sektor pertambangan yang sangat eksploitatif  selama beberapa dekade terakhir justru memperlihatkan dampak negatif yang serius, baik dari sisi lingkungan, sosial, maupun ekonomi.Â
Indonesia, dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, seharusnya mampu mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyatnya. Namun, fokus pembangunan yang lebih condong padaKerusakan alam yang parah, konflik sosial yang meningkat, serta kesenjangan ekonomi yang semakin lebar menimbulkan pertanyaan besar: apakah pertambangan benar-benar membawa kesejahteraan bagi rakyat? Data menunjukkan bahwa jawabannya sering kali tidak. Sebaliknya, kembali mengutamakan sektor pertanian dapat menjadi solusi strategis untuk masa depan Indonesia yang lebih berkelanjutan.
Pertambangan dan Masalah yang Ditinggalkannya
Eksploitasi besar-besaran sumber daya alam, terutama tambang mineral, batubara, dan migas, tidak jarang mengorbankan keberlanjutan lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal. Berikut adalah beberapa dampak negatif dari dominasi sektor pertambangan:
1. Sumber Daya Alam Habis tanpa Kesejahteraan yang Merata :
Menurut kajian BPS pada 2020, sektor pertambangan hanya menyumbang sekitar 6-7% dari PDB, namun kontribusi ini tidak sebanding dengan dampak jangka panjangnya. SDA yang terkuras cepat tanpa adanya investasi dalam pengembangan industri hilir atau alternatif lainnya menyebabkan Indonesia berisiko kehilangan potensi ekonomi setelah sumber daya habis. Sementara itu, keuntungan besar justru lebih banyak dinikmati oleh segelintir pemilik modal dan perusahaan asing, dengan distribusi kekayaan yang tidak merata.
2. Kerusakan Lingkungan yang Tidak Terpulihkan :
Data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2019 menunjukkan bahwa sekitar 1,6 juta hektar lahan di Indonesia telah mengalami degradasi berat akibat kegiatan pertambangan. Dampak kerusakan lingkungan ini bukan hanya merusak keanekaragaman hayati, tetapi juga menghancurkan ekosistem yang penting bagi keberlanjutan pertanian dan kehidupan masyarakat lokal. Selain itu, bencana ekologis seperti banjir dan longsor sering kali terjadi di area bekas tambang yang tidak direklamasi dengan baik.
3. Konflik Sosial dan Agraria :
 Ketimpangan kepemilikan tanah dan hak guna usaha tambang menjadi pemicu utama konflik agraria di Indonesia. Menurut data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), selama 2020 terdapat 241 kasus konflik agraria yang melibatkan perusahaan tambang dan masyarakat adat atau petani. Konflik ini sering kali mengorbankan masyarakat lokal yang kehilangan lahan pertanian dan mata pencaharian, tanpa ada kompensasi yang layak.
Apa Kata Ahli : Pertambangan Tidak Berkelanjutan