Mohon tunggu...
Rucika GalvaniPutri
Rucika GalvaniPutri Mohon Tunggu... Lainnya - XII MIPA 6 - SMAN 1 PADALARANG

CIK

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

JALAN MENUJU ROMA

8 Februari 2021   15:02 Diperbarui: 8 Februari 2021   16:43 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selesai mandi, aku masuk kembali ke kamar dan membuka buku belajarku tetapi handphoneku berbunyi ternyata ada pesan dari Kak Citra di grup, dia menanyakan apakah aku, Nia, dan Ita sudah bisa atau belum untuk meyakinkan ibu dan bapak mengenai kuliah di kota. Aku membalas pesan Kak Citra sesuai dengan apa yang tadi pagi terjadi. Akan tetapi, Kak Citra terus menyemangati kami agar tidak putus asa untuk memberi pengertian kepada bapak dan ibu.

Setelah Kak Citra mendengar semua isi hati kami semua, Kak Citra mengetik pesan sangat panjang yang intinya dia mempunyai rencana untuk mencarikan kami beasiswa disana, untuk masalah biaya hidup, Kak Citra akan menanggungnya. Mendengar semua itu, aku yang paling semangat menyetujui rencana Kak Citra, sedangkan Ita dan Nia membalas pesan dengan menyetujuinya tetapi terlihat seperti banyak pertimbangan untuk pergi ke sana karena mereka pasti tidak akan diizinkan oleh orangtua. Sebenarnya aku juga pasti tidak akan diizinkan untuk pergi ke kota, apalagi bapakku yang sangat keras memegang prinsipnya jika perempuan desa sepertiku tidak perlu sekolah yang tinggi.

Setelah aku mengumpulkan butir-butir keberanian untuk bicara kepada bapak dan ibu mengenai rencana Kak Citra tadi, aku langsung keluar kamar dan menemui ibu terlebih dulu “Assalamualaikum bu”, ucapku sambil membuka pintu kamar ibu. “Waalaikumsalam Tar, ada apa kamu ke kamar ibu?”, ucap ibu yang sedang melipat baju. Tanpa berpikir lagi aku langsung memberanikan diri untuk berbicara “Bu, kemarin di sekolah aku bertemu Kak Citra dan Kak Putri, mereka itu mahasiswa kota yang sedang menjalankan penelitian sebagai tugas akhir kuliahnya di desa, terus tadi aku, Nia, dan Ita  sudah tanya-tanya di grup whatsapp tentang sekolah di kota dan..”, ucapku dengan gugup. Pembicaraanku langsung dipotong oleh ibu “Dan apa? Ibu kan sudah bilang kamu itu hanya gadis desa, biaya untuk sehari-hari saja kadang tidak tercukupi dan sekarang kamu ingin sekolah ke kota, apa kamu tidak memikirkan biaya nanti disana?,” ucap ibu dengan tatapan tajam. Aku menjawab dengan gugup “Di kota aku akan mencari beasiswa bu, untuk biaya kehidupanku disana awalnya akan ditanggung kak Citra”,ucapku sambil memegang tangan ibu. “Baru saja kenal dengan perempuan kota itu, kamu sudah menyusahkannya? Lagi pula kamu belum tau maksud dia membantu kamu itu apa, bisa saja nanti dia berbuat jahat kepadamu”,ucap ibu sambil melepaskan genggaman tanganku.

Walaupun ibu terlihat tidak setuju, aku tetap meyakinkan ibu, aku menceritakan asal-usul Kak Citra agar ibu tidak mengira dia orang jahat. Aku sudah menceritakan tentang Kak Citra dan Sani pun ibu tetap tidak percaya, aku sampai bilang kepada ibu, aku akan membawa orang tua Nia untuk menjelaskan tentang Kak Citra karena keluarga Nia dulu sangat dekat dengan keluarga Kak Citra. Akan tetapi ibu malah menyuruhku meminta izin kepada bapak karena semua keputusan ada ditangan bapak.

Setelah aku keluar dari kamar ibu, aku melihat bapak sedang memotong kayu di depan rumah. “Pak, Tari mau bicara sesuatu”, ucapku menunduk. Mendengar aku berbicara begitu saja, bapak sudah terlihat heran dan membuat badanku lemas dengan tatapannya. “Ada apa Tari, ayo cepat duduk”, ucap bapak. Ketika aku duduk, aku langsung bicara kepada bapak tentang pembicaraanku dengan Kak Citra tadi. Setelah mendengar aku bicara, awalnya bapak hanya terdiam sambil melanjutkan pekerjaannya. Aku mengira mungkin bapak sudah bosan melarang dan menasihatiku tentang masalah pendidikan ini karena dari awal aku selalu tidak setuju dengan keputusan bapak. Ketika aku berdiri hendak meninggalkan bapak, “Tari”,ucap bapak. Aku merasa sepertinya bapak akan mengizinkanku, kemudian bapak bicara lagi “Bapak tetap tidak akan mengizinkanmu”,ucap bapak membentak. Mendengar perkataan seperti itu, aku sudah tidak bisa menahan air mataku lagi, dengan cepat aku langsung berlari dan masuk kedalam kamar.

