Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Seperti Apa Dunia Tanpa Pers?

3 Oktober 2024   19:40 Diperbarui: 3 Oktober 2024   19:43 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Bayangkan bangun pagi, menyalakan televisi, dan... kosong. Tidak ada berita pagi, tidak ada pembawa acara yang membicarakan masalah negara, atau bahkan sekadar ramalan cuaca yang sering kali salah. 

Dunia tanpa pers? 

Wah, kita akan terjebak dalam rutinitas tanpa gosip dan berita yang bikin heboh. Rasanya, hidup jadi lebih sepi dan siapa tahu lebih tenang, meski agak membosankan.Pertama-tama, coba bayangkan dunia tanpa investigasi media. Tidak ada wartawan yang mengendus-endus cerita panas, tidak ada skandal besar yang terbongkar, dan tentunya, tidak ada film keren seperti Spotlight. Bahkan, mungkin Anda tidak akan pernah tahu apakah politisi di negara ini melakukan sesuatu yang mencurigakan. Para pejabat bisa tersenyum santai, makan siang dengan tenang, tanpa khawatir diikuti kamera tersembunyi. Korupsi? Mungkin akan ada, tapi siapa yang akan tahu? Tanpa pers, semuanya akan tertutup rapi seperti bungkus hadiah, tapi isinya... ya, siapa yang bisa memastikan.

Kalau tidak ada pers, kita juga mungkin tidak akan tahu apa yang terjadi di luar sana. Bisa jadi, Anda baru tahu bahwa ada gempa setelah tetangga sebelah datang panik mengetuk pintu. Atau, lebih seru lagi, Anda bisa tiba-tiba terjebak macet di jalan, bertanya-tanya kenapa bisa padat merayap, sampai akhirnya sadar bahwa ada acara parade besar yang sayangnya, Anda tidak pernah tahu karena, ya, tidak ada yang melaporkannya! Tanpa berita, hidup kita jadi semacam kuis tebakan besar: "Apa yang terjadi hari ini?"S

Selain itu, mari bayangkan dunia tanpa gosip selebriti. Bagaimana kita bisa hidup tanpa tahu siapa pacar terbaru artis A atau pernikahan rahasia artis B di pantai terpencil? Di dunia tanpa pers, para selebriti bisa jalan-jalan santai tanpa paparazzi membuntuti setiap gerak mereka. Tidak ada "OMG!" di depan tabloid, tidak ada perdebatan soal baju siapa yang lebih bagus di karpet merah, dan... tidak ada drama perceraian yang bisa kita ikuti dengan penuh gairah! Kita harus puas dengan drama hidup kita sendiri---dan itu, jujur saja, kadang-kadang tidak cukup menarik untuk dibicarakan.

Namun, lebih dari itu, bayangkan dunia tanpa berita palsu alias hoax! Iya, hoax juga butuh "pers" untuk menyebar dengan cepat. Di dunia tanpa media, mungkin teman Anda tidak akan pernah mengirimkan pesan berantai tentang cara menyembuhkan sakit kepala dengan menempelkan pisang di dahi. Tanpa pers, berita-berita ajaib semacam itu mungkin tidak akan menyebar, atau setidaknya butuh waktu lebih lama untuk menjadi viral. Dunia mungkin jadi lebih sehat, atau... kita hanya akan menciptakan hoax-hoax baru dengan cara lain. Mungkin melalui tetangga yang hobi mengarang cerita?

Satu lagi hal yang menarik: tanpa pers, Anda tidak akan tahu apa yang harus diperdebatkan di media sosial. Coba pikirkan, tanpa berita yang memancing kontroversi, apa yang akan Anda tweet atau kirim di grup WhatsApp keluarga? Mungkin obrolan hanya akan berkisar pada "Apa kabar?" atau, lebih buruk lagi, "Sudah makan belum?" Tanpa informasi hangat, media sosial akan penuh dengan kesunyian digital---atau paling banter, penuh foto kucing. Tidak ada berita berarti tidak ada drama, dan tanpa drama, kita mungkin semua akan jauh lebih baik... tapi juga lebih bosan.

Akhirnya, tanpa pers, demokrasi mungkin masih ada, tapi siapa yang mau repot-repot ikut pemilu kalau tidak ada media yang memberitahu Anda siapa kandidatnya? Kita bisa memilih wakil rakyat berdasarkan... eh, tebakan? Atau mungkin wajah paling ganteng di antara kandidat? Kita mungkin akan terjebak dalam situasi di mana pemilu menjadi seperti acara kencan buta nasional---Anda memilih tanpa benar-benar tahu apa yang Anda dapatkan.

Jadi, seandainya pers tidak pernah ada, dunia mungkin akan lebih tenang. Tapi juga akan jauh lebih sepi, lebih gelap, dan mungkin lebih membosankan. Tidak ada berita heboh, tidak ada gosip seru, tidak ada investigasi yang membongkar keburukan---hanya hening. Tentu, ada manfaatnya: tidak ada hoax dan kita bisa hidup dengan lebih damai. Tapi di sisi lain, mungkin Anda akan rindu sedikit kegaduhan, sedikit informasi yang bikin terkejut, dan sedikit drama yang membuat hidup lebih berwarna.

Dan tanpa pers? Yah, setidaknya kita semua mungkin jadi lebih sering ngobrol dengan tetangga---yang, pada akhirnya, akan menjadi sumber berita non-resmi kita yang baru!

Pers adalah Mulut, Mata dan Telinga Rakyat.

Ungkapan bahwa "pers adalah mulut, mata, dan telinga rakyat" benar adanya dan sangat relevan dalam konteks demokrasi. Pers berfungsi sebagai penyampai suara rakyat (mulut), pengawas kekuasaan (mata), dan pengumpul informasi penting (telinga).

Sebagai "mulut," pers menyuarakan kepentingan masyarakat, membantu menyampaikan aspirasi, kritik, dan opini publik kepada pihak berwenang dan kepada masyarakat luas. Pers juga kerap menjadi wadah bagi kelompok-kelompok yang suaranya mungkin tidak didengar, memberikan mereka platform untuk berbicara.

sebagai "mata," pers mengawasi tindakan pemerintah, korporasi, dan institusi lainnya. Jurnalis melakukan investigasi untuk mengungkap fakta yang mungkin disembunyikan atau tidak diungkapkan secara transparan. Tanpa pers, banyak penyalahgunaan kekuasaan mungkin akan luput dari perhatian publik.

Sebagai "telinga," pers mendengar keluhan dan aspirasi masyarakat, serta mengumpulkan informasi dari berbagai sumber. Pers menyerap informasi dari lapangan, dari orang-orang biasa hingga pejabat, untuk kemudian menyajikannya kepada publik dalam bentuk yang mudah dipahami.

Dalam banyak hal, pers adalah jembatan yang menghubungkan rakyat dengan informasi yang mereka butuhkan untuk membuat keputusan yang tepat, baik dalam hal politik, ekonomi, atau sosial. Inilah mengapa kebebasan pers dianggap penting untuk menjaga demokrasi yang sehat.

Tanpa Pers Dunia Akan Buta, Bisu dan Tuli

Tanpa pers, masyarakat akan kehilangan alat untuk melihat, mendengar, dan berbicara mengenai apa yang terjadi di sekitar mereka, terutama dalam hal yang berkaitan dengan kekuasaan, kebijakan publik, dan hak-hak mereka.

Tanpa pers, kita akan "buta" terhadap apa yang sebenarnya terjadi di dunia. Kita tidak akan mengetahui peristiwa penting, skandal politik, pelanggaran hukum, atau isu-isu sosial yang memengaruhi kehidupan kita sehari-hari. Informasi yang terbatas hanya akan dikendalikan oleh pihak-pihak tertentu yang mungkin punya kepentingan untuk menyembunyikan kebenaran.unia akan "bisu" karena tanpa media, masyarakat tidak memiliki platform untuk menyuarakan pendapat, kritik, atau keluhan mereka. Pers memungkinkan warga biasa untuk berbicara dan terlibat dalam diskusi publik, memberi mereka suara di ruang publik yang lebih luas.

Tanpa pers, kita juga akan "tuli" terhadap suara-suara dari berbagai sudut masyarakat. Isu-isu minoritas, keluhan dari masyarakat bawah, atau suara-suara dari daerah yang jauh sering kali pertama kali diangkat oleh media. Tanpa pers, banyak hal penting mungkin tidak akan pernah sampai ke telinga publik.

Dengan demikian, pers adalah instrumen yang memberi masyarakat penglihatan, pendengaran, dan suara, sehingga tanpa itu, dunia akan kehilangan kemampuan untuk memahami dan merespons realitas yang ada.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun