleh konflik kecil.
Pendidikan karakter adalah upaya untuk menanamkan nilai-nilai luhur seperti integritas, empati, dan pengendalian diri pada generasi muda. Di Finlandia, yang dikenal dengan sistem pendidikannya yang sukses, pendidikan karakter menjadi bagian dari kurikulum sejak dini. Finlandia menekankan pentingnya soft skills, seperti kemampuan bekerja sama, mengelola emosi, dan menyelesaikan konflik dengan cara damai. Hasilnya, Finlandia berhasil menekan angka kekerasan remaja dan tawuran hingga titik terendah dalam beberapa dekade terakhir.
Lingkungan sosial juga memegang peran penting. Remaja, dalam masa pencarian identitas diri, mudah terpengaruh oleh kelompok sebaya yang menawarkan rasa kepemilikan dan "kebanggaan" yang keliru. Dr. Seto Mulyadi, psikolog anak, menjelaskan bahwa remaja yang tidak memiliki identitas yang kuat rentan terpengaruh oleh tekanan kelompok (peer pressure) yang akhirnya mendorong mereka pada perilaku destruktif seperti tawuran.
Media sosial dan tayangan kekerasan di berbagai platform digital memperparah kondisi ini. Anak-anak dan remaja kini terpapar konten negatif yang mempromosikan kekerasan, sehingga batas antara realitas dan hiburan semakin kabur. Di Jepang, pendidikan media menjadi bagian dari pendidikan karakter di sekolah, di mana anak-anak diajarkan untuk memahami dan menyaring informasi yang mereka terima secara kritis. Jepang berhasil mengurangi angka kekerasan remaja dengan pendekatan komprehensif ini.
Generasi yang Terkoyak Nilainya
Dampak tawuran remaja begitu luas dan mengerikan. Di tingkat individu, banyak pelajar dan remaja yang menjadi korban, baik fisik maupun psikologis. Cedera, bahkan kematian, bukan lagi cerita yang asing. Remaja yang terlibat dalam tawuran sering kali menghadapi trauma emosional dan kehilangan masa depan mereka karena terjebak dalam pusaran kekerasan. Prof. Azyumardi Azra, seorang akademisi, pernah menyatakan bahwa tawuran remaja bukan hanya soal kriminalitas, tetapi gejala dari hilangnya empati dan keterampilan sosial akibat minimnya pendidikan karakter.
Dampak tawuran juga merusak tatanan sosial di lingkungan sekitar. Masyarakat merasa tidak aman, pendidikan terganggu, dan citra sekolah serta keluarga terancam hancur. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat belajar dan mengembangkan karakter, berubah menjadi arena pertempuran yang menciptakan rasa takut dan ketidakpastian bagi siswa lainnya. Di Belanda, pemerintah bekerja sama dengan sekolah dan komunitas untuk menciptakan lingkungan yang aman dengan pendekatan restorative justice. Pendekatan ini fokus pada penyelesaian konflik secara damai dan memberikan kesempatan kepada pelaku untuk memperbaiki kesalahan mereka. Hasilnya, Belanda berhasil menekan tingkat kekerasan di kalangan remaja dan mengembalikan peran sekolah sebagai tempat yang aman dan produktif.
Dalam skala lebih besar, fenomena ini mencerminkan masalah struktural dalam sistem pendidikan dan masyarakat kita. Tawuran remaja adalah gejala dari kegagalan dalam membentuk generasi yang berintegritas, berempati, dan memiliki kesadaran sosial yang tinggi.
Perlu Pembenahan Serius dalam Pendidikan Karakter
Fenomena tawuran remaja memanggil kita untuk melakukan refleksi mendalam tentang pendidikan karakter di Indonesia. Pendidikan karakter tidak hanya dapat diserahkan kepada sekolah; keluarga dan masyarakat harus mengambil peran aktif dalam membentuk nilai-nilai positif bagi generasi muda. Dr. Arief Rachman, seorang pakar pendidikan, menyatakan bahwa pendidikan karakter harus diajarkan secara konsisten dan berkesinambungan, baik di sekolah, rumah, maupun lingkungan sosial. Jika satu elemen gagal, maka karakter yang terbentuk akan lemah dan mudah terpengaruh oleh hal-hal negatif.
Sekolah perlu mengintegrasikan pendidikan karakter secara lebih komprehensif, tidak hanya melalui mata pelajaran formal, tetapi juga dalam setiap aktivitas sehari-hari. Program bimbingan konseling dan pendidikan anti-kekerasan harus diperkuat. Pendidikan karakter harus menanamkan nilai-nilai seperti toleransi, empati, kontrol diri, dan resolusi konflik tanpa kekerasan. Contohnya, di Singapura, pendidikan moral menjadi salah satu mata pelajaran wajib di sekolah, di mana siswa diajarkan untuk memahami pentingnya integritas dan tanggung jawab sosial. Singapura telah membuktikan bahwa pendidikan karakter yang kuat bisa menciptakan generasi yang disiplin dan minim kekerasan.
Keluarga, sebagai lingkungan pendidikan pertama, juga harus lebih waspada dan proaktif. Orang tua perlu memberikan perhatian lebih pada perkembangan emosi dan pergaulan anak-anak mereka. Pendidikan karakter yang dimulai dari rumah akan sangat menentukan bagaimana seorang anak bersikap di masyarakat. Di Norwegia, pendekatan pendidikan berbasis keluarga sangat kuat. Orang tua dilibatkan secara aktif dalam perkembangan moral anak melalui berbagai program parenting yang mendukung pembentukan karakter positif.
Di era digital, peran media dan platform online juga tidak bisa diabaikan. Konten-konten yang mempromosikan kekerasan harus dibatasi, dan sebaliknya, media harus mulai mendorong kampanye positif yang mengedukasi remaja tentang dampak buruk kekerasan dan pentingnya penyelesaian konflik secara damai.
Masa Depan Bergantung pada Generasi yang Berkualitas
Tawuran remaja adalah cerminan dari rendahnya pendidikan karakter di Indonesia, sebuah fenomena yang tidak boleh kita anggap remeh. Setiap nyawa yang hilang dalam tawuran adalah kerugian besar bagi masa depan bangsa ini. Oleh karena itu, membangun generasi yang berkualitas harus menjadi prioritas utama. Pendidikan karakter harus menjadi fondasi dalam menciptakan generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan moral.
Di tangan generasi muda yang berintegritas dan memiliki karakter yang kuat, Indonesia akan mampu menghadapi tantangan global dengan lebih baik. Namun, tanpa itu, kita hanya akan mewarisi generasi yang terus mengulang siklus kekerasan dan kehancuran. Mengutip Ki Hajar Dewantara, "Pendidikan adalah upaya untuk memanusiakan manusia," dan tanpa pendidikan karakter, kita gagal dalam misi fundamental ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H