Seperti sebelumnya, kata mereka aku tidak punya banyak waktu. Kali ini, tidak setiap hari kita bisa bertemu. (Astaga, kemana saja aku dulu, sewaktu kamu masih dekat denganku?)
Entahlah. Yang kutahu, aku sangan senang saat kamu mengajak bertemu. Sabtu sore itu, kita berdua duduk dan minum kopi sambil mengobrol, seperti dulu. Padahal, setahun lebih sudah berlalu. Lihat, kamu bahkan masih mengantarku pulang setelahnya, layaknya seorang gentleman sejati. Kamu juga masih ingat tempat tinggalku.
Aku sangat terkesan. Tak hanya itu, aku sangat bahagia.
“Kujemput jam sembilan nanti malam, ya?” janjimu sambil mengecup pipiku. Kamu baru mau beranjak pergi saat aku sudah di balik gerbang dengan aman.
Bagi orang Indonesia, mungkin yang kamu lakukan barusan seperti memberi ‘harapan’. Namun, aku tahu bahwa itu hal biasa bagi lelaki Barat. Meski demikian, aku percaya bahwa kamu masih memperlakukanku dengan hormat. Kamu bukan lelaki yang akan memaksa.
Malam itu, kita nongkrong bareng teman-teman lama kita setelah makan malam. Kukira mereka sedikit bertanya-tanya mengenai kemunculan kita berdua. Bahkan, sahabatmu yang berambut merah juga terang-terangan bilang padaku bahwa seharusnya kamu menikahiku saja sekalian. Entah bagaimana pendapatmu soal itu. Kamu, yang telah terlalu sering terluka oleh masa lalu.
Kamu, yang ternyata belum bisa melupakannya – bahkan setelah setahun berlalu.Memang, kalian berdua masih berteman baik. Itu hakmu.
Mata birumu tak bisa bohong saat bercerita tentangnya malam itu. Kamu masih sangat mencintainya.
Mungkin karena itulah, akhirnya aku batal jujur soal perasaan cintaku yang belum juga berlalu. Namun, aku tetap memasang senyum saat menemanimu ke pernikahan teman kita...dan Senin itu, hari terakhirmu di kota ini.
“Berbahagialah.” Hanya itu yang kukatakan padamu saat kita akhirnya berpisah. Jawabmu: “Kamu juga.”
Dasar sial, kenapa juga aku masih mencintaimu seperti ini?