***
Terwujudnya SUMPAH PEMUDA karena ketika itu mereka punya “musuh bersama”: penjajah Belanda.
Ketika menghadapi musuh bersama tersebut mereka dapat melepaskan kepentingan sempit, ego sektoral. Buktinya mereka dapat menerima bahasa Melayu sebagai cikal-bakal dan dasar Bahasa Indonesia. Padahal bisa saja misalnya utusan Suku Jawa ngotot agar bahasanya dijadikan sebagai bahasa persatuan karena jumlah pengguna bahasa Jawa mayoritas di negeri ini.
***
Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud, musuh bersama lenyap mulai timbul ego sektoral, golongan, suku, daerah, dan agama.
Sejarah mencatat bagaimana sengitnya perdebatan pada sidang-sidang yang merumuskan Konstitusi Negara (UUD 1945). Sebagian golongan Islam ketika itu ingin memasukkan unsur-unsur yang terkait dengan agama Islam (ingat pembahasan 7 kata dalam Piagam Jakarta).
Golongan Islam berpendapat, wajar bila dalam konstitusi itu memasukkan hal-hal yang terkait dengan agama Islam mengingat mayoritas penduduk negeri ini memang beragama Islam. Selain itu pengaturan tentang Islam hanya ditujukan kepada pemeluk agama Islam saja, sedangkan penduduk yang bergama lain juga diberikan ruang yang memadai.
Golongan Kristiani, terutama dari Indonesia Timur (keberatan itu diduga disampaikan oleh Dr.GSSJ Ratulangi) tentu juga punya argumen; mereka khawatir dalam pelaksanaanya dikemudian hari dapat merugikan golongan mereka.
Beruntung permasalahan yang sempat meruncing tersebut dapat ditengahi (dimediasi) oleh Bung Hatta, seorang Muslim taat tetapi berwawasan luas, dapat meyakinkan Golongan Islam maupun Kristiani.
***
Terkait dengan peristiwa di atas, benar juga kiranya ungkapan masyhur lainnya dari Bung Karno yang bunyinya, “Perjuangan generasi saya “tidaklah” terlalu berat walau yang kami hadapi itu penjajah bangsa asing; sebaliknya perjuangan generasi sesudah kami justru sangat berat karena yang dihadapi bangsanya sendiri.”