Sering kali kita mendengar penceramah mengutip pernyataan dari Rasulullah Saw. Biasanya mereka menggunakan redaksi yang didalamnya terdapat kata qala rasulullah Saw. Â Redaksi ini disebut sebagai hadis. Â Hadis digunakan untuk merujuk sumber setelah al-Qur'an.
Berkat perkembangan teknologi penerbitan, pada saat ini tidak sulit untuk membaca hadis. Bahkan banyak penyedia yang menawarkan buku atau aplikasi yang mudah didapat.Â
Ribuan judul tentang hadis mudah diakses baik berbentuk fisik buku maupun piranti informatika berupa e-book dan sebagainya.  Satu kali  mengetik tema tertentu pada layanan pencari di internet, akan muncul informasi hadis yang cepat diperoleh.
Pemahaman terhadap hadis tidak semata-mata berasal dari mendengar atau cukup membaca terjemah buku-buku hadis. Untuk mengetahui apa kandungan, mungkin membaca terjemah cukup memudahkan. Â Â
Memahami isi dan struktur hadis memerlukan instrumen ilmu khusus. Selain awalnya hadis berbahasa Arab, ia memiliki kaitan dengan ilmu keislaman lainnya, seperti ushul fikih, sejarah (sirah), tokoh periwayat hadis, dan komponen keilmuan lainnya.
Para ulama telah banyak menjelaskan pentingnya ilmu hadis. Urgensi ilmu hadis ini diarahkan untuk memahami, menyelami, dan mengaitkan informasi satu pada informasi lainnya pada struktur hadis. Kajian hadis tidak berdiri sendiri, ia mempunyai kaitan dengan informasi keilmuan lainnya.
Syaikh Hafizh al-Mas'udi dalam bukunya yang terkenal, Minhatul Mughits, menyebutkan bahwa ilmu hadis terbagi dua, yaitu ilmu hadis riwayah dan dirayah. Â Â
Dua ilmu ini memiliki prinsip-prinsip yang harus diketahui dan dikuasai. Â Sehingga orang yang mendalaminya dapat mencapai pengetahuan yang sempurna dalam membedah hadis.
Ilmu hadis dirayah dikenal dengan istilah musthalahat hadis. Ilmu ini berisi mengenai kondisi sanad, matan, proses transmisi hadis, karakteristik perawi, dan yang lainnya. Â
Objek kajiannya adalah sanad dan matan dari aspek sahih, hasan, dan yang lainnya. Â Kajian ini berfungsi untuk mengetahui kesahihan hadis.Â
Al-Mas'udi menuturkan, ulama yang pertama kali menyusun ilmu ini adalah Syaikh al-Qadi Abu Muhammad al-Hasan bin Abdurrahman ar-Ramahurmuzi. Â
Kata ar-Ramahurmuzi dinisbahkan pada kota Ramahurmuz di negeri Najuzistan.  Ar-Ramahurmuzi menulis kitab yang diberi judul al-Muhaddits  al-Fashil.Â
Agama memandang mengetahui ilmu hadis dirayah ini fardu 'ain bagi orang yang fokus mendalaminya. Â Namun, ia menjadi fardu kifayah bagi kebanyakan orang. Â Â
Kaitan ilmu hadis dirayah dengan ilmu lain bersifat saling menjelaskan. Sehingga ilmu ini tidak bisa memisahkan diri dari bahasa Arab, ushul fikih, sirah, tauhid, akhlak, dan disiplin ilmu lain yang saling mendukung dalam memperoleh kejelasan informasi hadis.
Orang yang faham pada ilmu ini akan mengetahui diterima atau ditolaknya hadis berdasarkan ukuran kesahihannya. Sehingga, ilmu ini memiliki kedudukan tinggi dalam khazanah keilmuan Islam. Â Kajian dirayah diambil dari kondisi perawi hadis.
Permasalahan yang dikajian cukup beragam. Salah satu fokus masalahnya diantaranya adalah pernyataan "setiap hadis sahih dapat dijadikan dalil". Pernyataan ini berkaitan dengan implikasi hukum Islam baik pada aspek ushul fikih maupun fikihnya.
Dengan kajian dirayah ini, sebuah hadis dapat didalami secara tepat berdasarkan instrumen ilmu yang mengitarinya. Hadis tidak berdiri sendiri, ia memiliki kaitan dengan hadis lain, baik pada matan maupun sanadnya.
*) Rudi Ahmad Suryadi, Pembelajar KeislamanÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H