Mohon tunggu...
Rubeno Iksan
Rubeno Iksan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Sejarah S1 di Universitas Negeri Semarang

Pena lebih tajam daripada pedang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Perlukah Universitas Melarang Keberadaan Dosen yang "Killer"?

20 November 2023   14:25 Diperbarui: 26 November 2023   00:21 1155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan salah satu perguruan tinggi negeri favorit yang menjadi incaran para lulusan SMA dari berbagai daerah selain Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Brawijaya (UB), maupun Universitas Diponegoro (Undip). 

Perguruan tinggi negeri yang berlokasi di Yogyakarta ini baru saja viral di media sosial karena mengeluarkan kebijakan yang tidak biasa: pelarangan para dosen 'killer' di lingkungan perkuliahan. 

Di antara PTN yang tersebar dari seluruh Indonesia, mungkin baru UGM yang mengeluarkan keputusan tersebut. Namun, perlu diketahui bahwa keputusan tersebut disahkan bukan tanpa alasan. 

Menurut Wakil Rektor bidang Pendidikan dan Pengajaran UGM, Prof. Wening Udasmoro, keputusan ini didasari atas keinginan UGM untuk memperhatikan kesehatan mental mahasiswa sehingga potensi bunuh diri yang akhir-akhir ini sedang membanjiri jagat maya tersebut dapat ditekan. 

Dosen killer: salah satu tipe dosen yang tidak disukai dalam perkuliahan

Di setiap universitas, tepatnya di masing-masing program studi (prodi), mahasiswa biasanya menemui dosen-dosen yang beragam kepribadiannya. Ada yang friendly, biasa saja, sepuh, bahkan ada yang killer. 

Dosen yang friendly biasanya paling disukai mahasiswa, terutama saat mengajar, memberikan penugasan, maupun bimbingan proposal penelitian (sempro). 

Dosen ini biasanya suka diajak bercanda layaknya kepada teman sesama mahasiswa dan gaya penyampaian materi yang digunakan cukup menarik sehingga materi yang disampaikan dosen dapat diterima oleh semua mahasiswa. 

Biasanya, dosen yang friendly terhadap mahasiswa merupakan dosen yang masih berusia sangat muda (antara umur 30-40 tahun, bahkan ada yang menginjak usia 50). 

Namun, perlu digaris bawahi, seorang dosen yang ramah bukan berarti dosen itu santai atau tidak memberikan tugas sama sekali, layaknya dosen pada umumnya. 

Seorang dosen yang masuk dalam tipe ini biasanya memberikan tugas dengan deadline yang tertera, cenderung disiplin, dan memeriksa tugas dari para mahasiswa dengan teliti melalui aplikasi-aplikasi penunjang, seperti Turnitin. 

Adapun dosen yang killer, baik dosen sepuh maupun muda ada juga yang memiliki kepribadian yang super killer. Dosen ini terkenal dengan disiplinnya yang keras, mulai dari kehadiran (termasuk toleransi keterlambatan), penugasan, hingga pakaian yang digunakan mahasiswa. 

Layaknya seorang komandan di Akpol maupun Akmil, dosen killer biasanya 'galak' dengan mahasiswa dan terkesan 'pelit nilai', padahal seorang mahasiswa yang mengikuti perkuliahan yang diampu oleh dosen tersebut presensinya 100% dan mengerjakan tugas yang diberikan dosen dari awal hingga akhir pertemuan. Kepribadiannya pun terkesan dingin, 11-12 lah sama Thomas Shelby di serial Peaky Blinders.

Namun, perlu diketahui, tidak selamanya dosen killer memiliki dampak negatif ke mahasiswanya. Ada juga sedikit dampak positif yang terkandung, misalnya dalam hal kedisiplinan. 

Dosen menuntut mahasiswanya untuk disiplin sebagai persiapan untuk masuk ke dunia kerja, yang tekanannya lebih keras daripada lingkungan perkuliahan. 

Kesehatan mental dan kerentanan bunuh diri dalam lingkungan perkuliahan

Caroline Angelica bersama teman-temannya. Padahal, menurut temannya, ia jauh dari kata bundir. (Sumber: Jawapos)
Caroline Angelica bersama teman-temannya. Padahal, menurut temannya, ia jauh dari kata bundir. (Sumber: Jawapos)

Kita tentu masih ingat kejadian yang menghebohkan dunia pendidikan beberapa waktu lalu, ketika seorang mahasiswi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga yang bunuh diri menggunakan gas helium yang dialiri dari tabung menuju bagian kepalanya. Ketika penemuan mayat tersebut, polisi menemukan secarik kertas yang berisi curhatannya semasa hidup. 

Dalam surat yang ditulis oleh Caroline tersebut, ia mengatakan bahwa dirinya adalah manusia yang bodoh, tidak memiliki masa depan yang jelas, dan ia tidak terlalu pintar sebagaimana yang dipikirkan oleh orang tua dan teman-temannya. 

Kemungkinan besar, ia tertekan karena lingkungan perkuliahan yang sangat padat jadwal dan keras. Apalagi, semasa hidupnya, Caroline tidak hanya berkuliah, namun juga bekerja dan membantu adiknya. 

Hal inilah yang menjadi sorotan dalam dunia pendidikan, terutama pendidikan tinggi, seolah-olah perguruan tinggi tidak peduli akan kesehatan mental mahasiswa. 

Terutama bagi generasi Z yang dikenal sangat memperhatikan kesehatan mentalnya dalam berbagai aspek serta dinilai mudah rapuh. Menurut laporan CDC (seperti dinas kesehatan di Amerika Serikat), generasi Z di Amerika Serikat selama pandemi memiliki angka bunuh diri yang tinggi selama 50 tahun terakhir, dengan angka 56%. 

Di Indonesia sendiri, angka bunuh diri Indonesia per tahun 2023 berjumlah 663 kasus, apabila merujuk pada data milik kepolisian yang dirunut dari bulan Januari hingga Juli. 

Penyebabnya beragam, ada yang didasari atas motif ekonomi, bahkan ada juga yang disebabkan oleh tekanan mental di lingkungan perkuliahan maupun kerja. 

Lingkungan perkuliahan rentan membuat mahasiswa bunuh diri karena mahasiswa biasanya dihadapkan pada tekanan-tekanan akademik seperti tugas-tugas yang bersifat umum, tugas proyek, ujian, hingga tugas akhir (D3 dan D4) dan skripsi (S1). 

Belum lagi tekanan-tekanan dari luar seperti orang tua yang perfeksionis (menginginkan anaknya menjadi lebih sempurna sesuai kemauan orang tua, misalnya sang anak harus mendapat IPK 4.0 dan lulus dengan predikat summa cum laude.

Kalau kurang dari 4.0 ga boleh pulang ke kampung halaman) maupun masalah internal keluarga (misalnya pisah ranjang/cerai). Faktor terakhir adalah tekanan-tekanan psikologis akibat bullying baik oleh teman satu kelasnya maupun dari senior (kating). 

Tekanan-tekanan tersebut mengakibatkan mahasiswa memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup dengan berbagai cara, meskipun cara tersebut tidak masuk akal. Dalam kasus bullying, mahasiswa bisa berubah kepribadiannya menjadi antisosial bahkan bisa menjadi seorang psikopat yang kejam apabila tidak ditangani secara serius. 

Namun, perlu digarisbawahi bahwa tidak semua orang yang antisosial menjadi psikopat, dan orang-orang yang memiliki kepribadian psikopat sudah tentu antisosial. 

Salah satu langkah paling tepat bagi mahasiswa generasi Z 

Ilustrasi depresi. (Sumber foto: Shutterstock)
Ilustrasi depresi. (Sumber foto: Shutterstock)

Generasi Z (1996-2010) secara karakteristik hampir sama dengan generasi milenial (1980-90an) dalam hal penggunaan teknologi informasi dan komunikasi (ICT), namun selangkah lebih maju dibandingkan generasi milenial dalam hal pemikiran. 

Secara pemikiran, generasi Z lebih kreatif dan terbuka, namun lebih manja dan serba instan dibandingkan generasi-generasi sebelumnya, karena hidup di tengah gempuran teknologi. 

Apalagi dalam urusan kesehatan mental (mental health), generasi Z lebih concern dan aware dibandingkan generasi-generasi sebelumnya, karena generasi ini lebih rentan terhadap penyakit mental seperti depresi dan kurang percaya diri yang berujung pada aksi bunuh diri. 

Dengan demikian, pelarangan dosen yang 'killer' yang diberlakukan oleh UGM merupakan salah satu upaya preventif dalam menjaga kesehatan mental mahasiswa. 

Namun, apakah dengan pelarangan dosen-dosen yang 'killer' ini berdampak signifikan terhadap kedisiplinan mahasiswa? 

Apakah dengan pelarangan dosen yang 'killer' tersebut membuat mahasiswa bebas untuk tidak mengerjakan tugas dan menyepelekan dosen, seperti yang terjadi di lingkup pendidikan dasar dan menengah sekarang, yang di mana, anak didiknya bebas untuk menghina, merisak, bahkan membacok gurunya sendiri? 

Sebenarnya, pelarangan ini ibarat dua mata pedang. Di satu sisi, mahasiswa merasa tenang karena tidak terbebani oleh tugas-tugas yang tidak masuk akal dan dapat melakukan pekerjaan sampingan tanpa harus terbebani oleh tugas-tugas yang terlalu banyak.

 Dengan begitu, mahasiswa bisa mengembangkan potensinya di luar lingkungan perkuliahan seperti kemampuan berwirausaha. 

Akan tetapi, dengan pelarangan dosen yang 'killer' dan tegas dalam berbagai aspek, misalnya keterlambatan, pengumpulan tugas, maupun attitude, hal ini justru menjadi bumerang bagi para dosen. Maka jangan heran, ada mahasiswanya sendiri yang berani melawan dosennya, hanya karena masalah sepele. 

Bayangkan saja, di era disrupsi seperti ini, tenaga pendidik seolah tidak ada harganya. Guru pada zaman sekarang menjadi bahan pelampiasan para murid hanya karena masalah sepele, seperti nilai buruk, tersinggung karena ditegur, maupun masalah-masalah lainnya yang bersifat sepele. 

Begitupula di lingkungan perkuliahan, apabila dosen tidak bisa bersikap tegas (namun jangan terlalu tegas dan keras terhadap mahasiswa, alias ala kadarnya) kepada mahasiswa. Bisa saja, ketika menghadapi lingkungan kerja yang lebih keras, para mahasiswa tidak siap dalam menghadapi tekanan pekerjaan. 

Jadi, gimana menurut kalian? Apakah kalian setuju dengan adanya kebijakan ini? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun