Proses hukum yang semata-mata  hanya bertujuan memenuhi prosedure-formal  serta kurang pekanya para  penegak hukum  ( Penyidik, Jaksa, Hakim dan Penasihat hukum) untuk mencari kebenaran materil dan keadilan  dalam proses  pidana telah menjadi salah satu pintu masuk ke peradilan sesat.  Peradilan pidana adalah proses yang bersentuhan dengan hak asasi manusia karena  akan menentukan  jalan hidup  bahkan hidup-matinya seseorang (terdakwa / tersangka). Â
Pembuktian perkara pidana bertujuan  untuk  mencari kebenaran materil (kebenaran sejati)  atas suatu perkara  melalui pembuktian  3 hal  yaitu  :
Benarkah  perkara pidana yang disangkakan/ didakwakan memang terjadi ?
Benarkah  tersangka / terdakwa  adalah pelakunya ?
Apakah ada kesalahan (mens-rea) pada diri  tersangka / terdakwa  ketika melakukan  tindak pidana yang  dilakukannya ?
Pembuktian ketiga hal di atas haruslah didasarkan pada "due process of law" atau  proses  hukum yang adil.  Tidak boleh ada keragu-raguan  dalam pembuktian perkara pidana (beyond reasonable doubt), oleh karenanya pengakuan tersangka/terdakwa harus diperiksa secara teliti  dan seksama  terlebih  jika ditemukan adanya keraguan akan kebenaran pengakuan tersebut, misalnya pengakuan tersebut bertentangan dengan alat bukti lain,  alat bukti lain tidak mendukung pengakuan tersangka/terdakwa,  tersangka/terdakwa  atau  saksi  mencabut keterangannya.
Jika  ketiga hal di atas telah terbukti melalui proses hukum yang adil barulah seseorang dapat dijatuhi hukuman. Sebaliknya,  jika  terdapat  sedikit saja  keraguan dalam pembuktian  tentang adanya tindak pidana, perbuatan dan kesalahan terdakwa, maka hakim harus memutus  bebas atau lepas setidaknya  memberi putusan yang menguntungkan (lebih ringan) kepada terdakwa.
Mengapa peradilan sesat sangat melukai rasa keadilan ?
Memulihkan  keadaan  korban peradilan sesat  pada keadaan semula  sebelum menjalani  hukuman  adalah hal yang tidak mungkin untuk dilakukan.  Penderitaan  jasmani dan rohani  selama ditahan dan dipenjara  yang dialami  oleh Sengkon dan Karta, Risman dan Rostin serta masih banyak lagi korban peradilan sesat  lainnya  tidak mungkin untuk dipulihkan dengan cara apapun.  Kompensasi  yang layak  dari negara  juga tidak ada untuk warga negara  korban salah tangkap dan salah hukum. Â
Jika ada korban peradilan sesat  yang telah  dieksekusi hukuman mati  apakah dapat dihidupkan kembali ?.  Itulah sebabnya  kita dapat memahami mengapa dunia hukum pidana menjunjung tinggi  pepatah hukum yang berbunyi  "lebih baik membabaskan 1000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah".
Adakah Peradilan Sesat dalam Kasus Pembunuhan  dan Pemerkosaan  Vina dan Eky ?
Di tahun 2024 ini  dunia hukum kita kembali gempar dengan kasus pembunuhan Vina dan Eky yang terjadi pada tahun 2016 yang dilakukan oleh 11 orang  dimana 8 pelakunya telah dipidana sedang 3 orang dinyatakan sebagai DPO.  Film layar lebar yang mengisahkan pembunuhan Vina dan Eky  telah menimbulkan  reaksi publik  atas proses hukum yang tidak tuntas  karena adanya  3 orang DPO yang belum dihukum  dan dugaan adanya  kesalahan proses dalam penyelidikan dan penyidikan. Â
Menyikapi  reaksi publik tersebut  Polda Jabar kemudian melakukan penangkapan  dan penahanan terhadap Pegi Setiawan alias Pegong  salah satu  tersangka yang menjadi DPO  namun Pegi  bersikukuh tidak terlibat dalam pembunuhan Vina dan Eky  karena  dia beralibi  sedang bekerja di Bandung ketika peristiwa  tersebut terjadi dengan memperlihatkan  bukti postingan-postingan di akun face-booknya.  HP  milik Pegi kemudian disita oleh penyidik Polda Jawa Barat  yang berujung hilangnya  bukti  postingan tersebut.  Pegi dan kuasa hukumnya kemudian melaporkan Penyidik Polda Jawa Barat ke Propam Polri karena telah menghilangkan bukti-bukti yang sangat berarti bagi Pegi  karena dia terancam hukuman mati atau pidana seumur hidup.
Kasus ini jadi menarik karena Polda Jawa Barat menyatakan 2 orang DPO lainnya yaitu Dani dan Andi adalah  tersangka fiktif. Praktisi hukum di tanah air pun  angkat bicara, Ketua Peradi  Otto Hasibuan menyatakan kalau  ada 2 orang  DPO  dinyatakan fiktif maka ada kejanggalan dalam penyelidikan dan penyidikan kasus ini hal mana dapat menjadi alasan  Peninjauan Kembali (PK) oleh para terpidana, sementara itu Hotman Paris Hutapea  mempertanyakan  mengapa  Dani dan Andi dinyatakan fiktif padahal  peran Dani dan Andi sangat jelas terurai dalam BAP dan dakwaan  lagi pula telah menjadi bagian pertimbangan  hukum dalam putusan  pengadilan sehingga menjadi fakta hukum,  Hotman pun tiba pada kesimpulan bahwa ada yang tidak beres dalam penyidikan kasus ini.Â
Pimpinan Polri  juga memberi  penjelasan yang mendukung  pendapat para praktisi hukum, Wakapolri menyatakan penyelidikan dan penyidikan kasus Vina dan Eky tidak  profesional  karena tidak menggunakan  Scientific Crime Investigation seperti test sample DNA  dan  ilmu forensik lainnya.
Perkembangan selanjutnya,  terpidana Saka Tatal  yang telah selesai menjalani hukuman menyatakan  penyelidikan dan penyidikan kasus Vina dan Eky diwarnai  ancaman dan penyiksaan hal senada juga dinyatakan oleh terpidana lain yang dihukum seumur hidup, mereka kemudian menyatakan mencabut keterangan yang pernah diberikan dalam penyidikan.