Mohon tunggu...
Rubeno Iksan
Rubeno Iksan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah S1 di Universitas Negeri Semarang

Pena lebih tajam daripada pedang

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Ilusi Negara Agraris

21 Maret 2024   21:38 Diperbarui: 21 Maret 2024   23:56 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika menjelang bulan Ramadhan maupun Idul Fitri, kenaikan harga bahan pokok sudah menjadi momok yang paling menakutkan bagi pelaku usaha kuliner maupun masyarakat biasa yang menjadikan beras sebagai makanan pokok mereka. Beras, yang menjadi makanan pokok bagi orang-orang Indonesia dan negara-negara Asia lainnya ini, seringkali mengalami lonjakan harga di pasaran. 

Pada tahun 2024 saja, harga beras premium mengalami lonjakan harga di tingkat nasional. Meskipun Badan Pangan Nasional telah menetapkan harga standar (HET) beras (per kilogram) berdasarkan zona, yaitu Zona 1 (Indonesia Barat, Rp10.900 untuk beras medium dan Rp13.900 untuk beras premium), Zona 2 (Indonesia Tengah, Rp11.500 untuk beras medium dan 14.400 untuk beras premium), dan Zona 3 (Indonesia Timur, Rp11.800 untuk beras medium dan Rp14.800 untuk beras premium), namun lonjakan-lonjakan harga tidak dapat terhindarkan. 

Per tanggal 4 Maret, harga beras medium naik menjadi Rp14.480 apabila dibandingkan dengan tahun lalu. Hal serupa juga dialami oleh komoditas lainnya seperti bawang merah yang melonjak hingga tembus ke angka Rp34.600 per kg dan bawang putih yang mencapai Rp39.730 per kg. 

Yang menjadi sebuah ironi, Indonesia selalu membuat personal branding sebagai salah satu negara agraris di mata dunia. Namun, pemerintah dari masa ke masa, tidak terlalu memperhatikan hidup para petani dan tidak berminat dalam pengembangan teknologi dan industri pertanian, dengan pengecualian yaitu ketika pemerintahan Soekarno dan Soeharto. 

Pada tahun 1952, Soekarno mendirikan dan mengembangkan sebuah institut pertanian di Bogor, yang kini dikenal sebagai IPB University. Awalnya, IPB adalah kampus 'satelit' dari Universitas Indonesia, namun pada akhirnya memisahkan diri pada tahun 1960an. Setelah Soekarno lengser, Soeharto tetap memberikan perhatian kepada sektor pertanian, tidak hanya berkutat pada industrialisasi besar-besaran. Di tahun 1984, Soeharto berhasil membuat Indonesia sebagai salah satu negara agraris di Asia Tenggara yang mampu melakukan swasembada pangan tanpa campur tangan negara lain. Bahkan, kehebatan Orde Baru dalam mengelola pertanian juga diakui oleh FAO, organisasi internasional yang bergerak di bidang pertanian dan pangan, pada tahun 1985.

Setelah Orde Baru runtuh, tidak ada lagi upaya berarti dalam melanjutkan upaya-upaya presiden sebelumnya untuk mempertahankan image Indonesia sebagai negara agraris. Petani seolah-olah kehilangan marwahnya, lahan pertanian digusur dan diganti dengan kebun, gedung-gedung bertingkat, serta tidak ada upaya yang serius untuk mengatasi kelangkaan pangan. Jika ada kelangkaan pangan, tinggal salahkan alam dan rakyat! 

Petani dan veteran perang: dua golongan yang terbuang

Ilustrasi petani sedang menanam padi. (Reuters)
Ilustrasi petani sedang menanam padi. (Reuters)

Apabila di luar negeri, petani dan veteran perang sangat diperhatikan serta diberikan jatah pensiun, di Indonesia, kedua golongan ini dapat dikatakan 'tidak tersentuh' oleh pemerintah. Pemerintah hanya berfokus pada industrialisasi besar-besaran dan investasi asing, serta berlomba-lomba untuk membangun sebuah proyek yang megah (seperti IKN dan kereta cepat), daripada memperhatikan nasib para petani dan veteran perang. 

Di 'negara agraris' ini, tidak ada minat yang berarti untuk membenahi sektor pertanian dan generasi saat ini pun tidak ada yang memiliki cita-cita sebagai petani maupun ahli di bidang agroteknologi. Menurut data dari Katadata, hanya 6 dari 100 generasi Z - yang mendominasi demografi Indonesia saat ini - yang memiliki minat untuk menjadi petani. Menurut responden, hampir 36 persen anak muda tidak mau jadi petani karena tidak memiliki tempat untuk pengembangan karir. Sebanyak 33 persen responden menganggap bahwa petani memiliki pekerjaan yang penuh resiko. Sisanya, para responden menganggap bahwa petani merupakan salah satu pekerjaan yang tidak dihargai, seperti para pemulung. 

Selain petani, veteran perang juga memiliki nasib yang serupa. Memang ada beberapa veteran perang yang hidupnya cukup mapan, namun ada beberapa yang tidak terlalu diperhatikan oleh pemerintah. Biasanya, veteran-veteran yang 'terbuang' ini, pangkatnya terletak di bawah jenderal atau yang setingkat dengan itu. Apabila dilihat dari realitas sosial saat ini, artis-artis TikTok, sebut saja seperti Satria 'Cogil' Mahatir yang tersangkut kasus pengeroyokan beberapa waktu lalu ini, lebih digandrungi oleh anak-anak muda , bahkan ada pula yang diundang ke sebuah acara televisi seperti Fajar 'Sadboy' beberapa tahun yang lalu. 

Bergesernya fungsi ITB: dari universitas pertanian ke PTN-BH biasa 

Ilustrasi mahasiswa IPB. (Merdeka.com)
Ilustrasi mahasiswa IPB. (Merdeka.com)

Sebetulnya, universitas yang kini dikenal sebagai IPB University ini memang dirancang untuk mencetak sarjana-sarjana yang menekuni ilmu-ilmu seputar pertanian dan perkebunan, bukan sebagai kampus 'limpahan' bagi orang-orang yang tidak diterima di PTN non-pertanian seperti UI, Unpad, Undip, UB, dan sejenisnya (mereka juga memiliki fakultas pertaniannya masing-masing), mengingat IPB University, sama seperti ITB, juga memiliki fakultas ekonomi dan bisnis (FEB) dan fakultas kedokteran. 

Gelombang pembukaan fakultas kedokteran (FK) di universitas yang bukan 'tempatnya' seperti di IPB University ini mengubah pemikiran orang-orang tentang universitas tersebut, yang sebelumnya dirancang sebagai institut pertanian. 

IPB pada awalnya adalah sub-unit Fakultas Pertanian Universitas Indonesia, yang didirikan pada tahun 1952 dan kemudian pisah pada tahun 1960an, sebagai upaya awal Presiden Soekarno untuk membuat personal branding Indonesia sebagai negara agraris. Bung Karno membuat dan mengembangkan institut tersebut sebagai salah satu terobosan baru dalam mengatasi kelangkaan pangan pasca-revolusi, dengan mencetak sarjana-sarjana pertanian. 

Hingga tahun 2001, hampir seluruh fakultas di IPB berkaitan dengan ilmu-ilmu pertanian, perkebunan, dan peternakan. Semua berubah ketika Fakultas Ekonomi dan Manajemen berdiri di tempat yang 'tidak seharusnya' itu. Selanjutnya, Fakultas Kedokteran dibuka di institut pertanian tersebut, pada tahun 2022, dibentuk dan disahkan sesuai dengan adanya UU Pendidikan Kedokteran yang baru. Semenjak itu, IPB University dapat dikatakan betul-betul berubah drastis. 

Hal tersebut membuktikan bahwa pemerintah tidak memiliki perhatian khusus di bidang pertanian, perkebunan, dan peternakan serta tidak memiliki minat untuk mengembangkan teknologi pertanian, peternakan, dan perkebunan serta membiarkan lahan-lahan pertanian digantikan dengan tanaman-tanaman beton, seperti kawasan industri. Solusi yang ditawarkan oleh pemerintah untuk mengatasi dan mencegah kelangkaan pangan, hanya membangun bendungan-bendungan megah tanpa memikirkan sesuatu untuk menanggulangi bencana pangan melalui pendekatan agroteknologi. Sekilas, pembangunan waduk dan jaringan irigasi dapat membantu petani dalam menggemburkan tanah dan menumbuhkan bibit-bibit padi dan palawija, namun hanya dalam jangka pendek. Apabila terjadi musim kemarau dan hama-hama muncul, bibit tersebut tidak tumbuh atau layu. 

Lucunya, apabila terjadi kenaikan harga bahan pokok dan kelangkaan pangan, yang keluar dari mulut seorang menteri pertanian maupun para pejabat yang menangani masalah pangan, adalah: 'Itukan karena hujan, blablabla....'. Intinya, dengan menyalahkan alam dan rakyat, semua masalah dapat selesai dengan secepat kilat. 

'Negara agraris' hanyalah sebuah paradoks!

Sebagai sebuah negara agraris, suatu negara harus bisa mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangannya. Negara juga harus bisa mengatur keberlangsungan hidup para petani dan dapat mencegah segala macam bentuk kecurangan dalam proses distribusi bahan-bahan pangan, seperti beras. 

Sebagaimana yang telah diketahui sebelumnya, kenaikan harga bahan pangan dipengaruhi oleh alur distribusi, kuantitas, dan cuaca. Semakin sulit alur distribusi bahan pangan, semakin mahal juga harga bahan pangan tersebut, seperti beras. Maka tidak heran, harga beras di Indonesia lebih mahal dibandingkan Myanmar, padahal Myanmar lebih miskin dari Indonesia. Selain itu, kuantitas juga memengaruhi harga bahan pangan, apabila menggunakan teori supply and demand. Apabila permintaan naik sementara stok barang yang dimiliki hanya sedikit, harga barang tersebut akan naik. Faktor terakhir adalah cuaca, namun faktor ini bisa disiasati dengan berbagai riset yang berkaitan dengan pertanian (agroteknologi). 

Tidak cukup sampai di situ, perubahan sistem ekonomi Indonesia yang sebelumnya hanya berkutat pada ekonomi agraris menjadi ekonomi industri dan jasa, membuat sawah-sawah hilang satu per satu, digantikan dengan bangunan-bangunan pencakar langit maupun pabrik-pabrik. Bahkan, ada juga yang tergantikan dengan perkebunan besar yang dikelola oleh perusahaan perkebunan besar, baik yang berbasis di Indonesia maupun investor asing. 

Dengan demikian, Indonesia yang dipuja-puja sebagai salah satu 'negara agraris' selama ini, hanyalah omong kosong belaka. Ketika harga bahan pangan naik, justru yang disalahkan adalah alam dan rakyat. Padahal, masalah tersebut berasal dari mismanajemen dan minimnya anggaran riset dan pengembangan teknologi pertanian (agroteknologi). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun