Mohon tunggu...
Rudi Sinaba
Rudi Sinaba Mohon Tunggu... Pengacara - Advokat - Jurnalis

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mengenal Somasi Sebagai Suatu Upaya Hukum Perdata Oleh: Rudi Sinaba

21 September 2024   11:40 Diperbarui: 21 September 2024   20:09 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pendahuluan

Somasi adalah teguran atau peringatan tertulis yang diajukan oleh satu pihak kepada pihak lain yang dianggap telah melakukan pelanggaran kewajiban hukum, baik berdasarkan kontrak, undang-undang, atau tindakan lain yang merugikan (perbuatan melawan hukum). 

Somasi biasanya diajukan sebelum langkah hukum formal, seperti pengajuan gugatan di pengadilan, sebagai upaya untuk menyelesaikan perselisihan secara damai.

Somasi memberikan kesempatan kepada pihak yang dianggap melakukan pelanggaran untuk memenuhi kewajibannya atau memperbaiki kesalahan sebelum perkara berlanjut ke proses litigasi.

Dasar Hukum Somasi 

Dalam hukum perdata Indonesia secara eksplisit tidak diatur dalam satu pasal khusus yang menyebutkan kata "somasi." Namun, konsep somasi berkaitan erat dengan wanprestasi (ingkar janji) dan upaya untuk memberikan peringatan kepada pihak yang tidak memenuhi kewajibannya. Dasar hukum yang relevan dengan somasi dapat ditemukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), mengenai Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 dan 2366, dan khususnya yang terkait dengan wanprestasi dan kewajiban untuk memberikan peringatan sebelum melakukan tindakan hukum lebih lanjut.

Berikut adalah beberapa ketentuan hukum yang menjadi dasar somasi dalam hal wanprestasi.

1. Pasal 1238 KUHPerdata

Pasal ini mengatur tentang wanprestasi dan kebutuhan untuk memberikan peringatan atau teguran kepada pihak yang tidak memenuhi kewajibannya:

"Si berutang adalah lalai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau untuk hal itu dinyatakan lalai dengan akta perjanjian, atau apabila hal itu ditetapkan oleh undang-undang."

Berdasarkan pasal ini, seseorang dianggap lalai atau melakukan wanprestasi ketika:

Telah diberikan peringatan tertulis (seperti somasi), atau  Lalai karena tidak memenuhi kewajiban sesuai dengan yang ditetapkan dalam perjanjian atau undang-undang.

Artinya, somasi (surat peringatan tertulis) berfungsi sebagai peringatan resmi sebelum dianggap adanya kelalaian (wanprestasi). Ini memberi dasar hukum bahwa sebelum melanjutkan ke pengadilan, pihak yang merasa dirugikan harus memberikan peringatan terlebih dahulu kepada pihak yang dianggap melanggar kewajiban.

2. Pasal 1243 KUHPerdata

Pasal ini mengatur tentang ganti rugi yang dapat diajukan jika seseorang lalai memenuhi kewajibannya setelah diberikan peringatan:

"Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan, mulai diwajibkan, apabila si berutang, sesudah dinyatakan lalai memenuhi perikatannya, tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuat hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaui."

Pasal ini menyebutkan bahwa setelah peringatan (somasi) diberikan, dan pihak yang bersangkutan masih tetap lalai, pihak yang dirugikan dapat menuntut ganti rugi, termasuk biaya, kerugian, dan bunga yang timbul akibat kelalaian tersebut.

3. Pasal 1267 KUHPerdata

Pasal ini memberikan pilihan kepada kreditur (pihak yang dirugikan) untuk menuntut pemenuhan kewajiban, pembatalan perjanjian, atau ganti rugi jika debitur lalai:

"Pihak yang satu dapat menuntut pihak yang lain untuk memenuhi perjanjian, bila ada alasan untuk itu, disertai dengan penggantian biaya, kerugian, dan bunga; atau pembatalan perjanjian, disertai dengan penggantian biaya, kerugian, dan bunga."

Pasal ini memberi hak kepada kreditur untuk meminta salah satu dari tiga hal: pemenuhan kewajiban, pembatalan perjanjian, atau ganti rugi, jika debitur tetap lalai setelah diberi peringatan.

4. Pasal 1246 KUHPerdata.

Pasal ini mengatur mengenai bentuk ganti rugi yang dapat dituntut oleh pihak yang dirugikan, termasuk biaya, kerugian, dan bunga akibat kelalaian debitur.

Somasi dalam konteks ini digunakan sebagai alat formal untuk memberitahukan adanya kelalaian, memberikan kesempatan kepada pihak yang lalai untuk memperbaiki kesalahan atau memenuhi kewajibannya, dan sekaligus sebagai syarat sebelum mengajukan tuntutan ganti rugi atau tindakan hukum lebih lanjut.

Yurisprudensi dan Praktik Hukum tentang Somasi

Selain ketentuan dalam KUHPerdata yurisprudensi atau putusan Mahkamah Agung juga dapat dirujuk sebagai sumber hukum, berikut adalah beberapa contoh yurisprudensi atau putusan Mahkamah Agung (MA) yang relevan dengan somasi dalam konteks wanprestasi dan kewajiban peringatan sebelum proses hukum formal:

1. Putusan Mahkamah Agung No. 2959 K/Pdt/1983

Pertimbangan hukum:

"Bahwa debitur harus terlebih dahulu dinyatakan lalai melalui peringatan atau somasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 1238 KUHPerdata. Tanpa adanya somasi, debitur tidak dapat dinyatakan wanprestasi dan gugatan harus ditolak."

2. Putusan Mahkamah Agung No. 3093 K/Pdt/2009

Pertimbangan hukum:

"Penggugat tidak pernah memberikan somasi atau peringatan kepada tergugat sebelum mengajukan gugatan, sehingga gugatan wanprestasi tidak memenuhi syarat hukum dan harus ditolak."

3. Putusan Mahkamah Agung No. 372 K/Pdt/1991

Pertimbangan hukum:

"Somasi adalah peringatan tertulis yang wajib diberikan kepada debitur sebagai bentuk pemberitahuan akan kelalaian. Penggugat tidak dapat langsung mengajukan gugatan tanpa terlebih dahulu memberikan kesempatan kepada debitur untuk menyelesaikan kewajibannya melalui somasi."

4. Putusan Mahkamah Agung No. 1871 K/Pdt/2001

Pertimbangan hukum:

"Kreditur harus memberikan somasi kepada debitur, sesuai dengan ketentuan Pasal 1238 KUHPerdata. Jika somasi telah dilakukan dan debitur tetap tidak memenuhi kewajibannya, kreditur berhak mengajukan gugatan wanprestasi di pengadilan."

5. Putusan Mahkamah Agung No. 2078 K/Pdt/2015

Pertimbangan hukum:

"Somasi bertujuan untuk memberi kesempatan kepada pihak yang berhutang (debitur) untuk menyelesaikan kewajiban tanpa perlu membawa kasus ke pengadilan. Jika somasi telah diberikan namun tidak direspon, maka pihak yang merasa dirugikan berhak untuk membawa perkara ke pengadilan."

Hal-Hal yang Harus Dimuat dalam Somasi:

Agar somasi efektif dan sah secara hukum, ada beberapa elemen penting yang harus dimuat di dalamnya, yaitu:

1. Identitas Pihak yang Mengajukan Somasi:

Nama lengkap atau identitas hukum pihak yang mengajukan somasi.

Alamat dan informasi kontak dari pihak yang mengajukan.

2. Identitas Pihak yang Dituju:

Nama lengkap atau identitas hukum pihak yang menerima somasi.

Alamat atau lokasi pihak yang disomasi.

3. Dasar Hukum atau Fakta yang Mendukung Somasi:

Penjelasan mengenai kewajiban yang belum dipenuhi atau tindakan yang dianggap melanggar hukum, baik berdasarkan kontrak, peraturan, atau hukum lainnya.

Fakta-fakta yang relevan terkait masalah yang sedang dihadapi, seperti tanggal terjadinya pelanggaran, kronologi kejadian, dan bukti pendukung.

4. Klaim atau Tuntutan:

Permintaan yang jelas kepada pihak yang disomasi, misalnya pembayaran utang, pelaksanaan kewajiban kontraktual, ganti rugi, atau penghentian tindakan yang dianggap melanggar hukum.

Jumlah kompensasi (jika ada) atau tindakan konkret yang diharapkan dari pihak penerima somasi.

5. Batas Waktu untuk Menanggapi:

Tenggat waktu yang diberikan kepada pihak yang disomasi untuk memenuhi permintaan atau memperbaiki kesalahan. Tenggat waktu ini biasanya berkisar antara 7 hingga 14 hari, tetapi bisa lebih panjang tergantung pada sifat kasus.

6. Peringatan tentang Konsekuensi Hukum:

Peringatan bahwa jika pihak penerima somasi tidak menanggapi atau memenuhi tuntutan dalam jangka waktu yang ditentukan, pihak yang mengajukan somasi akan mengambil langkah hukum lebih lanjut, seperti mengajukan gugatan di pengadilan.

7. Penandatangan:

Somasi harus ditandatangani oleh pihak yang mengajukan somasi atau kuasa hukum yang mewakili pihak tersebut.

Contoh Isi Somasi:

1. Identitas Pengirim: "Kami, PT XYZ, yang beralamat di Jalan Merdeka No. 123, Jakarta, bertindak melalui kuasa hukum kami, Advokat A dari Kantor Hukum ABC."

2. Identitas Penerima: "Kepada: PT ABC yang beralamat di Jalan Jenderal Sudirman No. 456, Jakarta."

3. Dasar Hukum dan Fakta: "Berdasarkan Perjanjian Jual Beli Barang No. 01/2023 tertanggal 1 Januari 2023, PT ABC telah gagal melakukan pembayaran atas pengiriman barang senilai Rp500.000.000, yang jatuh tempo pada tanggal 1 Juli 2023. Sampai dengan somasi ini dikeluarkan, pembayaran tersebut belum kami terima."

4. Klaim atau Tuntutan: "Kami meminta agar PT ABC segera melakukan pembayaran sebesar Rp500.000.000 dalam waktu 14 hari kalender terhitung sejak tanggal diterimanya surat somasi ini."

5. Tenggat Waktu: "Jika dalam 14 hari kalender sejak surat somasi ini diterima, PT ABC tidak melakukan pembayaran, kami akan mengambil langkah hukum lebih lanjut melalui pengadilan."

6. Penandatangan: "Hormat kami, Advokat A Kuasa Hukum PT XYZ."

Dengan mencantumkan elemen-elemen di atas, somasi akan memiliki kekuatan hukum yang lebih kuat dan memungkinkan penyelesaian sengketa dengan lebih baik.

Demikian sekilas pembahasan tentang somasi semoga bermanfaat bagi pembaca yang budiman. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun