Mohon tunggu...
Rudi Hartono
Rudi Hartono Mohon Tunggu... PNS -

Ingin seperti padi: Semakin berisi semakin merunduk

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Tradisi Menumbai, Pacu Jalur, dan Koba dari Riau Ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda Indonesia

22 September 2015   09:58 Diperbarui: 22 September 2015   10:46 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

I

Pacu Jalur


Tiga mata budaya Provinsi Riau diantaranya: Pacu Jalur dari Kabupaten Kuantan Singingi, Menumbai Petalangan dari Kabupaten Pelalawan, dan Koba Rokan dari Kabupaten Rokan Hulu dan Hilir, ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) Indonesia. Penetapan tersebut dinyatakan dalam sidang Penetapan WBTB Indonesia 2015 yang dipimpin Ketua Tim Ahli WBTB Nasional kementrian pendidikan dan kebudayaan RI, Dr Pudentia MPSS, di Hotel Millenium Jakarta, Ahad (20/9) petang.


Dipaparkan Pudentia, berdasarkan verifikasi yang dilakukan tim ahli sejak awal tahun 2015 , ketiga matabudaya tak benda dari Provinsi Riau tersebut sudah memenuhi semua kriteria yang ditentukan oleh tim ahli bersama Kemendikbud. Di antaranya adalah kriteria keunikan, kelangkaan dan fungsinya sebagai pernyataan identitas masyarakat pendukungnya. “Namun demikian, untuk penetapan sebagai WBTB Indonesia perlu disetujui bersama seperti yang kita laksanakan hari ini.” Ujarnya.


Sementara itu, mewakili Riau untuk melengkapi penjelasan tim ahli tentang ketiga matabudaya itu, Budayawan yang kebetulan juga menjabat sebagai Ketua Harian Lembaga Adat Melayu (LAM) Riau, Dr Al azhar mengemukakan bahwa Koba, Pacu Jalur dan Menumbai Petalangan adalah di antara warisan Melayu di Riau yang penting dilestarikan untuk merawat kebhinekaan, tapi juga dikawasan setempat.


“Masing-masing matabudaya dari Riau itu memiliki “suara” yang khas dalam dinamika orkestrasi kebudayaan msaa kini,” kata Al azhar.


Koba Rokan, misalnya merekamkan ingatan komunitas disepanjang Rungai Rokan, yang disulam bersama harapan fantasi-fantasi sosial mereka.


Pacu jalur pula, hadir bukan hanya sebagai atraksi masyarakat Rantau Kuantan, tapi juga dalam prosesnya sebagai atraksi terdapat serangkaian kenduri sosial, tempat di mana kebersamaan dan ekspresi-ekspresi kebudayaan yang kompleks ditampilkan.


Sedangkan Menumbai Petalangan menegaskan dirinya sebagai teladan hubungan resiprokal antara manusia dengan lingkungan fisik, biologis, sosial, dan komposit.


“Dilihat dari kenyataan hari ini, Menumbai adalah gumpalan ironi bila dihadapkan dengan kehancuran ekologis di Riau hari ini,” Al Azhar.


II


Pacu Jalur

 

Pacu Jalur merupakan sebuah perlombaan mendayung di sungai dengan menggunakan sebuah perahu panjang yang terbuat dari kayu pohon. Panjang perahu ini bisa mencapai 25 hingga 40 meter dan lebar bagian tengah kir-kira 1,3 m s/d 1,5 m, dalam bahasa penduduk setempat, kata Jalur berarti Perahu. Setiap tahunnya, sekitar tanggal 23-26 Agustus, diadakan Festival Pacu Jalur sebagai sebuah acara budaya masyarakat tradisional Kabupaten Kuantan Singingi,Riau bersamaan dengan perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Pacu jalur biasanya dilakukan di Sungai Batang Kuantan. Hal ini tak lepas dari catatan panjang sejarah, Sungai Batang Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu dan Kecamatan Cerenti di hilir, telah digunakan sebagai jalur pelayaran jalur sejak awal abad ke-17. Dan, di sungai ini pulalah perlombaan pacu jalur pertama kali dilakukan. Sedangkan, arena lomba pacu jalur bentuknya mengikuti aliran Sungai Batang Kuantan, dengan panjang lintasan sekitar 1 km yang ditandai dengan enam tiang pancang.

Sejarah

Sejarah Pacu Jalur berawal abad ke-17, dimana jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Sungai Kuantan yang terletak antara Kecamatan Hulu Kuantan di bagian hulu hingga Kecamatan CerentiKecamatan Cerenti di hilir. Saat itu memang belum berkembang transportasi darat. Akibatnya jalur itu benar-benar digunakan sebagai alat angkut penting bagi warga desa, terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, serta berfungsi untuk mengangkut sekitar 40-60 orang. Kemudian muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah, seperti ukiran kepala ular, buaya, atau harimau, baik di bagian lambung maupun selembayung-nya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri).

Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Sebab, hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias itu. Baru pada 100 tahun kemudian, warga melihat sisi lain yang membuat keberadaan jalur itu menjadi semakin menarik, yakni dengan digelarnya acara lomba adu kecepatan antar jalur yang hingga saat ini dikenal dengan nama Pacu Jalur.

Pada awalnya, pacu jalur diselenggarakan di kampung-kampung di sepanjang Sungai Kuantan untuk memperingati hari besar Islam. Namun, seiring perkembangan zaman, akhirnya Pacu Jalur diadakan untuk memperingati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Oleh karena itu Pacu Jalur diadakan sekitar bulan Agustus. Dapat digambarkan saat hari berlangsungnya Pacu Jalur, kota Jalur bagaikan lautan manusia. Terjadi kemacetan lalu lintas dimana-mana, dan masyarakat yang ada diperantauan akan terlihat lagi, mereka akan kembali hanya untuk menyaksikan acara ini. Biasanya jalur yang mengikuti perlombaan, bisa mencapai lebih dari 100. Menurut masyarakat setempat jalur adalah 'perahu besar' terbuat dari kayu bulat tanpa sambungan dengan kapasitas 45-60 orang pendayung (anak pacu).

Pada masa penjajahan Belanda pacu jalur diadakan untuk memeriahkan perayaan adat, kenduri rakyat dan untuk memperingati hari kelahiran ratu Belanda wihelmina yang jatuh pada tanggal 31 Agustus. Kegiatan pacu jalur pada zaman Belanda di mulai pada tanggal 31 agustus s/d 1 atau 2 september. Perayaan pacu jalur tersebut dilombakan selama 2-3 hari, tergantung pada jumlah jalur yang ikut pacu.

Proses Pembuatan Jalur

Jalur adalah sejenis perahu yang dibuat dari batang kayu utuh, tanpa dibelah-belah, dipotong-potong atau disambung-sambung. Ciri-cirinya adalah kokoh-kuat, ramping, artistik, sehingga pada waktu berpacu tidak dikhawatirkan pecah, jalannya laju dan sedap dipandang. Pembuatan jalur melalui proses yang cukup panjang, yaitu:

1. Untuk menyusun rencana kerja pertama-tama diselenggarakan musyawarah atau rapek kampung yang dihadiri oleh berbagai unsur seperti pemuka adat, cendekiawan, kaum ibu dan pemuda, dipimpin oleh seorang pemuka desa, biasanya pemuka adat. Bila disepakati untuk membuat jalur, lalu ditentukan langkah lebih lanjut.

2. Memilih kayu. Kayu yang dicari itu harus memenuhi persyaratan kwalitas (jenis), ukuran dan lain-lain, terutama bobot magis atau spi¬ritualnya. Jenis kayu yang dipilih adalah kayu banio, kulim kuyiang atau yang lain, harus lurus panjangnya sekitar 25-30 meter, garis te-ngah 1-2 meter dan mempunyai mambang (sejenis makhluk halus). Harus dipertimbangkan agar setelah menjadi jalur dapat mendukung anak pacu 40-80 orang. Dalam acara pemilihan kayu ini peranan pawang sangat penting. Sesudah pilihan ditentukan dibuatlah upacara semah agar kayu itu tidak "hilang" secara gaib.

3. Menebang kayu. Kayu yang sudah disemah oleh pawang lain ditobang dengan alat kapak dan beliung. Dahan dan ranting dipisahkan.

4. Memotong ujung. Kayu yang sudah bersih diabung (dipotong) ujungnya menurut ukuran tertentu sesuai dengan panjang jalur yang akan dibuat kemudian kulit kayu dikupas, diukur dibagi atas bagian haluan, telinga, lambung, dan kemudian dengan alat benang.

5. Pendadan atau meratakan bagian depan (dada) yakni bagian atas kayu yang memanjang dari pangkal sampai ke ujung.

6. Mencaruk, atau mengeruk, melubangi bagian dalam kayu yang panjang itu dengan ketebalan yang seimbang.

7. Menggiling atau memperhalus bagian samping atas sehingga terbentuk bagian bibir perahu sekaligus mulai membentuk bagian luar bagian atas.

8. Manggaliak atau membalikkan dan menelungkupkan, yang tadinya terletak diatas ganti berada di bawah sehingga bagian luar dapat dikenakan, dirampingkan dengan leluasa. Pekerjaan ini memerlukan perhitungan cermat sebab harus selalu menjaga keseimbangan kete¬balan semua bagian jalur. Cara mengukurnya antara lain dengan membuat lubang-lubang kakok atau bor yang kemudian ditutup lagi dengan semacam pasak.

9. Manggaliak atau menelentangkan lagi.

10. Membentuk haluan dan kemudi.

11. Menghela atau menarik jalur yang sudah setengah jadi itu ke kam¬pung disertai upacara maelo jalur. Disini kegotongroyongan sangat besar artinya.

12. Menghaluskan, mengukir terus dinaikkan ke atas ram Account pian lalu diasapi.

13. Penurunan jalur ke sungai, selesailah proses pembuatan perahu yang ditutup dengan upacara pula.
Aturan Permainan

Peserta Pacu Jalur

Perlombaan Pacu Jalur Taluk Kuantan memakai penilaian sistem gugur. Sehingga peserta yang kalah tidak boleh turut bermain kembali. Sedangkan para pemenangnya akan diadu kembali untuk mendapatkan pemenang utama. Selain itu juga menggunakan sistem setengah kompetisi. Dimana setiap regu akan bermain beberapa kali, dan regu yang selalu menang hingga perlombaan terakhir akan menjadi juaranya. Perlombaan meriah ini dimulai dengan tanda yang cukup unik, yaitu dengan membunyikan meriam sebanyak tiga kali. Meriam ini digunakan karena bila memakai peluit, suara peluit tidak akan terdengar oleh peserta lomba. Karena luasnya arena pacu dan riuh penonton yang menyaksikan perlombaan.

Pada dentuman pertama jalur-jalur yang telah ditentukan urutannya akan berjejer di garis start dengan anggota setiap regu telah berada di dalam jalur. Pada dentuman kedua, mereka akan berada dalam posisi siap (berjaga-jaga) untuk mengayuh dayung. Setelah wasit membunyikan meriam untuk yang ketiga kalinya, maka setiap regu akan bergegas mendayung melalui jalur lintasan yang telah ditentukan. Sebagai catatan, ukuran dan kapasitas jalur serta jumlah peserta pacu dalam lomba ini tidak dipersoalkan, karena ada anggapan bahwa penentu kemenangan sebuah jalur lebih banyak ditentukan dari kekuatan magis yang ada pada kayu yang dijadikan jalur dan kekuatan kesaktian sang pawang dalam "mengendalikan" jalur.

Acara

Kegiatan Pacu Jalur merupakan pesta rakyat yang terbilang sangat meriah. Menurut kepercayaan masyarakat setempat, Pacu Jalur merupakan puncak dari seluruh kegiatan, segala upaya, dan segala keringat yang mereka keluarkan untuk mencari penghidupan selama setahun. Masyarakat Kuantan Singingi dan sekitamya tumpah ruah menyaksikan acara yang ditunggu-tunggu ini.

Selain sebagai acara olahraga yang banyak menyedot perhatian masyarakat, festiyal Pacu Jalur juga mempunyai daya tarik magis tersendiri. Festival Pacu Jalur dalam wujudnya memang merupakan hasil budaya dan karya seni khas yang merupakan perpaduan antara unsur olahraga, seni, dan olah batin. Namun, masyarakat sekitar sangat percaya bahwa yang banyak menentukan kemenangan dalam perlombaan ini adalah olah batin dari pawang perahu atau dukun perahu. Keyakinan magis ini dapat dilihat dari keseluruhan acara ini, yakni dari persiapan pemilihan kayu, pembuatan perahu, penarikan perahu, hingga acara perlombaan dimulai, yang selalu diiringi oleh ritual-ritual magis. Pacu Jalur dengan demikian merupakan adu tunjuk kekuatan spiritual antar dukun jalur. Selain perlombaan, dalam pesta rakyat ini juga terdapat rangkaian tontonan lainnya, di antaranya Pekan Raya, Pertunjukan Sanggar Tari, pementasan lagu daerah, Randai Kuantan Singingi, dan pementasan kesenian tradisional lainnya dari kabupaten atau kota di Riau.

III

Menumbai Madu Petalangan

Seorang Juagan sedang memanjat pohon sialang untuk menumbai

 

KEBERADAAN hutan alam bagi masyarakat adat Petalangan, Kecamatan Bandar Petalangan, Provinsi Riau, dulunya sangat strategis. Sebagian besar dari mereka menggantungkan hidup pada hasil hutan, mulai dari berburu, menangkap ikan, hingga mencari madu sialang. Madu sialang adalah madu yang berada di pohon sialang.

Menumbai hanya dapat dilakukan dua hingga tiga kali dalam setahun. Prosesnya pun dengan ritual yang sangat kompleks.Agar hasilnya banyak, menumbai dilakukan siang hari dan harus dilengkapi beberapa peralatan tradisional. Di antaranya timtim, yakni semacam suluh (obor) untuk menguak lebah dari sarangnya sekaligus sebagai penerang ketika menumbai di malam hari. Tunam terbuat dari sabut kelapa yang dibalut kulit kayu.

Selanjutnya timbo, yakni alat penampung dan penurunan madu lebah yang biasanya terbuat dari rotan. Lainnya adalah tali dan perangkat berupa kayu kecil untuk membuat jalan yang terhubung dan menjadi tangga (sigai). Sigai ini diperlukan untuk memanjat pohon karena diameter pohon sialang rata-rata tak bisa dipeluk tangan orang dewasa sekalipun. Tangga menuju puncak pohon sialang ini disebut semangkat. Ketika menumbai, terdapat sebuah tim yang bekerja sama. Selain /lindan, yang bertugas sebagai pimpinan tim, terdapat juga pembantu (juagan mudo), tukang sambut dan beberapa orang pembantu lainnya.

Biasanya juagan tno dibantu jua-gan mudo yang bersama memanjat pohon sialang dan ditunggu para tukang sambut di bawah. Dalam tradisi Petalangan, menumbai juga dilengkapi pan-tun atau mantra, karena lebah yang dipanggil sebagai Tuan Puteri Nilam Cahaya harus diperlakukan dengan baik. Tujuan pantun adalah untuk menjinakkan lebah, membuat mereka nonap (tidur), dan minta perlindungan Tuhan dari bahaya. Dalam adat Petalangan, pohon sialang dan rimba sekitarnya sebagai milik pebntinati tertentu. Warga pencari madu (juagan) yang menumbai akan mendapatkan madu, tapi tidak sepenuhnya. Pembagiannya diatur secara adat.

Jika juagan berasal dari suku pengelola rimba, ia mendapatkan 40%. Sebanyak 40% lagi untuk warga suku yang mengelola rimba kepungan sialang dan 20% lagi untuk batin (kepala suku),tukang sambut, dan pemuka masyarakat.

IV

Romantisme Melayu dalam Koba

Ratap Sicuriang dan Sibongsu
Ratap Sicuriang dan Sibongsu
Tukang Koba sedang

Koba merupakan tradisi lisan jenis cerita yang disampaikan dengan gaya dinyanyikan. Pelakunya biasa disebut sebagai “tukang koba”. Koba dapat ditampilkan baik oleh laki-laki maupun perempuan. Koba berkembang di negeri-negeri di sepanjang pesisir dan pedalaman Sungai Rokan (sekarang secara administratif menjadi Kabupaten Rokan Hulu dan Kabupaten Rokan Hilir) yang memakai bahasa Melayu logat Rokan, dan di Mandau (sekarang secara administratif menjadi Kabupaten Bengkalis) yang memakai bahasa Melayu logat Sakai.

Tradisi lisan ini ditampilkan pada malam hari sesudah Isya, kadang sampai pagi. Bila dalam satu malam cerita yang disajikan belum tamat, maka koba dilanjutkan pada malam berikutnya, sehingga seringkali untuk menamatkannya diperlukan waktu sampai enam malam. Pertunjukan koba berlangsung sebagai ekspresi bebas dan professional tukang koba, atau bersempena perayaan-perayaan sosial seperti perhelatan pernikahan, sunat rasul, mencukur anak, dan lain-lain. Penyajian koba yang profesional dilaksanakan di tempat-tempat keramaian (seperti di los-los pasar), atau di rumah keluarga yang punya hajat. Tempat penampilan tidak memerlukan ruang dan penataan khusus.

Sebagian koba dinyanyikan tanpa musik pengiring, sebagian lagi menggunakan musik pengiring, tergantung pada tukang kobanya masing-masing. Jika memakai musik pengiring, alat musik yang dipakai adalah rebana atau gendang, yang dimainkan oleh tukang kobanya sendiri. Gendang atau rebana berfungsi sebagai pengatur ritma dendang yang dibawakan tukang koba. Setiap koba memiliki irama dendangnya masing-masing.

Menjelang koba disajikan, tukang koba biasanya makan sirih bersama-sama khalayak. Kemudian dia mendendangkan sejumlah pantun yang berisikan kisah singkat perjalanan hingga sampai di tempat berkoba, dan menyampaikan terima kasih kepada khalayak yang hadir. Adakalanya, khalayak membalas pantun-pantun yang disampaikan tukang koba. Bila tukang koba menggunakan alat musik, maka penceritaannya selalu diawali dengan pukulan-pukulan ritmis gendang.

Di sepanjang penceritaan, tukang koba mengambil waktu jeda. Waktu untuk beristirahat ini diisi dengan minum kopi, merokok, sambil makan sirih, serta berbincang dengan khalayak. Isi perbincangan beragam, bisa mengenai penggal cerita yang baru dituturkannya, bisa pula mengenai kehidupan sehari-hari dirinya atau khalayaknya. Bila waktu jeda dirasakan oleh khalayak terlalu lama, maka di antara khalayak akan ada yang menyindir dengan mendendangkan pantun. Pantun sindiran itu biasanya dijawab oleh tukang koba, dan ‘jual-beli’ pantun di antara dua bagian penceritaan ini menambah hangat suasana. Suasana hangat juga dibangun melalui pantun berkias tukang koba tentang kecantikan, perangai, dan kata-kata salah seorang atau lebih khalayaknya. Bagi tukang koba profesional, menunda-nunda kelanjutan cerita tersebut juga dimaksudkan sebagai pemancing minat khalayak, dan khalayak yang tidak sabar dapat menawarkan dan memberikan bayaran tambahan kepada tukang koba, agar kobanya segera dilanjutkan. Dengan demikian, keseluruhan suasana dalam peristiwa berkoba semakin akrab, bersahaja, dan cenderung gembira atau menghibur.

Cerita-cerita yang disajikan tukang koba, umumnya adalah pengembaraan tokoh atau pahlawan-pahlawan rekaan lokal, dengan bentang-ruang horisontal yang terbatas pada selat-selat, teluk, tanjung, sungai-sungai, dan daratan pesisir. Sedangkan bentang-ruang vertikalnya mencakup bumi hingga kayangan. Sebagian kecil dari korpus cerita koba dianggap sakral, karena menceritakan tokoh yang dikeramatkan oleh tukang koba. Untuk cerita yang demikian, penceritaannya tidak memerlukan perlakuan khusus. Namun saat menamatkannya, tukang koba melakukan ritual tertentu, dengan berdoa dan menyembelih ayam atau kambing pada petang sebelum cerita itu ditamatkan. Orang yang punya hajat juga harus menyediakan seperangkat persembahan kepada tukang koba, yang terdiri dari pisau belati, sekabung kain putih, dan limau purut.

Koba-koba yang terkenal misalnya Koba Panglimo Awang Koba Gadih MudoCik Nginam, Koba Panglimo Dalong, dan Koba Dang Tuanku dan banyak lainnya.

Sumber:

Harian Riau Pos (22/09)

https://id.wikipedia.org/wiki/Pacu_Jalur

https://www.mindtalk.com/channel/budayamelayuriau/post/menumbai-madu-petalangan-510408335649202831.html

http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/blog/2013/12/11/romantisme-melayu-dalam-koba-3/

Sumber Poto 1: https://id.wikipedia.org/wiki/Pacu_Jalur

Sumber Poto 2: http://vacation-star.blogspot.co.id/2012_08_01_archive.html

Sumber poto 3: http://www.riaupos.co/270-spesial-ratap-sicuriang-dan--sibongsu.html#.VgDCqbXHg7A

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun