Pemikiran Pencerahan
Selain faktor ekonomi dan sosial, pemikiran Pencerahan juga memainkan peran penting dalam mendorong Revolusi Prancis. Para filsuf seperti Jean-Jacques Rousseau, Voltaire, dan Montesquieu mengkritik keras ketidakadilan sistem monarki absolut dan menyerukan pemerintahan yang lebih demokratis. Gagasan tentang kebebasan, kesetaraan, dan hak asasi manusia menjadi populer di kalangan kelas menengah dan intelektual, yang kemudian menyebar ke seluruh lapisan masyarakat.
Rousseau, misalnya, dalam karyanya Du Contrat Social (Kontrak Sosial), menekankan bahwa kekuasaan sejati harus berada di tangan rakyat, bukan di tangan raja. Montesquieu mengajukan konsep pemisahan kekuasaan, yang kelak menjadi dasar bagi sistem pemerintahan modern. Ide-ide ini memberikan landasan filosofis bagi para revolusioner untuk menentang tirani dan memperjuangkan hak-hak sipil.
Kegagalan Monarki dalam Reformasi
Raja Louis XVI yang berkuasa saat itu, meskipun menyadari krisis yang semakin memuncak, gagal melakukan reformasi yang efektif. Di bawah tekanan dari kaum aristokrat yang menolak perubahan, raja menunjukkan ketidakmampuan dalam menangani masalah ekonomi dan sosial yang memburuk. Pada tahun 1789, untuk pertama kalinya dalam lebih dari 170 tahun, raja mengumpulkan Estates-General, suatu majelis perwakilan yang terdiri dari tiga golongan tersebut, untuk membahas krisis keuangan. Namun, bukannya mencapai solusi, pertemuan ini malah membuka pintu bagi konflik lebih lanjut antara rakyat dan penguasa.
Kaum Ketiga (Third Estate), yang mewakili rakyat biasa, merasa bahwa mereka diperlakukan tidak adil dalam pembagian suara dan mulai membentuk Assemble Nationale (Majelis Nasional) sebagai simbol perlawanan terhadap sistem monarki absolut. Peristiwa ini kemudian memicu serangkaian peristiwa dramatis yang pada akhirnya menandai awal Revolusi Prancis, dimulai dengan penyerbuan Bastille pada 14 Juli 1789.
Bagaimana Revolusi Berlangsung
Pada pagi hari tanggal 14 Juli 1789, ribuan warga Paris, yang sebagian besar terdiri dari pekerja, buruh, dan kaum miskin kota, berkumpul di pusat kota. Dengan penuh semangat dan kemarahan, mereka berbaris menuju Bastille, bertekad untuk merebut senjata yang mereka yakini disimpan di dalamnya. Walaupun hanya dijaga oleh segelintir pasukan, benteng tersebut dipandang sebagai simbol kekuasaan tiran yang menindas rakyat.
Pertempuran di depan Bastille berlangsung sengit. Para pemberontak yang sebagian besar bersenjatakan alat-alat seadanya, seperti kapak dan senapan tua, menghadapi tembakan meriam dari penjaga benteng. Namun, mereka tidak menyerah. Setelah beberapa jam baku tembak, massa berhasil menyerbu masuk dan merebut Bastille. Sang gubernur Bastille, Bernard-Ren de Launay, akhirnya ditangkap dan dieksekusi oleh massa.
Penyerbuan ini menandai pecahnya Revolusi Prancis secara nyata. Di seluruh Paris, lonceng gereja dibunyikan, menandakan kemenangan rakyat atas monarki absolut. Pada hari itu, rakyat Prancis telah mengirim pesan yang jelas: kekuasaan tidak lagi hanya milik raja, tetapi milik rakyat yang berani memperjuangkan hak-hak mereka. Bastille, yang sebelumnya menjadi lambang penindasan, runtuh bersama dengan ketakutan yang selama ini menguasai rakyat Prancis. Revolusi baru saja dimulai, dan dunia tidak akan pernah sama lagi.
Semboyan Revolusi Perancis