24 Juli 2023
BENGKULU - Dalam rangka memperingati Hari Dharma Karya Dhika ke-78 Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Tahun 2023, Badan Strategi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia menyelenggarakan kegiatan Seminar Nasional pada senin (24/7).
Seminar dengan tema Menyongsong berlakunya Hukum yang Hidup dalam Masyarakat berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut diadakan secara daring dan dihadiri oleh seluruh Pimpinan Tinggi Madya, Pimpinan Tinggi Pratama Unit Utama, Kepala Kantor Wilayah dan Pimpinan Pratama Kantor Wilayah di 33 Provinsi di Indonesia. Selain itu kegiatan ini dihadiri beberapa instansi luar seperti Divisi Hukum Polri, Bareskrim Polri, Jampidum dan Jampidsus Kejaksaan Agung, Biro Hukum Pemprov DKI, Perwakilan Kampus dan Universitas di Jakarta.
Serta turut diikuti secara online oleh Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Bengkulu yang dalam hal ini dihadiri oleh Kepala Rutan, Farizal Antony beserta staf pegawai. Â
Kegiatan tersebut dibuka oleh Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H. Laoly, dimana dalam sambutannya beliau memaparkan bahwa lahirnya KUHP merupakan suatu pencapain dari kerja keras anak bangsa untuk terlepas dari produk hukum warisan kolonial Belanda yang dinilai sudah tidak relevan bagi masyarakat Indonesia. Untuk itu Yasonna berharap acara seminar tersebut dapat memberikan kontribusi psoitif terhadap pembaharuan hukum pidana di Indonesia.
"Pengesahan RKUHP menjadi KUHP merupakan suatu pencapaian positif bagi bangsa Indonesia untuk terlepas dari produk hukum warisan kolinial Belanda yang tentunya sudah tidak relevan bagi masyarakat Indonesia. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP telah mengatur mengenai hukum yang hidup dalam masyarakat. Untuk itu hal ini perlu menjadi bahan pemikiran mengenai mekanisme penggabungan norma-norma pidana adat dalam penerapan hukum pidana. Karena itu melalui narasumber-narasumber yang hadir pada hari ini saya berharap dapat memberikan kontribusi positif terhadap Pembaharuan Hukum Nasional," ujar Menkumham.
Sementara itu Kepala Badan Strategi Kebijakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Y. Ambeg Paramarta dalam laporannya menyampaikan seminar nasional tersebut adalah sebagai momen Sosialisasi UU No. 1 Tahun 2023 tentang KUHP dan Mengidentifikasi kebutuhan substansi dan materi muatan Hukum yang Hidup dalam Masyarakat sebagai bahan rekomendasi kebijakan dalam pembentukan Peraturan Pemerintah (PP) tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat.
"Dari seminar ini diharapkan dapat menginventarisasi sumbang pemikiran dalam rangka pembentukan PP tentang tata cara dan kriteria penetapan hukum yang hidup dalam masyarakat, yang nantinya akan menjadi pedoman bagi pemerintah daerah dalam menyusun Peraturan Daerah terkait hukum yang hidup dalam masyarakat, serta menjadi pemicu bagi pihak-pihak terkait untuk melakukan diskusi lanjutan yang bertujuan untuk merumuskan materi muatan dalam PP ini.Â
Karena itu Seminar Nasional ini menjadi ajang penting untuk membahas berbagai aspek penting terkait penerapan undang-undang pidana baru yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 dimana undang-udang ini telah membawa perubahan mendasar dalam sistem hukum pidana di Indonesia, sehingga relevansi dan pemahaman yang mendalam sangat diperlukan untuk menerapkannya secara efektif," ujar Ambeg.
Seminar ini juga menghadirkan langsung Wakil Menteri Hukum dan HAM RI, Edward Omar Sharif Hiariej sebagai keynote speaker serta sejumlah narasumber yang merupakan pakar hukum seperti Hakim Agung Mahkamah Agung RI, Prim Haryadi, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Pujiono, Dosen Hukum Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirta Yasa, Ferry Fathurokhman, Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform, Erasmus A.T. Napitupulu serta dipandu oleh Prita Laura selaku Moderator.
Pada kesempatan tersebut Wamenkumham memaparkan bahwa sejatinya Indonesia telah sejak lama memiliki hukum yang hidup di masyarakat. Dimana hal ini termuat dalam buku Pengantar Hukum Pidana Hindia Belanda yang ditulis oleh J.E Yonkers dan terbit pada tahun 1947. Didalam buku tersebut menurut Wamenkumham dijelaskan bahwa pemberlakuan kodefikasi hukum di wilayah Hindia Belanda yang diberlakukan sejak 1918 sebetulnya tidak dapat diterapkan begitu saja dikarenakan di wilayah tersebut terdapat hukum yang hidup di dalam masyarakat.
"Dari sekian banyak buku tentang hukum pidana yang pernah saya baca, ada satu buku yang judulnya berbeda, yakni buku karangan J.E Yonkers. Buku ini memiliki judul Pengantar Hukum Pidana Hindia Belanda yang diterbitkan pada tahun 1947.Â
Dalam buku tersebut, Yonkers menuliskan kira-kira pemberlakukan kodefikasi hukum di wilayah Hindia Belanda yang telah dilakukan sejak tahun 1918 sebetulnya tidak dapat diterapkan begitu saja karena Hindia Belanda memiliki hukum yang hidup di masyarakat. Yonkers sendiri pernah menjabat sebagai Hakim Tinggi di Pengadilan Maros, Sulawesi Selatan selam 10 Tahun, jadi dia tidak hanya memahami hukum pidana Indonesia tapi juga hukum yang hidup di masyarakat," terang Eddy Hiariej.
Lebih jauh, Wamenkumham juga menegaskan bahwa pemberlakukan hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagaimana ketentuan pasal 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP memang menjadi perdebatan baik dikalangan pemerintah, ahli hukum maupun masyarakat sebelum disahkan menjadi undang-undang. Memasukkan unsur hukum adat dalam ketentuan pidana menurut Eddy menjadi suatu hal yang rumit mengingat hukum adat tidak memiliki unsur yang secara ekspresif verbis ditulis dalam pasal. Karena itu lanjut Eddy pemahaman terkait penerapan pasal 2 tentang hukum yang hidup dimasyarakat tidak dapat dilepaskan dengan ketentuan pasal 12 dan pasal 51 undang-undang tersebut.
"Pidana adat, termasuk di dalamnya hukum yang hidup dimasyarakat hanya punya elemen tapi tidak memiliki unsur yang secara ekspresif verbis ditulis dalam pasal. Tentu ini pastinya akan menyulitkan penuntut umum untuk membuktikan suatu tindak pidana yang tidak secara ekspresif verbis dituliskan dalam undang-undang. Karena itu ketika berbicara mengenai pasal 2, maka tidak bisa lepas dari pasal 12 dan pasal 51 tentang pedoman pemidanaan. Pedoman pemidanaan dimana salah satunya hukum yang hidup di masyarakat dapat digunakan oleh hakim untuk menjatuhkan pidana atau tidak menjatuhkan pidana.Â
Oleh karena itu perlu saya sampaikan bahwa terkait keberadaan hukum yang hidup dalam masyarakat, hukum pidana adat itu merupakan bagian dari hukum yang hidup dalam masyarakat tetapi tidak semua hukum yang hidup dalam masyarakat itu pidana adat," tegas Eddy Hariej.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H