Aku menjatuhkan badanku ke atas kasur dengan keras lalu menangis. Kemudian aku membuka lemariku dan langsung menatap kertas-kertas kecil yang tertempel di belakang pintu lemari itu. Dan untuk kesekian kalinya aku meyakinkan diriku jika cita-cita dan harapanku untuk melanjutkan sekolah ke kota itu hanya sebuah hayalan seperti jerapah yang bisa hidup di air.

Tak terasa lusa akan melakukan ujian, selama seminggu kemarin pikiranku tidak karuan karena memikirkan bapak dan ibu yang tidak mengizinkanku pergi ke kota. Pagi ini aku disuruh ibu ke pasar untuk membeli sayuran, ternyata di pasar aku bertemu dengan Kak Citra, lagi dan lagi dia menanyakan bapak dan ibu. Dia juga memberitahu aku jika minggu depan semua mahasiswa akan pulang ke kota. Pikiranku bagai benang kusut dan hatiku seperti tertusuk duri mendengarnya. Tanpa basa-basi aku menyuruh Kak Citra datang ke rumahku pulang dari pasar untuk membicarakan kepergianku ke kota nanti. Demi aku, gadis yang baru dikenalnya, Kak Citra mau menuruti keinginanku untuk menemui ibu. Dia rela dimarahi ibu dan bapak jika nanti bertemu.

Sesampainya dirumahku, ternyata ibu dan bapak sedang tidak ada dirumah. Jadi, aku langsung mengajak Kak Citra masuk ke kamarku, entah apa yang aku rasa tetapi aku sangat tenang dan aman ketika Kak Citra ikut membantuku memperjuangkan cita-citaku padahal aku baru mengenalnya seminggu yang lalu.

Di kamar, aku menceritakan apa yang tadi terjadi denganku dan orangtuaku. Setelah mendengar ceritaku, awalnya Kak Citra melarangku untuk pergi tetapi setelah aku meyakinkan Kak Citra tentang cita-citaku yang aku inginkan dari dulu bahkan aku sampai membuka lemariku yang penuh tempelan selembar kertas impian itu, hanya untuk meyakinkan Kak Citra tentang cita-citaku, tetapi akhirnya Ka Citra berubah pikiran, ia akan membantuku meyakinkan ibu dan bapak .

Sekarang kita tinggal memikirkan bagaimana caranya aku bisa pergi ke kota jika aku tidak izinkan bapak dan ibu, atau mungkin aku akan nekat pergi tanpa izin orang tua. Beberapa menit kemudian rencana terbesit dipikiranku “Kak aku tau bagaimana cara aku pergi ke kota supaya tidak ketahuan ibu dan bapak”, ucapku berbisik. “Tidak ketahuan bapak dan ibu? Bagaimana? jangan bilang kamu akan kabur diam-diam”, ucap Kak Citra sambil menyipitkan mata. “Tapi cuma cara itu yang bisa bawa aku ke kota kak”,ucapku sambil memegang tangan Kak Citra. “Ijin orang tua itu sangat penting Ri, jangan sampai jalan yang kamu ambil ini salah dan nanti akan membuat kamu menyesal”, ucap Kak Citra sambil menatap mataku seperti menyelami mataku sampai ke hati. Aku terdiam sejenak dan berpikir cara apa yang harus aku ambil untuk bisa pergi ke kota, dengan pikiran yang tidak karuan dan niatku yang tetap ingin pergi ke kota, dengan kepala tertunduk aku meneteskan air mata dengan rasa sakit yang tidak bisa diungkapkan.

Melihat aku nangis tersedu-sedu, Kak Citra langsung memelukku dan berbicara didekat telingaku “Kakak akan bantu kamu untuk pergi ke kota setelah kamu selesai ujian, sambil kakak akan memikirkan cara yang tepat untuk pergi ke kota.”, ucap Kak Citra. Kemudian aku langsung melepaskan pelukan itu dan menatap Kak Citra dengan senyuman. Setelah itu, Kak Citra langsung keluar dari kamar tanpa aku antar ke depan karena mataku masih berkaca-kaca. Saat Kak Citra sudah keluar kamar, tiba-tiba ibu mengetuk pintu dan langsung masuk ke kamarku “Tari, siapa yang tadi baru saja dari rumah kita?”, ucap ibu sambil mengerutkan dahi. “Oh itu (pasti tadi ibu berpapasan dengan Kak Citra di depan, atau aku jujur saja ke ibu, tetapi nanti ibu pasti memarahi aku lagi. Aku nunggu waktu yang tepat saja buat cerita semuanya ke bapak dan ibu) temanku bu”, ucap ku berhenti sejenak karena memikirkan kejadian dalam hati. “Ibu kira itu orang jahat, yasudah kalau begitu ibu mau masak dulu”, ucap ibu sambil menutup pintu kamarku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun