Menurut Jeffrey A. Winters dalam bukunya Oligarchy, Indonesia dikuasai oleh oligarki yang menggunakan kolusi untuk mempertahankan kekayaan dan kekuasaan mereka. Oligarki ini mendominasi politik dan ekonomi, membuat negara dan kebijakannya bekerja untuk kepentingan kelompok kecil elit, bukan untuk rakyat banyak. Fenomena ini dapat dilihat dalam kasus-kasus korupsi besar yang melibatkan perusahaan tambang, kehutanan, dan infrastruktur, di mana izin-izin dikeluarkan untuk keuntungan pribadi pejabat dan pengusaha, sementara dampak lingkungan dan sosial dibiarkan.
4. Nepotisme: Kekuasaan yang Dikendalikan Keluarga
Nepotisme merupakan salah satu bentuk KKN yang paling merusak, di mana kekuasaan dan jabatan publik diberikan kepada anggota keluarga atau kerabat dekat, bukan berdasarkan kemampuan atau kompetensi. Max Weber, seorang sosiolog, menekankan bahwa meritokrasi adalah fondasi penting dari birokrasi modern yang sehat. Namun di Indonesia, meritokrasi sering kali dikalahkan oleh nepotisme, yang melemahkan profesionalisme dan integritas dalam pelayanan publik.
Contoh jelas dari praktik nepotisme adalah di tingkat politik, di mana anggota keluarga dari pejabat tinggi sering diangkat menjadi calon dalam pemilihan lokal atau nasional, seperti yang terlihat dalam kasus-kasus dinasti politik di beberapa daerah di Indonesia. Hal ini menghambat proses demokratisasi dan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah, karena publik melihat bahwa posisi kekuasaan didistribusikan berdasarkan hubungan darah, bukan kapabilitas.
5. Kritik Terhadap Penanganan KKN di Indonesia
Penanganan KKN di Indonesia seringkali mendapat kritik keras, terutama karena lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku korupsi kelas atas. Lembaga Pemantau Korupsi dan berbagai organisasi masyarakat sipil sering mengkritik bahwa penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi besar sering kali ditangani dengan lamban, bahkan melibatkan hukuman yang tidak sebanding dengan besarnya kerugian negara yang ditimbulkan.
Contoh yang paling mencolok adalah kasus revisi UU KPK pada tahun 2019, yang memperlemah kewenangan lembaga tersebut dalam menangani kasus-kasus korupsi. Banyak pihak melihat langkah ini sebagai kemunduran besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Para kritikus menganggap bahwa perubahan ini justru dirancang untuk melindungi kepentingan elit yang selama ini berada di bawah ancaman penindakan oleh KPK.
Selain itu, dalam banyak kasus, pejabat yang terbukti korupsi tetap mendapatkan pengaruh politik atau bahkan kembali terpilih dalam jabatan publik. Hal ini mengindikasikan lemahnya sistem penegakan hukum dan adanya kebiasaan "impunity" atau kekebalan terhadap hukuman, terutama di kalangan elit politik.
6. Fakta dan Data KKN di Indonesia
Korupsi, kolusi, dan nepotisme telah mengakar dalam sistem birokrasi dan politik Indonesia, dan berbagai fakta berikut mencerminkan seberapa besar dampaknya terhadap negara dan rakyat:
Laporan KPK menunjukkan bahwa sejak tahun 2004 hingga 2023, telah terjadi lebih dari 1.200 kasus korupsi yang melibatkan pejabat tinggi, anggota legislatif, dan kepala daerah.