Mohon tunggu...
RUDI SINABA
RUDI SINABA Mohon Tunggu... Pengacara - Penulis freelance artikel hukum pada Legal-is-MyLife.blogspot.com

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Pendidikan S2 Hukum

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Kita Sudah Tak Punya Generasi Baru Agraris dan Maritim. Oleh : Rudi Sinaba

18 September 2024   00:54 Diperbarui: 18 September 2024   01:36 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris dan maritim, kini menghadapi tantangan serius dalam regenerasi petani dan nelayan. Profesi yang dahulu menjadi andalan banyak keluarga dan penyokong ekonomi desa kini semakin ditinggalkan oleh generasi muda. Tani dan nelayan dianggap tidak lagi menjanjikan secara finansial dan sosial. Obsesi menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), pengaruh teknologi informasi digital, stigma negatif terhadap pekerjaan petani dan nelayan, serta kegagalan pemerintah dan sistem pendidikan dalam mempersiapkan generasi agraris menjadi penyebab utama masalah ini. Situasi ini menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan dan ekonomi pedesaan di masa depan.

1. Obsesi Menjadi ASN: Karir Stabil yang Lebih Menarik.

Dalam beberapa dekade terakhir, profesi ASN menjadi tujuan utama bagi banyak generasi muda. Data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan bahwa dalam seleksi penerimaan ASN 2022, terdapat lebih dari 4,5 juta pelamar yang memperebutkan 300 ribu posisi. Data SSCASN tahun 2023 mencatat pelamar hampir 5 juta,  tahun 2024  sebanyak 4,8 pelamar. Hal ini menunjukkan betapa besar minat generasi muda untuk bekerja di sektor pemerintahan, meskipun peluangnya sangat terbatas. Keamanan finansial, jaminan pensiun, dan status sosial yang dianggap tinggi menjadi daya tarik utama.

Sebaliknya, bekerja sebagai petani dan nelayan tidak menawarkan kepastian yang sama. Profesi ini sering kali bergantung pada kondisi alam dan harga pasar yang fluktuatif. Hal ini menyebabkan banyak generasi muda, terutama di pedesaan dan pesisir, lebih memilih meninggalkan profesi orang tua mereka untuk mengejar karir di sektor formal, khususnya sebagai ASN. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah petani di Indonesia menurun dari 33,4 juta pada tahun 2003 menjadi 27,7 juta pada 2021, sementara rata-rata usia petani semakin tua, yaitu sekitar 47-50 tahun.

2. Pengaruh Teknologi Informasi Digital: Aspirasi Karir yang Lebih Modern

Kemajuan teknologi informasi digital telah mengubah cara pandang generasi muda terhadap pekerjaan. Dengan kemudahan akses internet, generasi muda kini terpapar pada profesi-profesi di sektor digital dan industri kreatif yang tampak lebih modern dan bergengsi. Teknologi juga membuka peluang pekerjaan baru seperti digital marketing, pengembang aplikasi, dan konten kreator, yang memberikan kebebasan lebih dan potensi penghasilan yang lebih cepat dibandingkan dengan menjadi petani atau nelayan.

Fenomena ini diperkuat oleh persepsi bahwa bekerja di sektor agraris atau perikanan dianggap kuno dan tidak sejalan dengan perkembangan teknologi. Data dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menunjukkan bahwa hanya sekitar 2% lulusan sekolah menengah yang berminat untuk melanjutkan pendidikan di bidang pertanian, padahal sektor ini memiliki peran besar dalam perekonomian nasional.

Pendapat ini dikuatkan oleh Dr. Bustanul Arifin, seorang ahli pertanian dari Universitas Lampung, yang mengatakan bahwa "teknologi informasi dan digitalisasi telah mengubah pola pikir generasi muda untuk lebih memilih profesi yang berorientasi pada teknologi dan perkotaan, sementara sektor agraris dan perikanan dipandang kurang modern dan tidak menjanjikan."

3. Stigma Negatif terhadap Profesi Petani dan Nelayan: Masalah Gengsi dan Persepsi Sosial

Profesi petani dan nelayan di Indonesia sering kali dipandang sebagai pekerjaan yang kurang bergengsi. Stigma negatif ini menyebabkan profesi tersebut kurang diminati, terutama oleh generasi muda.

Menurut survei Kementerian Pertanian, 76% anak muda di pedesaan lebih memilih bekerja di sektor formal atau industri perkotaan daripada melanjutkan usaha pertanian keluarga mereka. Profesi petani dan nelayan sering diidentikkan dengan kerja fisik yang berat, pendapatan rendah, dan ketidakpastian.

Selain itu, media dan sistem sosial juga cenderung memberikan penghargaan yang lebih besar kepada profesi di sektor industri dan teknologi, yang terlihat lebih "modern" dan menawarkan gaya hidup yang lebih nyaman. Pandangan ini mendorong generasi muda menjauh dari pekerjaan di bidang agraris dan maritim.

4. Kegagalan Pemerintah dalam Menyiapkan Generasi Agraris dan Maritim

Pemerintah Indonesia telah meluncurkan berbagai program untuk mendukung sektor pertanian dan perikanan, namun implementasinya sering kali tidak efektif. Kebijakan untuk menarik minat generasi muda ke sektor ini cenderung bersifat top-down dan kurang melibatkan anak muda dalam perencanaan maupun pelaksanaan program. Banyak program bantuan bagi petani dan nelayan muda, seperti Kartu Tani atau program Kredit Usaha Rakyat (KUR), yang sulit diakses karena prosedur yang rumit dan kurangnya informasi di tingkat akar rumput.

Banyak ahli pertanian, seperti Prof. Arif Satria, Rektor Institut Pertanian Bogor (IPB), berpendapat bahwa "pemerintah perlu melakukan pendekatan yang lebih inovatif dan melibatkan generasi muda dalam pengembangan sektor pertanian dan perikanan. Tanpa partisipasi aktif dari mereka, regenerasi di sektor ini akan sulit tercapai."

5. Sistem Pendidikan yang Tidak Pro-Pertanian dan Perikanan

Sistem pendidikan di Indonesia juga belum mendukung regenerasi petani dan nelayan. Kurikulum pendidikan lebih menekankan pada profesi di sektor formal dan industri perkotaan, sementara pendidikan agraris dan maritim kurang diperhatikan. Sekolah-sekolah pertanian dan perikanan mengalami penurunan jumlah siswa, dan kurikulum yang diajarkan sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan industri modern.

Data dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menunjukkan bahwa dari 13.000 SMK di Indonesia, hanya sekitar 800 yang memiliki program keahlian di bidang pertanian dan perikanan. Hal ini menunjukkan betapa rendahnya minat dan perhatian terhadap sektor agraris dan maritim di dunia pendidikan.

Ahli pendidikan, Dr. Siti Zuhro, berpendapat bahwa "sistem pendidikan kita masih sangat berorientasi pada sektor formal dan perkotaan. Untuk menarik minat generasi muda ke pertanian dan perikanan, kita perlu memperkenalkan inovasi teknologi dan kewirausahaan di sektor ini sejak dini di dunia pendidikan."

Kesimpulan

Hilangnya generasi baru tani dan nelayan di Indonesia adalah masalah kompleks yang melibatkan berbagai faktor sosial, ekonomi, dan budaya. Obsesi menjadi ASN, pengaruh teknologi digital, stigma sosial terhadap profesi petani dan nelayan, kegagalan pemerintah dalam menyiapkan program regenerasi, serta sistem pendidikan yang tidak pro-pertanian menjadi penyebab utama krisis ini. Jika masalah ini tidak segera diatasi, ketahanan pangan dan sektor maritim Indonesia akan terancam serius.

Untuk mengatasinya, pemerintah perlu membuat kebijakan yang lebih inklusif dan partisipatif dalam menarik minat generasi muda ke sektor agraris dan maritim, serta mereformasi sistem pendidikan agar lebih pro-terhadap profesi petani dan nelayan. Inovasi teknologi, akses pasar yang lebih baik, dan dukungan finansial yang mudah diakses menjadi kunci untuk mengembalikan minat generasi muda ke sektor pertanian dan perikanan yang sangat penting bagi masa depan Indonesia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun