“Lho, Bri?? Kok pergi??”
--- *** ---
Kamu benar-benar marah. Tidak satu pun telepon dariku yang kamu jawab. Pesan WA dariku juga tidak kamu balas.
Kamu juga menolak duduk dekat denganku setiap acara mingguan itu. Kamu enggan menatapku. Bila terpaksa, kamu seperti menatap mahluk paling hina di matamu. Jujur, aku tidak tahan dianggap begitu. Sama tidak tahannya dengan mendengarmu berdebat dengan teman-temanmu sendiri soal aku. Suaramu meninggi, sarat oleh emosi:
“Okay, fine! Gue yang parno dan lebay kalo gitu, ya?”
Aku harus tahu dari teman-temanmu mengenai yang pernah terjadi. Dari mereka, kutahu soal laki-laki itu. Sosok di masa lalu yang pernah menyakitimu.
Meski berhasil menciummu, setidaknya kamu takkan sudi membiarkannya memaksamu untuk melakukan yang lebih dari itu. Ini bukan masalah moral bagimu. Dia meminta terlalu banyak. Kamu sudah menetapkan pilihan dan laki-laki itu sama sekali tidak menghargaimu.
Rasa kagum sekaligus sedihku bertambah untukmu. Kagum, karena dengan tegas dan berani kamu menampik laki-laki sialan itu. Kamu bahkan tidak takut ditinggal pergi.
Sedih, karena kamu jadi takut bahwa laki-laki hanya mengincar tubuhmu. Aku tidak begitu...
--- *** ---
Kamu menerima buket mawar putih dan boneka beruang besar berwarna cokelat muda di depan pintu rumahmu. Ada amplop tersemat di antara tangan boneka. Kamu duduk di beranda depan dan membukanya. Suratku kamu baca.