generasi muda. Tani dan nelayan dianggap tidak lagi menjanjikan secara finansial dan sosial. Obsesi menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), pengaruh teknologi informasi digital, stigma negatif terhadap pekerjaan petani dan nelayan, serta kegagalan pemerintah dan sistem pendidikan dalam mempersiapkan generasi agraris menjadi penyebab utama masalah ini. Situasi ini menjadi ancaman serius bagi ketahanan pangan dan ekonomi pedesaan di masa depan.
Indonesia, yang dikenal sebagai negara agraris dan maritim, kini menghadapi tantangan serius dalam regenerasi petani dan nelayan. Profesi yang dahulu menjadi andalan banyak keluarga dan penyokong ekonomi desa kini semakin ditinggalkan oleh1. Obsesi Menjadi ASN: Karir Stabil yang Lebih Menarik.
Dalam beberapa dekade terakhir, profesi ASN menjadi tujuan utama bagi banyak generasi muda. Data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan bahwa dalam seleksi penerimaan ASN 2022, terdapat lebih dari 4,5 juta pelamar yang memperebutkan 300 ribu posisi. Data SSCASN tahun 2023 mencatat pelamar hampir 5 juta, Â tahun 2024 Â sebanyak 4,8 pelamar. Hal ini menunjukkan betapa besar minat generasi muda untuk bekerja di sektor pemerintahan, meskipun peluangnya sangat terbatas. Keamanan finansial, jaminan pensiun, dan status sosial yang dianggap tinggi menjadi daya tarik utama.
Sebaliknya, bekerja sebagai petani dan nelayan tidak menawarkan kepastian yang sama. Profesi ini sering kali bergantung pada kondisi alam dan harga pasar yang fluktuatif. Hal ini menyebabkan banyak generasi muda, terutama di pedesaan dan pesisir, lebih memilih meninggalkan profesi orang tua mereka untuk mengejar karir di sektor formal, khususnya sebagai ASN. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah petani di Indonesia menurun dari 33,4 juta pada tahun 2003 menjadi 27,7 juta pada 2021, sementara rata-rata usia petani semakin tua, yaitu sekitar 47-50 tahun.
2. Pengaruh Teknologi Informasi Digital: Aspirasi Karir yang Lebih Modern
Kemajuan teknologi informasi digital telah mengubah cara pandang generasi muda terhadap pekerjaan. Dengan kemudahan akses internet, generasi muda kini terpapar pada profesi-profesi di sektor digital dan industri kreatif yang tampak lebih modern dan bergengsi. Teknologi juga membuka peluang pekerjaan baru seperti digital marketing, pengembang aplikasi, dan konten kreator, yang memberikan kebebasan lebih dan potensi penghasilan yang lebih cepat dibandingkan dengan menjadi petani atau nelayan.
Fenomena ini diperkuat oleh persepsi bahwa bekerja di sektor agraris atau perikanan dianggap kuno dan tidak sejalan dengan perkembangan teknologi. Data dari Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menunjukkan bahwa hanya sekitar 2% lulusan sekolah menengah yang berminat untuk melanjutkan pendidikan di bidang pertanian, padahal sektor ini memiliki peran besar dalam perekonomian nasional.
Pendapat ini dikuatkan oleh Dr. Bustanul Arifin, seorang ahli pertanian dari Universitas Lampung, yang mengatakan bahwa "teknologi informasi dan digitalisasi telah mengubah pola pikir generasi muda untuk lebih memilih profesi yang berorientasi pada teknologi dan perkotaan, sementara sektor agraris dan perikanan dipandang kurang modern dan tidak menjanjikan."
3. Stigma Negatif terhadap Profesi Petani dan Nelayan: Masalah Gengsi dan Persepsi Sosial
Profesi petani dan nelayan di Indonesia sering kali dipandang sebagai pekerjaan yang kurang bergengsi. Stigma negatif ini menyebabkan profesi tersebut kurang diminati, terutama oleh generasi muda.
Menurut survei Kementerian Pertanian, 76% anak muda di pedesaan lebih memilih bekerja di sektor formal atau industri perkotaan daripada melanjutkan usaha pertanian keluarga mereka. Profesi petani dan nelayan sering diidentikkan dengan kerja fisik yang berat, pendapatan rendah, dan ketidakpastian.