Mohon tunggu...
Rudi Hartono
Rudi Hartono Mohon Tunggu... PNS -

Ingin seperti padi: Semakin berisi semakin merunduk

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Mengaktualisasikan Kembali Nilai-nilai Sumpah Pemuda

27 Oktober 2015   14:16 Diperbarui: 27 Oktober 2015   14:16 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Peserta Kongres Pemuda II

Dalam situasi dan kondisi yang serba tidak menguntungkan karena di bawah penjajah Belanda, tanggal 28 Oktober 1928 para pemuda perwakilan berbagai daerah di Indonesia mampu membuat tonggak sejarah, Sumpah Pemuda, yang tetap aktual dan relevan sampai sekarang.

Dalam berbagai literatur Bung Karno, Proklamator, Presiden pertama Republik Indonesia, pernah berkata, “Berikanlah kepada saya sepuluh orang pemuda niscaya saya akan menggoncang dunia.”

Perlu diketahui penekanan pidato Bung Karno itu terletak pada frasa “pemuda”, bukan “sepuluh”-nya. Sedangkan kata “sepuluh” itu sendiri melambangkan “banyak”. Ini sama halnya dengan bahasa arab yang sering menggunakan kata “tujuh” atau “sembilan”, yang berarti juga banyak.

Soekarno dan tentu juga orang lain lain tahu betapa strategisnya pemuda tersebut. Pemuda memiliki “tenaga” lebih daripada yang dimiliki orang dewasa. Sehingga seringkali menjadi “rebutan” para pihak. Sayang sekali bila mereka diarahkan untuk kepentingan destruktif.

Dalam kehidupan sehari-hari, di berbagai tempat, dapat kita lihat dan rasakan bagaimana pentingnya keikutsertaan dan peran pemuda tersebut dalam menyukseskan berbagai kegiatan. Yang “tua-tua” cukup memberikan arahan sebagaimana mestinya.

Para pemuda biasanya banyak memiliki ide, pendapat, pikiran, sementara yang tua-tua perlu memberikan masukan-masukan sehingga ide-ide bernas itu menjadi postif.

***

Demikianlah kiranya, seratus delapan puluh tujuh tahun yang lalu para pemuda dari berbagai perwakilan daerah di Indonesia telah menelurkan ide-ide perlunya kebersamaan sebagai salah satu syarat agar bangsa Indonesia dapat melawan penjajah Belanda yang ketika sedang jaya-jayanya berkuasa di Tanah Air kita. Mereka telah belajar sejarah bagaimana akhir perjuangan-perjuangan berbagai daerah di Indoesia karena sifatnya yang masih sendiri-sendiri. Kesepakatan itu melahirkan SUMPAH PEMUDA, sebuah pikiran yang berkemajuan dan melampau zamannya.

Peristiwa ini terjadi tentu setelah para pemuda itu menerima “pencerahan” baik dengan jalan  belajar di dalam maupun di luar negeri, masuk organisasi, partai politik, perkumpulan, maupun dengan membaca berbagai buku, surat kabar, dan sebagainya.

***

Terwujudnya SUMPAH PEMUDA karena ketika itu mereka punya “musuh bersama”: penjajah Belanda.

Ketika menghadapi musuh bersama tersebut mereka dapat melepaskan kepentingan sempit, ego sektoral. Buktinya mereka dapat menerima bahasa Melayu sebagai cikal-bakal dan dasar Bahasa Indonesia. Padahal bisa saja misalnya utusan Suku Jawa ngotot agar bahasanya dijadikan sebagai bahasa persatuan karena jumlah pengguna bahasa Jawa mayoritas di negeri ini.

***

Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, musuh bersama lenyap mulai timbul ego sektoral, golongan, suku, daerah, dan agama.

Sejarah mencatat bagaimana sengitnya perdebatan pada sidang-sidang yang merumuskan Konstitusi Negara (UUD 1945). Sebagian golongan Islam ketika itu ingin memasukkan unsur-unsur yang terkait dengan agama Islam (ingat pembahasan 7 kata dalam Piagam Jakarta).

Golongan Islam berpendapat, wajar bila dalam konstitusi itu memasukkan hal-hal yang terkait dengan agama Islam mengingat mayoritas penduduk negeri ini memang beragama Islam. Selain itu pengaturan tentang Islam hanya ditujukan kepada pemeluk agama Islam saja, sedangkan penduduk yang bergama lain juga diberikan ruang yang memadai.

Golongan Kristiani, terutama dari Indonesia Timur (keberatan itu diduga disampaikan oleh Dr.GSSJ Ratulangi) tentu juga punya argumen; mereka khawatir dalam pelaksanaanya dikemudian hari dapat merugikan golongan mereka.

Beruntung permasalahan yang sempat meruncing tersebut dapat ditengahi (dimediasi) oleh Bung Hatta, seorang Muslim taat tetapi berwawasan luas, dapat meyakinkan Golongan Islam maupun Kristiani.

***

Terkait dengan peristiwa di atas, benar juga kiranya ungkapan masyhur lainnya dari Bung Karno yang bunyinya, “Perjuangan generasi saya “tidaklah” terlalu berat walau yang kami hadapi itu penjajah bangsa asing; sebaliknya perjuangan generasi sesudah kami justru sangat berat karena yang dihadapi bangsanya sendiri.”

***

Sekarang pemuda diminta untuk mengaktualisasikan kembali nilai-nilai SUMPAH PEMUDA, khususnya terkait menjaga persatuan dan kesatuan dalam merawat kebhinekaan negara yang kita cintai ini.

Selamat Hari Sumpah Pemuda kali ke-187 tahun 2015.

Hidup pemuda, hidup dan jayalah bangsa dan negara Indonesia!

Sumber Poto: https://id.wikipedia.org/wiki/Sumpah_Pemuda

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun