Ruby Astari, No:83
Celaka, sepertinya aku masih mencintaimu! Darimana kutahu? Dari sejak kamu memberitahuku mengenai kedatanganmu ke pernikahan teman kita di sini...dan ajakanmu agar aku pergi denganmu. Waktu itu, tentu saja aku mau. Tak hanya itu, aku bahkan praktis menghabiskan sepanjang akhir pekan itu denganmu.
           Lalu, bagaimana denganmu? Apakah kamu tahu juga perasaanku?
           Ya, tahun lalu. Sebelum kamu pindah ke luar kota di lain pulau, aku sempat memberikan sesuatu. Tiga lembar, lima halaman surat itu kuselipkan di antara halaman buku yang pernah kupinjam darimu. Kutinggalkan buku itu di meja kerjamu malam itu, sebelum kabur seperti pengecut.
           Tentu saja kamu membacanya. Kukira kamu akan marah padaku. Syukurlah, kamu hanya menolakku baik-baik, dengan alasan kamu tidak sedang memikirkan hal itu. Meski sedih, aku mengerti. Kamu baru saja putus dengan pacar terakhirmu. Kamu butuh waktu.
           Lagipula, kita berdua sudah dewasa, sama-sama harus realistis. Entah bagaimana denganmu, tapi aku enggan dengan hubungan jarak jauh. Kamu sudah muak dengan sesaknya kota ini, sementara aku tidak yakin mau pindah hanya demi mengikutimu belaka.
           Kamu memang lelaki yang baik. Kamu tetap memperlakukanku seperti biasa. (Ada temanku yang tidak seberuntung aku, langsung dijauhi lelaki pujaannya begitu tahu temanku mencintainya. Benar-benar kekanak-kanakan!)
           Mungkin, karena itulah aku merasa benar-benar kehilangan saat akhirnya kamu berpamitan padaku...
-***-
           Celaka, sepertinya aku masih mencintaimu! Tahukah kamu? Haruskah aku memberitahumu?
           Kata mereka begitu. Percuma bila aku tetap membisu. Namun, lidahku seringkali kelu. Hatiku berat oleh ragu. Rasa takut membuat keberanianku membeku. Untunglah, dari tampak luar aku masih berusaha keras agar tidak jadi bersikap kaku di hadapanmu.