Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pragmatisme Machiavelli dalam Pelaksanaan Investasi Nasional. Oleh : Rudi Sinaba

2 Oktober 2024   19:56 Diperbarui: 2 Oktober 2024   20:59 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam upaya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, berbagai negara, termasuk Indonesia, sering kali berfokus pada investasi skala besar yang dianggap sebagai kunci untuk mencapai kemajuan dan kemakmuran nasional. Proyek-proyek Strategis Nasional (PSN) seperti pembangunan infrastruktur, tambang, dan kawasan industri sering kali digadang-gadang sebagai solusi untuk mempercepat pembangunan ekonomi. Namun, di balik gencarnya promosi investasi, terdapat fenomena yang kerap terulang: perlawanan dari masyarakat lokal yang merasa hak-hak mereka diabaikan atau dikorbankan.

Proyek-proyek besar ini tidak jarang menghadapi penolakan dari masyarakat yang terancam kehilangan tanah, sumber mata pencaharian, dan ruang hidup mereka. Alih-alih mengakomodasi kekhawatiran masyarakat, pemerintah terkadang merespons dengan tindakan represif demi menjaga "kepentingan nasional". Investasi yang seharusnya membawa manfaat bagi masyarakat luas justru sering kali menciptakan ketegangan antara negara dan warga.

Pragmatisme dalam Kebijakan Investasi

Investasi dalam proyek infrastruktur besar tentu saja memiliki manfaat signifikan bagi pembangunan ekonomi suatu negara. Penambahan fasilitas transportasi, kawasan industri, hingga pembangkit listrik adalah elemen-elemen yang diperlukan untuk memacu pertumbuhan. Di sinilah pragmatisme muncul, di mana pemerintah dan pelaku investasi sering kali memandang proyek-proyek ini sebagai solusi jangka panjang untuk meningkatkan produktivitas nasional dan menarik lebih banyak investor asing.

Namun, pragmatisme ini sering kali mengorbankan masyarakat yang berada di garis depan proyek. Kebijakan relokasi, penggusuran, dan perampasan tanah demi pembangunan kawasan industri, tambang, atau infrastruktur sering kali dilakukan tanpa konsultasi yang memadai dengan warga terdampak. Hak-hak masyarakat lokal sering kali diabaikan dalam perhitungan keuntungan ekonomi jangka panjang, seolah-olah kemajuan nasional lebih penting daripada kesejahteraan warga di sekitar proyek.

Korupsi dalam Proses Investasi

Selain dampak sosial yang signifikan, fenomena lain yang kerap menyertai proyek-proyek investasi di Indonesia adalah praktik korupsi. Sejak proses perencanaan hingga implementasi, korupsi menjadi tantangan yang kerap melemahkan efektivitas serta tujuan dari proyek-proyek ini. Pada tahap awal, misalnya, penyusunan Investor State Investment Negotiations (ISIN) yang seharusnya mengatur investasi dengan transparan, sering kali menjadi lahan bagi para elit untuk memanipulasi proses perizinan dan kesepakatan yang berpihak pada investor asing maupun domestik.

Kasus-kasus suap untuk mendapatkan izin lahan atau kontrak proyek menjadi fenomena yang umum dalam pelaksanaan investasi. Korupsi ini tidak hanya terjadi di tingkat birokrasi, tetapi juga melibatkan pejabat tinggi yang mengarahkan kebijakan demi keuntungan pribadi atau kelompok tertentu. Akibatnya, proses pengambilan keputusan sering kali melupakan kepentingan masyarakat lokal dan malah memperbesar kesenjangan antara kelompok elit dan masyarakat biasa.

Lebih lanjut, ketika proyek-proyek besar dijalankan, dana yang dianggarkan untuk kepentingan pembangunan kerap dikorupsi oleh pihak-pihak tertentu. Tidak sedikit kasus di mana kontrak-kontrak proyek disusun dengan mekanisme yang tidak transparan, dan pejabat serta perusahaan yang terlibat mengurangi kualitas atau volume pengerjaan untuk menggelapkan dana proyek. Fenomena ini jelas terlihat dalam proyek-proyek besar seperti infrastruktur jalan, bandara, maupun kawasan industri, di mana sering ditemukan penyimpangan anggaran.

Negara dan Represi terhadap Warga

Dalam beberapa kasus, ketika warga menolak proyek-proyek investasi yang mereka anggap merugikan, negara tidak ragu menggunakan tindakan represif untuk menekan perlawanan tersebut. Aparat keamanan diterjunkan untuk menjaga ketertiban dan memastikan proyek tetap berjalan, meski harus mengabaikan hak-hak warga yang terancam tergusur. Alasan yang sering dikemukakan adalah bahwa proyek ini membawa kepentingan nasional yang lebih besar dan bahwa pengorbanan sebagian kecil masyarakat harus diterima demi kepentingan yang lebih luas.

Pendekatan semacam ini menunjukkan bahwa negara kerap mempraktikkan bentuk pragmatisme yang dekat dengan pemikiran Machiavellian, di mana kekuasaan dipertahankan dan proyek dijalankan dengan cara apa pun, termasuk melalui kekerasan atau paksaan. Dalam pandangan Niccol Machiavelli, seorang pemimpin yang kuat harus bersedia melakukan tindakan yang mungkin dianggap amoral demi menjaga kekuasaan dan stabilitas negara. Bagi Machiavelli, tindakan represif atau manipulatif sah-sah saja dilakukan jika hasilnya adalah stabilitas politik dan kemajuan negara. Dalam konteks pengamanan investasi di Indonesia, kita dapat melihat bagaimana prinsip-prinsip ini diterapkan, di mana kekuatan negara digunakan untuk mengatasi perlawanan warga demi tujuan yang dianggap lebih besar, yakni pembangunan ekonomi.

Dilema Etis dalam Pembangunan

Tindakan represif terhadap masyarakat yang menolak proyek investasi besar menunjukkan bahwa pembangunan di Indonesia masih sarat dengan dilema etis. Di satu sisi, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan menyediakan infrastruktur yang mendukung pembangunan jangka panjang. Di sisi lain, pendekatan yang hanya berfokus pada aspek pragmatis tanpa mempertimbangkan kesejahteraan masyarakat lokal berisiko menciptakan ketidakadilan.

Keberhasilan suatu proyek tidak hanya dapat diukur dari jumlah investasi atau pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan, tetapi juga dari bagaimana proyek tersebut memengaruhi kehidupan warga lokal. Pengabaian terhadap kesejahteraan masyarakat sering kali menciptakan konflik sosial, meningkatkan ketidakpuasan, dan memperdalam ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

Dalam situasi di mana proyek investasi besar berhadapan dengan penolakan dari warga, negara seharusnya mampu menemukan keseimbangan antara mendorong pembangunan dan menghormati hak-hak rakyat. Tindakan represif mungkin memberikan solusi cepat dalam menghadapi perlawanan, tetapi solusi jangka panjang membutuhkan pendekatan yang lebih inklusif dan adil.

Menuju Pembangunan yang Berkelanjutan dan Adil

Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan harus mengedepankan prinsip-prinsip keadilan sosial. Proses pembangunan harus melibatkan masyarakat lokal secara aktif dalam pengambilan keputusan dan perencanaan proyek. Dialog terbuka antara pemerintah, investor, dan warga terdampak adalah langkah penting untuk menghindari konflik dan memastikan bahwa manfaat dari proyek benar-benar dirasakan oleh semua pihak.

Pemerintah juga harus mengevaluasi kembali pendekatan yang terlalu pragmatis dan mempertimbangkan dampak sosial dan lingkungan dari setiap proyek. Kebijakan yang berfokus pada keuntungan jangka panjang negara tanpa memperhatikan kesejahteraan masyarakat justru bisa merugikan dalam jangka panjang. Ketika rakyat merasa dipinggirkan atau dilemahkan, kestabilan sosial yang diinginkan negara bisa terancam.

Penutup

Pragmatisme dalam kebijakan investasi tentu diperlukan untuk memajukan negara, tetapi pengorbanan rakyat tidak boleh menjadi harga yang harus dibayar. Negara harus menjadi pelindung hak-hak masyarakatnya, bukan penindas yang melanggengkan kekuasaan atas nama pembangunan. Sebuah negara yang kuat bukanlah negara yang menekan rakyatnya, melainkan yang mampu merangkul rakyat dalam setiap proses pembangunan. Pengembangan infrastruktur dan investasi besar harus disertai dengan pendekatan yang adil, transparan, dan menghormati hak-hak semua pihak yang terlibat.

Prinsip Machiavellian yang diterapkan dalam pengamanan investasi di Indonesia menunjukkan sisi gelap dari pragmatisme politik, di mana negara menggunakan segala cara, termasuk represi, untuk mencapai tujuan ekonominya. Fenomena korupsi yang sering menyertai proyek-proyek ini, dari penyusunan peraturan hingga pelaksanaannya, semakin menambah kompleksitas masalah. Dalam jangka panjang, negara yang sukses bukanlah yang mengandalkan kekerasan atau korupsi, melainkan yang mampu menciptakan harmoni antara pembangunan dan kesejahteraan rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun