Mohon tunggu...
RUDI SINABA
RUDI SINABA Mohon Tunggu... Pengacara - Penulis freelance artikel hukum pada Legal-is-MyLife.blogspot.com

Alamat Jln. Tj, Jepara No.22 Kota Luwuk Kab. Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Pendidikan S2 Hukum

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Keselarasan Antara Perbuatan, Tujuan, Kesalahan dan Akibat yang Dilarang dalam Tindak Pidana Korupsi Merugikan Keuangan Negara

24 Februari 2021   17:58 Diperbarui: 24 Februari 2021   18:03 309
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Oleh : RUDI SINABA (Seorang Hamba Hukum Sejati)

Apakah tanpa kesengajaan dan motif seseorang dapat dipidana "melakukan Tindak Pidana Korupsi mengakibatkan kerugian keuangan negara"?

DOKTRIN SIFAT MELAWAN HUKUM DALAM HUKUM PIDANA.

Perbuatan melawan hukum dalam praktek dan doktrin hukum dibagi menjadi 2 (dua) sifat, yaitu bersifat Formil dan Materi. Perbuatan melawan hukum yang bersifat formil diartikan sebagai perbuatan yang melanggar aturan hukum tertulis seperti undang-undang dan peratuan tertulis lainnya. Sedang perbuatan melawan hukum yang bersifat materil diartikan sebagai perbuatan yang meskipun tidak diatur dalam hukum tertulis tapi bertentangan dengan rasa keadilan, moral dan kepatutan yang ada atau hidup dalam masyarakat.

Selanjutnya praktek dan teori hukum pidana membedakan perbuatan melawan hukum yang bersifat materil dalam fungsinya secara positif dan secara negatif. Perbuatan melawan hukum bersifat materil dalam fungsi positif dimaksudkan sebagai perbuatan yang meskipun tidak diatur dalam hukum tertulis namun dapat dihukum jika dirasa bertentangan dengan rasa keadilan, moral dan kepatutan dalam masyarakat. Sementara itu perbuatan melawan hukum materil dalam fungsinya negatif dimaksudkan sebagai suatu perbuatan yang walaupun melanggar aturan tertulis namun jika perbuatan tersebut dirasa tidak melanggar rasa keadilan, moral dan kepatutan dalam masyarakat maka perbuatan tersebut tidak dapat dihukum.

Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ( UU Tipikor) adalah Tindak Pidana yang dirumuskan dengan sifat melawan hukum formil dan materil. Perumusan secara materil tersebut penting karena tidak mungkin untuk mengatur secara tertulis semua perbuatan yang dapat dilakukan untuk maksud merugikan keuangan negara mengingat begitu banyak dan kompleksnya modus yang dapat dilakukan seiring perkembangan teknologi.

DOKTRIN KESALAHAN DALAM HUKUM PIDANA.

Doktrin Kesalahan (Mens-Rea) telah menjadi kajian yang menarik para ahli hukum pidana selama ratusan tahun dan nampaknya tidak akan pernah berakhir seiring berkembangnya ilmu hukum pidana dan semakin kompleksnya kehidupan masyarakat.

Dalam ilmu hukum pidana Kesalahan (Mens-Rea) merupakan unsur yang berhubungan dengan pertanggungjawaban dari seseorang atas perbuatan pidana yang dilakukannya. Seseorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana hanya dapat dipidana jika terbukti ada unsur kesalahan pada dirinya, hal ini dikenal dengan asas "tiada pidana tanpa kesalahan". Sebaliknya jika tidak terbukti ada kesalahan pada dirinya maka si pelaku tidak dapat dijatuhi pidana hal mana terjadi karena terdapat alasan penghapus pidana pada diri si pelaku. Namun tidak semua pertanggungjawaban pidana mensyaratkan adanya kesalahan pada diri terdakwa, untuk beberapa tindak pidana tertentu dikenal berlakunya asas strict liability dan asas vicarious liability atau pertanggungjawaban tanpa kesalahan dari terdakwa seperti tindak pidana korporasi dan lingkungan hidup.

Dalam sistem hukum pidana Indonesia terdapat beberapa alasan penghapus pidana dimana seorang pelaku tindak pidana tidak dapat dipertanggungjawabkan atau tidak dapat dihukum atas perbuatan pidana yang terbukti telah dilakukannya. Alasan-alasan tersebut yaitu :

  • Alasan pembenar sebagaimana yang diatur dalam Pasal 48 daya paksa absolut, 49 ayat (1), 50 dan 51 KUHP.
  • Alasan pemaaf sebagaimana yang diatur dalam Pasal 44, 48 daya paksa elatif, 49 ayat (2) , pasal 51 ayat (2) KUHP.
  • Selain kedua alasan yang diatur dalam KUHP di atas, dalam praktek dan doktrin hukum pidana dikenal beberapa alasan penghapus pidana yang berada di luar KUHP antara lain : asas tidak ada kesalahan sama sekali, melaksanakan profesi yang sah misalnya seorang dokter bedah melakukan pembedahan, melaksanakan hak asuh misalnya orang tua menghukum anak dan guru menghukum murid dalam batas-batas kewajaran, melakukan tindakan yang menyakiti seseorang atas kehendak orang itu sendiri misalnya dalam acara ritual dan budaya adat.

Teori dan praktek hukum pidana memisahkan PERBUATAN (actus-reus / quilty act) yaitu tindakan phisik sebagai unsur eksternal atau unsur objektif dari tindak-pidana dengan KESALAHAN (mens-rea /quilty mind) yaitu niat-jahat sebagai unsur internal atau subjektif dari tindak-pidana. Kedua unsur di atas harus terbukti barulah si pelaku dapat dijatuhi pidana. Dalam putusan pidana kedua unsur ini nampak dalam amar putusan dengan bunyi: " Menyatakan Terdakwa Alibaba Bin Aladin terbukti secara sah dan meyakinkan BERSALAH MELAKUKAN tindak pidana sebagaimana tersebut dalam dakwaan .......". Kata "bersalah" merupakan wujud dari unsur kesalahan (mens rea) dari si pelaku sedang kata "melakukan" merupakan wujud dari unsur actus-reus (Perbuatan) dari si pelaku.

Mens-rea merupakan unsur subjektif dari tindak pidana yang melekat pada sikap batin dalam diri pelaku, istilah ini diambil dari bahasa latin dan menjadi rujukan dalam hukum pidana di negara-negara dengan sistem hukum common law (Inggis-Amerika) yang juga diartikan sebagai quilty mind (niat-jahat) dan criminal intent. Dalam literatur (Cornell Law School) terdapat beberapa jenis mens-rea yang tersusun secara hirarki yaitu :

Acting purposely - bertindak secara sengaja, dimana pelaku melakukan perbuatan tertentu untuk mewujudkan maksud (niat) yang dikehendakinya.

Acting knowingly -- bertindak secara sadar (tahu), dimana pelaku menyadari atau mengetahui bahwa perbuatan yang dilakukannya dapat menimbulkan akibat tertentu.

Acting recklessly -- bertindak secara tidak hati-hati (sembrono), dimana pelaku melakukan suatu perbuatan dengan mengabaikan resiko dari perbuatannya.

Acting negligently---- bertindak secara kurang hati-hati, dimana pelaku melakukan suatu perbuatan tanpa memperhitungkan secara seksama resiko perbuatannya.

Kategori pertama dan kedua merupakan perbuatan yang dilakukan dengan sengaja (dolus), sementara itu kategori ketiga dan keempat merupakan perbuatan yang bersifat kelalaian / kealpaan ( culpa ), dimana berat serta ringannya penjatuhan pidana tergantung pada kategori masing-masing kesalahan untuk kesengajaan dan kelalaian.

Negara kita yang secara historis mewarisi sistem hukum civil law juga membedakan kesalahan dalam dua kategori yaitu Kesengajaan (dolus) dan Kelalaian (culpa), namun titik perdebatan hanya ada pada kesengajaan (dolus). Walaupun demikian dalam praktek dan teori hukum secara umum kesengajaan dibedakan dalam tiga bentuk, yaitu :

  • Sengaja sebagai niat (maksud), dimana pelaku melakukan perbuatan untuk mewujudkan akibat tertentu yang sudah ada dalam niatnya.
  • Sengaja sadar akan kepastian, dimana pelaku melakukan suatu perbuatan yang patut disadarinya bahwa perbuatan itu pasti akan menyebabkan terwujudnya akibat tertentu.
  • Sengaja sadar akan kemungkinan, dimana pelaku melakukan suatu perbuatan yang patut disadarinya bahwa perbuatan itu mungkin atau dapat menyebabkan terwujudnya akibat tertentu.

Sementara itu, kelalaian (culpa) tidak terlalu menjadi perhatian karena pemahamannya tidak serumit kesengajaan (dolus), dalam praktek dan teori hukum kelalaian diartikan sebagai sikap tidak atau kurang berhati-hati, tidak atau kurang memberi perhatian yang sepatutnya, ceroboh serta istilah lainnya.

KESALAHAN DAN MOTIF DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI MERUGIKAN KEUANGAN NEGARA (Tinjauan atas Kasus Ir. Akbar Tanjung dan Hotasi Nababan)

Secara kontekstual Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU TIPIKOR dirumuskan sebagai delik materil yang mensyaratkan adanya akibat yang dilarang, hal mana berbeda dengan delik (tindak-pidana) yang dirumuskan secara formil yang tidak mensyaratkan adanya akibat namun lebih menekankan pada perbuatan. Akibat yang dilarang oleh kedua pasal tersebut yaitu merugikan keuangan negara dan atau perekonomian negara.

Oleh karenanya Kerugian keuangan negara adalah unsur yang merupakan akibat dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, tanpa adanya kerugian keuangan negara maka tidak ada perbuatan korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor. Kerugian dimaksud haruslah pasti dan nyata (actual loss), Mahkamah Konstitusi melalui putusannya nomor 25/PUU-XIV/2016 secara tepat telah memberi penafsiran konstitusional atas kerugian keuangan negara sebagai kerugian yang pasti (actual loss) dan bukan sekedar sebagai dapat / berpotensi menimbulkan kerugian (potential loss).

Selanjutnya untuk mengetahui kesalahan apa yang dimaksud dalam tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara, apakah itu menyangkut kesalahan karena kesengajaan atau karena kelalaian maka terlebih dahulu perlu untuk melihat rumusan delik dari pasal-pasal yang bersangkutan. Sayangnya, kedua pasal tersebut tidak merumuskan secara tegas kesalahan jenis apa yang dimaksudkan, apakah itu kesengajaan (dolus) atau kelalain (culpa), atau kedua-duanya. Namun secara implisit dapat ditafsirkan bahwa tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dan pasal 3 UU Tipikor merujuk pada kesalahan sebagai Kesengajaan (dolus) dan bukan sebagai kelalaian (culpa).

Penafsiran diatas sangatlah logis, tentulah tidak dapat diterima oleh akal sehat bahwa seseorang karena kelalaian (secara tidak sengaja) bisa memperkaya / menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi. Kekayaan / Keuntungan yang diperoleh tersebut terlebih dahulu haruslah menjadi motif (tujuan) yang ingin dicapai oleh si pelaku. Motif (tujuan) tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai modus perbuatan yang melawan hukum, misalnya dengan modus menggelapkan anggaran, mark-up anggaran, mengurangi kualitas atau kuantitas phisik barang pengadaan, membuat pengadaan atau pekerjaan fiktif, dll. Motif yang diwujudkan dalam bentuk perbuatan tersebut menimbulkan akibat yang dilarang yaitu kerugian keuangan negara.

Satu hal yang jarang menjadi perhatian kita semua yaitu bahwa tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara adalah delik yang dirumuskan dengan motif (tujuan delik) yang jelas (motif yang dirumuskan) yaitu "memperkaya / menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi". Tanpa adanya motif ini maka tidak mungkin ada tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara. Pembuktian motif ini harus selaras dengan pembuktian unsur kesalahan (mens-rea) yang bersifat kesengajaan (dolus) bukan kelalaian (culpa).

Tindak pidana yang dirumuskan secara materil atau delik yang mengandung akibat yang dilarang selalu mempunyai unsur motif / tujuan dari pelaku. Motif tersebut bisa dirumuskan secara tersurat dalam delik (motif yang dirumuskan) seperti Pasal 378 KUHP (Penipuan) dan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, dan juga ada motif yang tersirat (motif yang tidak dirumuskan) tapi secara kasuistis tergantung pada alasan yang mendorong pelaku melakukan tindak pidana seperti pasal 338 KUHP (Pembunuhan).

Kasus Ir. Akbar Tanjung

Mengenai uraian di atas, dapat menjadi rujukan putusan Mahkamah Agung RI No. 572 K/Pid/2003 dalam perkara korupsi dana non-budgeter dalam kasus Bulog Gate, dimana MARI telah dengan tepat membebaskan Ir. Akbar Tandjung dari dakwaan JPU, dengan pertimbangan bahwa kerugian keuangan negara belum terjadi ketika dana tersebut berada di tangan / kekuasaan Ir. Akbar Tanjung, kerugian negara baru timbul setelah dana tersebut berada di tangan H. Dadang Sukandar dan Winfried Simatupang yang ternyata tidak digunakan sesuai peruntukannya.

Kelalaian Ir. Akbar Tanjung dalam proses penyaluran dan pengawasan dana tersebut yang disinyalir oleh JPU sebagai perbuatan melawan hukum menurut MARI bukanlah menjadi faktor yang menyebabkan timbulnya kerugian keuangan negara, disamping pertimbangan bahwa penyaluran dana tersebut merupakan diskresi Ir. Akbar Tanjung sebagai Mensesneg yang ditunjjuk oleh Presiden RI BJ. Habibie sebagai Koordinator penyaluran dana non budgeter Bulog tersebut.

Pertimbangan MARI diatas sangatlah logis sebab sekalipun proses penyaluran dan pengawasan dana non budgeter tersebut telah dilakukan secara benar dan teliti namun jika penerimanya tidak menggunakan dana tersebut sesuai peruntukkannya maka kerugian keuangan negara tetap terjadi. Sebaliknya walaupun proses penyaluran dan pengawasan dana tersebut tidak dilakukan secara sempurna sebagaimana aturan yang berlaku namun jika penerimanya menggunakan dana tersebut sesuai peruntukkaannya maka kerugian negara tidak mungkin terjadi.

Dari ilustrasi putusan Kasasi di atas, dapat kita lihat secara implisit MARI menerapkan dengan seksama ajaran sifat melawan hukum materil dalam fungsinya secara negatif untuk Terdakwa Ir. Akbar Tanjung, yaitu walaupun perbuatan seseorang secara formil melanggar aturan tertulis yang ada ancaman pidananya namun jika perbuatan tersebut menurut kepatutan dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat dirasa tidak melanggar hukum maka pada diri orang tersebut tidak ada kesalahan, oleh karenanya si pelaku tidak dapat dihukum.

Dalam putusan Kasasi tersebut juga secara tersirat dapat disimpulkan MARI tidak menemukan adanya motif pada diri Ir. Akbar Tanjung untuk menguntungkan diri sendiri, H. Dadang Sukandar dan Wenfried Simatupang.

Sementara itu, hal sebaliknya terjadi pada kasus Hotasi Nababan mantan direktur PT. Merpari Nusantara Airline. Mahkamah Agung RI dalam putusan kasasi dan PK, menyatakan Hotasi bersalah dengan pertimbangan bahwa perbuatan Hotasi membayarkan security deposit sebesar 1 juta US Dollar secara cash ke rekening Hume & Associates PC sebagai jaminan penyewaan 2 unit pesawat sehingga dapat dicairkan oleh TALG adalah perbuatan melawan hukum.

Alan Messner pemilik TALG (perusahaan leasing pesawat di Amerika Serikat) bekerja sama dengan Jon Cooper pemilik Hume & Associates PC ( perusahaan penjaminan / custodian) mencairkan dan menggelapkan uang jaminan sebesar 1 juta US Dollar tersebut. Upaya hukum telah dilakukan oleh PT. Merpati untuk mendapatkan kembali dana itu baik secara perdata dan pidana di Pengadilan Distrik Columbia. PT. Merpati memenangkan perkara gugatan yang menghukum tergugat Jon Cooper dan Alan Messner untuk membayar kerugian PT. Merpati dan secara pidana keduanya juga telah mengaku bersalah (plea of quilty) dan telah mengembalikan sebagian kerugian PT. Merpati. Keduanya tidak dapat mengembalikan seluruh kerugian PT. Merpati karena keduanya telah dinyatakan pailit oleh pengadilan di Amerika.

Dalam kasus Hotasi Nababan ini, patut menjadi pertanyaan siapakah yang telah merugikan keuangan negara ?, untuk menjawab pertanyaan ini terlebih dahulu perlu kita analisis persoalan berikut :

  • Kapan terjadinya kerugian keuangan negara. Apakah terjadi pada saat pembayaran uang jaminan sebesar 1 juta US dollar secara cash / tunai ke rekening Hume & Associates PC ataukah pada saat dicairkan (digelapkan) oleh Jon Cooper dan Alan Messner.
  • Apakah ada motif Hotasi Nababan untuk menguntungkan Jon Cooper dan Alan Messner dalam pembayaran tunai uang jaminan tersebut ?
  • Jika Perbuatan Hotasi Nababan melakukan pembayaran secara tunai tersebut harus dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum, apakah pembayaran tersebut mempunyai kausalitas (hubungan sebab akibat) dengan penggelapan yang dilakukan oleh Jon Cooper dan Alan Messner?

Persoalan kapan terjadinya kerugian keuangan negara di atas dapat dijawab dengan melihat status kepemilikan uang jaminan tersebut ketika masih berada dalam rekening Hume & Associates PC, jelas sekali uang jaminan tersebut masih berstatus sebagai milik PT. Merpati. Kerugian keuangan negara jelas baru terjadi ketika dana itu digelapkan oleh Jon Cooper dan Alan Messner.

Menjawab persoalan kedua, maka harus dapat dibuktikan bahwa antara Hotasi, Jon Cooper dan Alan Messner ada persesuaian kehendak untuk menguntungkan Jon Cooper dan Alan Messner. Hal ini patut dipertimbangkan, apa kepentingan Hotasi menguntungkan Jon Cooper dan Alan Messner, jelas tidak ada kepentingan itu. Lalu mengapa PT. Merpati dan Hotasi harus memperkarakan Jon Cooper dan Alan Messner di Pengadilan Distrik Columbia, jelas hal ini membuktikan bahwa Hotasi sejak semula tidak pernah berniat menguntungkan kedua orang tersebut.

Mengenai persoalan ketiga diatas, ini menyangkut persoalan hubungan sebab-akibat (Kausalitas) dalam hukum pidana yang mengajak kita semua untuk memasuk dalam ranah logika hukum. Hukum pidana selalu mencari penyebab terdekat dan adequat yang menimbulkan terjadinya akibat yang dilarang. Dalam kasus ini, Perbuatan Hotasi Nababan "melakukan pembayaran tunai " tersebut tidak dapat dipandang sebagai penyebab yang terdekat dan adequat yang mengakibatkan adanya kerugian keuangan negara, karena pembayaran tunai tersebut tidak pernah menjadi motif dari Hotasi Nababan untuk "menguntungkan" Jon Cooper dan Alan Messner.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pembuktian Tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara harus ada hubungan sebab-akibat yang erat dan selaras antara :

  • Perbuatan Melawan Hukum (Actus-reus), baik bersifat formil maupun materil.
  • Kesalahan, yang bersifat kesengajaan / dolus) bukan kelalaian (culpa).
  • Motif, yaitu : Menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi.
  • Akibat yang dilarang yaitu : Kerugian keuangan negara.

Tindak pidana korupsi merugikan keuangan negara paling sering digunakan untuk menjerat pejabat administrasi negara dan pejabat BUMN dan tidak sedikit diantara mereka yang terpaksa harus mendekam dibalik jeruji besi karena keputusan atau kebijakan yang mereka ambil sehubungan dengan wewenang mereka, hanya karena keputusan / kebijakan tersebut kemudian menimbulkan kerugian keuangan.

Asal ada kerugian keuangan negara maka pejabat yang terkait pasti ditetapkan sebagai tersangka, adapun kesalahan kemudian dicari-cari jika tidak ditemukan adanya kesengajaan maka dipakailah kelalaian sebagai dasarnya. Apakah kemudian ada motif (maksud/tujuan) dari pejabat tersebut untuk menimbulkan kerugian keuangan negara bukalah hal yang penting untuk dibuktikan.

Akibatnya banyak pejabat yang merasa takut mengambil kebijakan / diskresi khususnya yang terkait dengan penggunaan keuangan negara, meski itu adalah wewenangnya. Penyerapan anggaran negara jadi berkurang, Pembangunan menjadi stagnan, perekonomia nasional jadi terganggu.

Hukum harus memberi rasa aman bagi setiap orang dalam berbuat baik, dan harus menciptakan rasa takut bagi setiap orang agar tidak berbuat jahat. Jangan sampai hukum menjadi momok yang menakutkan bagi setiap orang yang ingin berbuat baik dan benar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun