Mohon tunggu...
Ruby Astari
Ruby Astari Mohon Tunggu... Penulis - Penulis, penerjemah, pengajar Bahasa Inggris dan Indonesia, pembaca, dan pemikir kritis.

"DARI RUANG BENAK NAN RIUH": Untuk menjelaskan perihal penulis yang satu ini, cukup membaca semua tulisannya di sini (dan mungkin juga di tempat lain). Banyak dan beragam, yang pastinya menjelaskan satu hal: Ruang benaknya begitu riuh oleh banyak pemikiran dan perasaan. Ada kalanya mereka tumpang-tindih dan bukan karena dia labil dan irasional. Seringkali daya pikirnya melaju lebih cepat dari tangannya yang menciptakan banyak tulisan. Penulis juga sudah lama menjadi ‘blogger yang kecanduan’. Samai-sampai jejak digital-nya ada di banyak tempat. Selain itu, penulis yang juga pengajar bahasa Inggris paruh-waktu, penerjemah lepas, dan penulis lepas untuk konten situs dapat dipesan jasanya secara khusus di Kontenesia (www.kontenesia.com). Bisa sekalian beramal lagi untuk setiap transaksi (terutama selama bulan Ramadan ini) : http://kontenesia.com/kontenesia-donasi-ramadan/ https://www.facebook.com/kontenesia/posts/287945154884094?__mref=message R.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] "Celaka, Aku Masih Mencintaimu!"

2 Oktober 2015   08:35 Diperbarui: 2 Oktober 2015   09:00 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ruby Astari, No:83

Celaka, sepertinya aku masih mencintaimu! Darimana kutahu? Dari sejak kamu memberitahuku mengenai kedatanganmu ke pernikahan teman kita di sini...dan ajakanmu agar aku pergi denganmu. Waktu itu, tentu saja aku mau. Tak hanya itu, aku bahkan praktis menghabiskan sepanjang akhir pekan itu denganmu.

            Lalu, bagaimana denganmu? Apakah kamu tahu juga perasaanku?

            Ya, tahun lalu. Sebelum kamu pindah ke luar kota di lain pulau, aku sempat memberikan sesuatu. Tiga lembar, lima halaman surat itu kuselipkan di antara halaman buku yang pernah kupinjam darimu. Kutinggalkan buku itu di meja kerjamu malam itu, sebelum kabur seperti pengecut.

            Tentu saja kamu membacanya. Kukira kamu akan marah padaku. Syukurlah, kamu hanya menolakku baik-baik, dengan alasan kamu tidak sedang memikirkan hal itu. Meski sedih, aku mengerti. Kamu baru saja putus dengan pacar terakhirmu. Kamu butuh waktu.

            Lagipula, kita berdua sudah dewasa, sama-sama harus realistis. Entah bagaimana denganmu, tapi aku enggan dengan hubungan jarak jauh. Kamu sudah muak dengan sesaknya kota ini, sementara aku tidak yakin mau pindah hanya demi mengikutimu belaka.

            Kamu memang lelaki yang baik. Kamu tetap memperlakukanku seperti biasa. (Ada temanku yang tidak seberuntung aku, langsung dijauhi lelaki pujaannya begitu tahu temanku mencintainya. Benar-benar kekanak-kanakan!)

            Mungkin, karena itulah aku merasa benar-benar kehilangan saat akhirnya kamu berpamitan padaku...

-***-

            Celaka, sepertinya aku masih mencintaimu! Tahukah kamu? Haruskah aku memberitahumu?

            Kata mereka begitu. Percuma bila aku tetap membisu. Namun, lidahku seringkali kelu. Hatiku berat oleh ragu. Rasa takut membuat keberanianku membeku. Untunglah, dari tampak luar aku masih berusaha keras agar tidak jadi bersikap kaku di hadapanmu.

            Seperti sebelumnya, kata mereka aku tidak punya banyak waktu. Kali ini, tidak setiap hari kita bisa bertemu. (Astaga, kemana saja aku dulu, sewaktu kamu masih dekat denganku?)

            Entahlah. Yang kutahu, aku sangan senang saat kamu mengajak bertemu. Sabtu sore itu, kita berdua duduk dan minum kopi sambil mengobrol, seperti dulu. Padahal, setahun lebih sudah berlalu. Lihat, kamu bahkan masih mengantarku pulang setelahnya, layaknya seorang gentleman sejati. Kamu juga masih ingat tempat tinggalku.

            Aku sangat terkesan. Tak hanya itu, aku sangat bahagia.

            “Kujemput jam sembilan nanti malam, ya?” janjimu sambil mengecup pipiku. Kamu baru mau beranjak pergi saat aku sudah di balik gerbang dengan aman.

            Bagi orang Indonesia, mungkin yang kamu lakukan barusan seperti memberi ‘harapan’. Namun, aku tahu bahwa itu hal biasa bagi lelaki Barat. Meski demikian, aku percaya bahwa kamu masih memperlakukanku dengan hormat. Kamu bukan lelaki yang akan memaksa.

            Malam itu, kita nongkrong bareng teman-teman lama kita setelah makan malam. Kukira mereka sedikit bertanya-tanya mengenai kemunculan kita berdua. Bahkan, sahabatmu yang berambut merah juga terang-terangan bilang padaku bahwa seharusnya kamu menikahiku saja sekalian. Entah bagaimana pendapatmu soal itu. Kamu, yang telah terlalu sering terluka oleh masa lalu.

            Kamu, yang ternyata belum bisa melupakannya – bahkan setelah setahun berlalu.Memang, kalian berdua masih berteman baik. Itu hakmu.

            Mata birumu tak bisa bohong saat bercerita tentangnya malam itu. Kamu masih sangat mencintainya.

            Mungkin karena itulah, akhirnya aku batal jujur soal perasaan cintaku yang belum juga berlalu. Namun, aku tetap memasang senyum saat menemanimu ke pernikahan teman kita...dan Senin itu, hari terakhirmu di kota ini.

            “Berbahagialah.” Hanya itu yang kukatakan padamu saat kita akhirnya berpisah. Jawabmu: “Kamu juga.”

            Dasar sial, kenapa juga aku masih mencintaimu seperti ini?

            Mungkin suatu saat kamu akan membaca ini dan tahu. Mungkin mereka yang akan memberitahumu, begitu sadar siapa sosok bermata biru yang terlalu sering kusebut dalam banyak tulisanku...

Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (cantumkan link akun Fiksiana Community tersebut di setiap karya Anda).

Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community (cantumkan link FB tersebut di karya Anda)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun