Sudah sedari dulu, bangsa Palestina berjuang mempertahankan kemerdekaannya melawan pemerintah pendudukan Israel kurang lebih 70 tahun. Dengan senjata seadanya, orang-orang Palestina melawan tentara pendudukan Israel dengan batu dan senjata-senjata lainnya. Hal ini mengingatkan kita pada arek-arek Suroboyo yang berjuang melawan tentara Sekutu pada tanggal 10 November 1945, yang berjuang dengan bambu runcing diikuti dengan teriakan Allahuakbar seakan-akan mereka siap mati syahid demi melawan tentara Inggris yang dibonceng oleh tentara-tentara Belanda yang ingin menegakkan kembali pemerintahan kolonialnya di Nusantara. Atau para pejuang Bali yang dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai, meskipun beliau beragama Hindu, namun semangat juangnya tidak kalah tinggi dengan orang-orang Surabaya maupun Aceh. Pada tahun 1946, beliau dan pasukannya melakukan aksi puputan (bertempur hingga titik darah penghabisan) melawan pasukan pendudukan Belanda, meskipun pada akhirnya gagal memukul mundur tentara Belanda.Â
Secara historis, dapat disimpulkan bahwa antara Indonesia dan Palestina memiliki pertalian sejarah perjuangan dalam mencapai kemerdekaan, di samping pertalian agama. Antara Indonesia dan Palestina sama-sama pernah dijajah oleh kekuatan Barat dan juga oleh kepanjangan tangan dari Amerika Serikat. Indonesia dan Palestina juga sama-sama merupakan negeri mayoritas Muslim (bukan negara Islam seperti Arab Saudi) yang menggunakan prinsip demokrasi (karena sama-sama memiliki partai politik, dalam kasus Palestina partai politik tersebut berasal dari ideologi yang berbeda: Hamas, Fatah, hingga PFLP. Sementara Islamic Jihad lebih menekankan pada perjuangan bersenjata dibanding perjuangan di parlemen).Â
Lalu, bagaimana ikatan historis bisa mempererat hubungan antara Indonesia dan Palestina hingga saat ini?
Peran Mufti Al-Quds dan Ikhwanul Muslimin dalam Pengakuan Kemerdekaan Indonesia
Masih banyak orang yang salah kaprah terkait dengan hal ini, yang mengatakan bahwa yang mengakui kedaulatan Republik Indonesia di kancah internasional adalah negara Palestina. Kalimat ini tentunya sangat ahistoris, karena entitas Palestina sebagai nation-state belum ada. Hal ini sama saja dengan membahas tanam paksa (cultuurstelsel) pada tahun 1830-70 namun menggunakan keterangan tempat 'Indonesia'. Misalnya, ada seorang peneliti sejarah yang menulis sebuah catatan sejarah yang memakai judul 'Dampak Cultuurstelsel 1830-70 terhadap Masyarakat Indonesia'. Namun, dalam artikel ini, penulis tidak akan membahas lebih lanjut terkait dengan pendekatan-pendekatan yang ahistoris.Â
Pengakuan kedaulatan Republik Indonesia untuk pertama kalinya dilakukan pada bulan Maret 1946 di Kairo, Mesir. Kala itu, H. Agus Salim dikirim ke Mesir untuk menarik simpati dari negara-negara Timur Tengah, dengan bantuan Hassan al-Banna (pemimpin gerakan Ikhwan al-Muslimin) dan Mufti Al-Quds, yaitu Amin al-Hussaini yang berhasil menekan Raja Faruk agar mengakui kemerdekaan Indonesia.Â
Hasilnya, negeri-negeri Timur Tengah yang berpenduduk mayoritas Muslim lainnya mengakui kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 2 Juli 1947, Suriah mengikuti jejak Mesir. Beberapa hari kemudian, Iraq juga ikut serta mendukung kemerdekaan Indonesia pada tanggal 16 Juli 1947. Pada bulan November 1947, Arab Saudi yang kental dengan mazhab Hambali-Salafi ini juga turut mendukung kemerdekaan Indonesia.Â
Penolakan terhadap negara Israel: Balas Budi Indonesia terhadap Negara-negara Arab
Sebagai bentuk terima kasih atas pengakuan kedaulatan Indonesia untuk pertama kalinya oleh negara-negara Arab, Indonesia tidak membalas pengakuan de facto dan de jure atas Israel. Pada bulan Desember 1949, Presiden Israel pertama, Chaim Weizmann mengucapkan selamat atas kemerdekaan Republik Indonesia, melalui tangan Moshe Sharett dan David ben-Gurion. Namun, pengakuan Israel terhadap Indonesia tidak ditanggapi oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Pada tahun 1950 misalnya, ketika Israel ingin mengirim misi diplomatiknya ke Indonesia, Bung Hatta lantas menolaknya. Akan tetapi, penolakan beliau terhadap Israel tidak sekeras Soekarno. Hatta mengatakan dalam suratnya bahwa misi diplomatik Israel di Indonesia ditunda hingga waktu yang tak ditentukan.
Pada Konferensi Asia-Afrika yang dilaksanakan di Bandung pada tanggal 18-24 April 1955, Soekarno diuji dengan keinginan-keinginan negara lain untuk memasukkan Israel ke dalam forum KAA. Negara lain yang dimaksud adalah India, Burma, dan Sri Lanka, yang menganggap Israel adalah sebuah negara yang baru saja lepas dari cengkeraman kolonialisme dan imperialisme. Namun, atas dasar solidaritasnya terhadap negeri-negeri Arab dan Islam, Soekarno urung memasukkan Israel ke dalam forum KAA.Â
Untuk mempertegas kedudukan Indonesia sebagai negara yang paling vokal memperjuangkan kemerdekaan bangsa Palestina, ketika kualifikasi Piala Dunia 1958 yang akan dilaksanakan di Swedia, Indonesia menolak untuk bertanding dengan Israel di babak final. Meskipun ini bertentangan dengan doktrin pemisahan politik dengan olahraga, akan tetapi Soekarno memandang bahwa olahraga dan politik bisa menjadi satu, yang memicu Soekarno untuk membuat ajang olahraga tandingan yaitu Ganefo yang berlangsung pada tahun 1963 di Jakarta.Â
Ketika Soekarno lengser pada tanggal 12 Maret 1967, Presiden Soeharto tidak memiliki upaya apapun untuk membuat hubungan diplomatik dengan Israel, untuk mencegah pertentangan dengan negara-negara Arab dan dunia Islam secara umum. Meskipun demikian, hubungan Israel dan Indonesia ketika masa Orde Baru lebih ditekankan pada hubungan rahasia di bidang kemiliteran untuk memodernisasi angkatan bersenjata Indonesia, terutama Kopassus yang studi banding dengan pasukan Sayeret, pasukan khusus yang dimiliki Israel. Selain Kopassus, para perwira intelijen juga studi banding di markas Mossad, lembaga intelijen paling efektif di dunia pada saat itu, selain CIA, MI-6, dan KGB. Tak hanya itu, para penerbang TNI AU juga dilatih secara rahasia di Israel, untuk mempelajari teknologi-teknologi kemiliteran yang dimiliki.Â
Namun, Soeharto pada saat itu tetap konsisten meneruskan apa yang digariskan oleh Soekarno, yaitu sikap pro-Palestina. Pada tahun 1978, terbit perangko bergambar kompleks Masjidil Aqsa di Al-Quds yang dirancang oleh organisasi perlawanan Palestine Liberation Organisation (PLO) dan dicetak sebanyak 1 juta lembar. Pada tahun 1983, dalam sidang pertanggungjawabannya, Soeharto menegaskan di depan anggota MPR bahwa Indonesia tetap berdiri tegak bersama rakyat Palestina menentang kolonialisme Israel. Ketika negara Palestina berdiri pada tahun 1988, Indonesia langsung mengakui kedaulatan negeri itu dan bergerak cepat menerima misi diplomatiknya. Setahun kemudian, Kedubes Palestina di Indonesia langsung dibentuk.Â
Sikap pro-Palestina kemudian diteruskan ke penguasa-penguasa Indonesia setelah Soeharto tumbang pada tanggal 21 Mei 1998.Â
Perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang berdarah-darah: Antara Indonesia dan Palestina
Indonesia dan Palestina sama-sama memiliki sejarah perjuangan yang berdarah-darah sekaligus rasa senasib sepenanggungan. Mereka sama-sama dijajah dari berbagai aspek, mulai dari sosial-budaya, ekonomi, dan politik. Tentunya sama persis dengan Belanda yang menjajah Nusantara selama beratus-ratus tahun lamanya dalam berbagai bidang bahkan tidak segan untuk mengeksploitasi penduduk pribumi untuk kepentingan penjajah.Â
Ketika masa penjajahan Belanda, ratusan kali perlawanan-perlawanan yang dilakukan oleh masyarakat menengah ke bawah (kecuali Perang Padri dan Perang Diponegoro) membuat Belanda ketar-ketir. Misalnya, perlawanan petani di Banten pada tahun 1888 yang menjadi judul disertasi dari Sartono Kartodirdjo, sukses membuat Belanda kocar-kacir, meskipun pada akhirnya kalah karena tak sebandingnya persenjataan dari kedua belah pihak. Di Aceh, antara tahun 1873-1904, pejuang-pejuang Aceh bersenjata rencong dan bedil rampasan Belanda berhasil menguras kas negara Belanda untuk kedua kalinya. Perlawanan non-kekerasan yang dilakukan oleh Samin Surosentiko di Blora dengan menolak membayar pajak kepada Belanda juga mampu merusak ekonomi kolonial saat itu.Â
Begitupula orang-orang Palestina, mereka juga aktif melakukan perjuangan baik konfrontasi dengan Israel maupun melalui jalur non-kekerasan, seperti gerakan BDS (boikot, divestasi, dan sanksi) yang akhir-akhir ini mencuat di seluruh dunia Barat. Selain itu, ada gerakan-gerakan anti-Zionis yang beroperasi di luar negeri, seperti Neturei Karta yang didirikan dan dikembangkan oleh orang-orang Yahudi ortodoks. Namun, yang sering ditemui di Palestina adalah perjuangan bersenjata, antara Hamas dengan tentara pendudukan Israel.Â
Terkait dengan eksistensi Neturei Karta, perlu digaris bawahi bahwa anti-semitisme dan anti-Zionisme memiliki arti yang berbeda, yang seringkali disamakan oleh otoritas Zionis Israel. Secara etimologis, anti-semitisme bermakna kebencian terhadap seluruh kaum Yahudi, baik Yahudi pro-Zionis maupun anti-Zionis, seperti yang dilakukan oleh Adolf Hitler beberapa tahun sebelum perang besar berkecamuk di Eropa untuk kedua kalinya. Sementara, istilah anti-Zionisme adalah sebuah ideologi yang menentang gerakan Zionisme (gerakan yang bertujuan untuk membuat sebuah negara Yahudi dengan mengorbankan kepentingan orang-orang Arab).
Bantuan Pangan Indonesia ke Gaza dan Diplomasi Beras Sjahrir
Indonesia memang belum tercatat sebagai salah satu negara yang menyalurkan bantuan militer ke Palestina, baik berupa amunisi, persenjataan, maupun personel militernya. Hal ini tentu sangat ironis, mengingat Indonesia masuk ke dalam jajaran negara terkuat ke-13 setelah Brazil dan Mesir berdasarkan daftar negara-negara dengan kekuatan militer terkuat di dunia (Global Firepower Index). Akan tetapi, bukan berarti Indonesia tidak memberikan bantuan apa-apa ke Palestina.Â
Baru-baru ini, Indonesia tercatat mengirimkan bantuan kemanusiaan ke Jalur Gaza dalam bentuk barang-barang yang termasuk kebutuhan primer (pangan dan sandang). Hal ini dibuktikan dengan pengiriman pesawat angkut Hercules C-130 TNI AU yang melakukan misinya pada tanggal 4 November lalu yang di mana, pemberangkatan pesawat-pesawat tersebut dihadiri oleh Wakil Menlu Republik Indonesia.Â
Dalam pesawat itu, sebenarnya Indonesia tidak hanya mengirim bantuan berupa pangan dan sandang, namun juga obat-obatan yang disuplai dari Palang Merah Indonesia (PMI).Â
Pesawat angkut itu direncanakan mendarat di Mesir, tepatnya di wilayah El-Arish (dekat pos perbatasan Rafah) untuk selanjutnya diangkut lebih lanjut oleh palang merah di Mesir.Â
Upaya Indonesia dalam membantu perjuangan kemerdekaan Palestina ini dengan memberikan bantuan pangan, sandang, dan obat-obatan ini kepada masyarakat Gaza, mengingatkan kita pada sebuah peristiwa yang pernah terjadi ketika revolusi kemerdekaan masih berlangsung. Pada tahun 1946, ketika Republik Indonesia diblokade oleh Angkatan Laut Kerajaan Belanda dan diembargo oleh Belanda, Sutan Sjahrir (perdana menteri Indonesia saat itu) melakukan diplomasi ke India agar Indonesia dapat mengekspor beras ke India yang mengalami kelaparan hebat. Tujuannya adalah membantu India yang saat itu pula sedang mengalami kerusuhan antara Hindu dan Muslim serta menarik hati orang-orang India agar membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia.Â
Hasilnya, berkat diplomasi antara Indonesia dan India ini, India menjadi salah satu negara yang pertama kali membahas tentang masalah Indonesia di PBB pada tahun 1947. Hingga pada akhirnya, Jawaharlal Nehru, perdana menteri India saat itu, terlibat langsung dalam upaya-upaya dekolonisasi Indonesia.Â
70 tahun kemudian, Indonesia melakukan politik serupa kepada Palestina sebagai bentuk solidaritas terhadap Palestina, persis seperti ketika Indonesia membantu India yang sedang mengalami kelaparan.Â
Dengan begitu, dapat disimpulkan bahwa sebuah peristiwa sejarah bisa berulang, hanya berbeda bentuk.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H